"Alhamdulilah setelah hari itu akhirnya Bu Widya berkunjung juga," ujar Pak Dewo ramah. Lain dengan Bu Arumi yang terus memeriksa sekitaran takut tiba-tiba Bulan muncul di hadapan mereka.
Bu Widya membenarkan posisi duduknya. "Begini Bu, besok kan acara 40 hari_."
Bu Arumi dan Pak Dewok kalang kabut. "Eh_ aduh. Maaf Bu Widya tunggu dulu. Angkasa ambilkan buku dan pulpen sebentar biar Ibu gak lupa jadwal padet banget!" Ucapnya tersenyum dibuat-buat.
"Baik, Bu." Angkasa pergi kearah kamar.
"Ma_ maaf, Bu. Ibu mengerti kan keadaan Angkasa sekarang," ujar Pak Dewok.
Bu Widya tersenyum getir.
"Bukan maksud kami hendak membuat Angkasa melupakan Sekar tapi Angkasa masih belum bisa mengendalikan depresi beratnya. Dokter bahkan tidak sanggup memberi pengobatan menenangkan saat dia tengah kumat," imbuh Bu Arumi.
Bu Widya mengangguk mengerti. Tentu tidaklah mudah melepas kepergian orang yang dicinta. Sebab Ia juga seorang Ibu yang melahirkan Sekar dan membesarkannya dengan kasih sayang. Seharusnya sakit yang dirasakannya bisa dibilang lebih besar dari pada Angkasa sendiri.
"Saya yang minta maaf, Bu, Pak. Saya benar-benar lupa. Tapi saya sangat mengharapkan kedatangan Bapak dan Ibu untuk menghadiri acara pengajian itu besok," harap Bu Widya.
Pak Dewok menjawab dengan penuh kata penyesalan. "Tentu, Bu. Bagaimana pun juga mendiang Sekar adalah menantu kami."
Beberapa waktu kemudian, Angkasa kembali dan memberikan permintaan Ibu Arumi.
"Ini Bu, bukunya."
"Oh iya. Jam berapa tadi, Bu?" tanya Bu, Arumi lagi pura-pura didepan Angkasa.
"Jam satu siang, Bu," jawab Bu Widya.
Angkasa jadi ikut penasaran akan rencana Bu Widya sampai mengundang orang tuanya. "Ada acara apa, Bu. Kok Angkasa gak diajak?"
"Tidak ada, cuma acara biasa, Nak. Kamu tidak perlu hadir," ungkap Bu Widya.
"Oh, oke. Ibu mau bertemu Sekar?" Pertanyaan Angkasa sontak membuat ketiganya melongo.
"Maksudnya?" Bu Widya meratap.
Bu Arumi menepuk pah_a Pak Dewok. Ia tidak punya jawaban untuk menyangkal ucapan Angkasa pada Bu Widya.
"Sekar, Sayang. Kemarilah, ada Ibu disini!" panggilnya kearah dapur.
Bu Widya menutup mulutnya, Ia tidak percaya dan menganggap jika Depresi Angkasa benar-benar sudah parah. Pemuda itu mengingatkannya pada anak perempuan yang sudah pergi dari muka bumi. Tak sadar air mata Bu Widya meleleh tanpa henti.
Pak Dewok dan Bu Arumi jadi kebingungan. Semua akan terbongkar jika Bulan benar-benar muncul didepan mereka.
"Maafkan Sekar, Bu. Gara-gara dia Angkasa sangat menderita." Bu Widya merasa bersalah.
Pak Dewok menimpali. "Oh, tidak sama sekali, Bu. Kami mengerti kematian tidak kita rencanakan jadi biarkan Angkasa belajar menerima kenyataan."
"Kematian?" Angkasa menyorot ketiganya. "Siapa yang mati, Ayah?"
Lagi-lagi pertanyaan itu tidak bisa dijawab oleh mereka. Bu Widya yang takut mengundang emosi Angkasa memutuskan berpamitan.
"Pak, Bu, Angkasa, Ibu pergi dulu ya. Masih banyak yang harus diurus." Beranjak dan menyalami Pak Dewok dan Bu Arumi.
Angkasa jadi tak sempat mempertemukan keduanya. "Cepet banget, Bu. Gak mau ketemu_."
"Tidak, nak. Ibu buru-buru," tutur Bu Widya. Sesaat memeluk Angkasa lalu keluar meninggalkan mereka.
Angkasa sangat aneh akan tindakan Bu Widya biasanya beliau akan berlama-lama dirumahnya saat tengah berkunjung. "Ya udah, Bu. Saya mau lihat Sekar dulu kedapur!"
Keduanya bernafas lega, akhirnya mereka tidak jadi olahraga jantung jika sampai Bu Widya bertemu dengan Bulan.
Sampai diruang makan, Angkasa terperangai. Rupanya Bulan sudah ketiduran dikursi dengan menyandarkan kepala diatas tangan yang bersedekap meja.
"Dasar, istriku. Pasti dia kelelahan." Angkasa mendekat dan karena tidak ingin menganggu Bulan Ia pun membopong Bulan menuju kamar lalu menidurkan diatas ranjang.
Bulan nampak sangat tenang. Angkasa yakin sang istri sedang mimpi indah hingga tidak sadar akan gerakannya.
"Sayang, hidupmu adalah hidupku. Jadi jangan pernah pergi lagi ya. Aku takut kamu menghilang walau sebentar saja."
Angkasa mengecup tangan Bulan, lalu meletakan satu tangannya di bawah kepala Bulan agar Ia bisa leluasa memeluk tubuhnya.
Cinta tidak bisa digambarkan bahkan diungkapkan lewat kata-kata. Berada didalam asa dan sulit di pahami dengan sekedar cara. Sebab rasa itu terletak pada hati yang paling dalam. Hanya orang mengalaminya lah yang akan mengerti seberapa dalam Ia meletakan Cintanya.
Angkasa sangat menyayangi Sekar dan tidak bisa melepaskannya. Bayangkan saja banyak orang rela bunnnuh dirrri gara-gara putus Cinta karena tidak bisa menempatkan Cintanya pada seseorang. Begitu pula Depresi hingga hilang akal seperri Angkasa saat ini.
Malam kian melarut, Angkasa tidak memejamkan matanya. Sebab Ia tengah menikmati ke cantikan alami wanita disampingnya. Perasaanya terus mengikis relung. Angkasa sangat bahagia dengan posisinya sekarang.
"Sekar, kamu harus tahu. Tidak ada yang bisa menggantikan kamu dihidupku sampai saat ini dan berharap tidak akan pernah. Kalaupun nanti ada, aku tidak menjamin bisa mencintainya lebih dari cintaku padamu. Aku ingin setia, sampai nanti kesurganya. Semoga kita tetap disatukan ya."
Bulan tersentuh, Ia sebenarnya tidaklah tidur. Itu semua dilakukannya agar Angkasa tidak lagi memaksakan kehendak menginginkan tubuhnya.
Ada apa ini? kenapa kata-katanya membuat jantungku tiba-tiba berdegup cepat dan ini tidak pernah kurasakan ketika didekat Awan. Oh iya, Aku baru ingat besok sepulang dari rumah sakit aku harus menemuinya dan menjelaskan perihal Angkasa...
Angkasa meletakkan tangannya di dada Bulan membuatnya mengernyitkan mata.
Astaga, mau apa lagi dia?
Angkasa memasuki satu kancing baju Bulan pada lubang yang terlepas.
Syukurlah, kukira Ia akan menjamahku saat aku sedang lengah
Angkasa bergeser posisinya dan mematikan lampu utama menyisakan cahaya lampu dari meja hias yang hanya temaram. Kembali pada posisi semula memeluk Bulan dengan erat.
"Selamat malam, Sayang."
Cukup lama menahan nafas, Bulan membuka matanya dan memastikan jika Angkasa sudah terlelap.
Ini demi kamu, Fatan.
Angkasa ngigau. "Sekar, kenapa tersenyum memandangku?"
Deg! deg! deg!
Bulan berpikir jika Angkasa menyebut dirinya tapi tidak, dia cuma salah paham karena Angkasa kembali pulas.
"Tidur saja kebawa mimpi, aku jadi penasaran dengan wajah Sekar. Dimana ya aku bisa melihat fotonya," gumam Bulan bisik-bisik. Ia pun mendapati sebuah foto pernikahan di dinding. Tidak jelas, tapi Bulan sangat yakin itu adalah pernikahan Angkasa dan Sekar.
"Cantik!" Celotehnya. "Besok saja biar jelas," lanjutnya lagi. Bulan memejamkan matanya karena besok adalah hari menyakitkan untuk Fatan dan dia tidak boleh datang terlambat agar bisa menemani Fatan di Kemo.
Ia sama sekali tidak berharap hidupnya begitu miris, dibuang orang tua dan hidup dengan makan seadanya sudah cukup menyesakkan. Malah ditambah oleh kesakitan Fatan yang tidak mudah untuk disembuhkan dengan uang recehan.
Sebagai pekerja resto tidaklah mudah. Namun demi Fatan dan dirinya sendiri Bulan tidak pernah menyerah. Ia terlalu tangguh untuk menyerah sebelum berjuang.
...🌾🌾🌾🌾🌾...
Jangan lupa di vote, biar semangat🙏🙏🙏
Yang mau masuk Grup Chat boleh banget ya silahkan klik ayo Chat di pojok cover untuk ikut meramaikan. Gc nya belum lama dibuat jadi masih sedikit anggotanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Mamanya Glen
ceritanya bgus bngat
2022-05-30
3
Indah Agung
kenapa g dipertemukan dg Bu Widia....kan g ada salah nya.
2022-05-26
2
💐⃞⃝⃟⍣⃝🌺﷽🆅🅸🅽🅰 ❸﷽ ⃞⃝⃟⍣⃝🌺꧂
bukan cuma orang tua Angkasa yang dibuat olahraga jantung, aku yang baca pun ikut merasakan apa yang mereka rasakan dag, dig, dug, untung gak jadi DUUEEERRR.. 😁😁😁
Bu widya, cepat-cepat pergi, mungkin takut membuat Angkasa, tambah parah mungkin ya. 😁
2022-05-21
2