Keesokan harinya, sekitar pukul 06 pagi Bulan sudah ada dirumah sakit dimana Fatan dirawat. Bocah sepuluh tahun itu baru saja sadar dari operasi besar.
"Fatan, apa kau sudah lebih baikan sekarang?" Bulan memeluk tubuh yang terlihat kurus dan ringkih diatas ranjang Pasien.
Fatan tersenyum. "Makasih ya Kak, sudah berkorban untuk Fatan. Tapi dari mana Kakak dapat uang sebanyak itu. Tolong jangan menjual harga diri ya, kak?"
Bulan terenyuh, anak seusia itu mampu membuatnya tersadar hingga air matanya meleleh. Meski masih kecil namun Fatan lebih sering bijak ketimbang dirinya. Kasih sayang yang tercurah di dalam diri keduanya mengikat hubungan mereka semakin kuat.
"Tidak, Sayang. Kakak akan melakukan apa pun untuk kesembuhan kamu. Jangan tinggalin Kakak karena didunia ini yang Kakak punya cuma kamu." Bulan menyelimuti tubuh Fatan, udara pagi masih sangat dingin apa lagi kondisinya belum sepenuhnya pulih.
"Dek, Kakak tidak bisa lama-lama. Gak papa kan Kakak tinggal sendiri kalau ada apa-apa pencet tombol merah diatas kepala Fatan ya!"
Fatan mendongak. "Ruangan ini bagus kak, tidak seperti kemaren. Pasti biayanya mahal ya?"
Bulan menggeleng bohong. "Ah, murah kok. Cuma Sepuluh lembar saja."
"Sepuluh lembar merah, biru atau kuning kak?" tanyanya polos.
"Uang merah, tapi gajih Kakak kan 20 lembar jadi masih ada sisa buat makan dan nabung," jawabnya dengan sabar memberi pengertian supaya Fatan tidak kepikiran. Ia sudah sangat senang bisa melihat lagi senyum lugu dibibir Fatan yang menghilang sepuluh terakhir ini.
"Baik, Kak. Jangan pikirkan Fatan, bekerja saja yang fokus supaya Bos Kakak tidak marah dan pecat Kakak nanti," Jawab Fatan, penuh dukungan untuk kakak perempuannya.
"Makasih, dek." Bulan mengecup kening Sang adik dan berlalu keluar. Sebenarnya hatinya masih berat untuk meninggalkan Fatan tapi mau bagaimana lagi.Toh, yang dia lakukan juga buat kesembuhan adiknya.
...🌞🌞🌞🌞...
Pak Dewok dan Bu Arumi yang masih bercengkrama di meja tengah kembali di kagetkan oleh teriakan Angkasa sampai menggema memecahkan seluruh seisi rumah. "Ayah! Ibu! Sekar kemana? cepat cari dia!" Angkasa terus memekik nyaring didalam kamarnya. Ia menangis sebab seingatnya sang istri semalaman berada dalam pelukannya.
Mendengar keluhan Angkasa Bu Arumi merasa lelah dan meletakkan koffe yang tidak jadi diseruput nya. "Ada apa lagi itu, Yah?"
"Gak tau, Bu. Ayo kita periksa."
Keduanya melangkahkan kaki cepat-cepat sebelum Angkasa melakukan hal yang berbahaya.
"Angkasa, ada apa nak? ini masih pagi lo, kok teriak-teriak begitu?" tanya Bu Arumi. Selalu saja tidak tenang dengan putranya yang satu itu.
"Sekar, Ayah, Ibu. Dia hilang kemana? semalam aku memeluknya? aku yakin kok kalau aku sedang tidak bermimpi. Bahkan aku memeluknya sampai tidak bisa berkutik," jawabnya, terlihat syok.
Pak Dewok dan Bu Arumi saling pandang. Mereka juga sama-sama tidak tahu sebab Sekar pergi tanpa pamit lebih dulu.
"Jangan-jangan gadis itu ketakutan terus kabur, Yah," bisik Ibu Arumi menebak-nebak.
Pak Dewok mematung, Ia mulai berpikiran sama. "Bisa jadi, Bu. Tapi kan adiknya masih dirumah sakit," jawab Pak Dewok lirih.
Angkasa sudah menggelosor berguling-guling dilantai. "Ayah, cepat cari dia. Angkasa gak mau kehilangan dia, Ayah."
Pak Dewok memegangi dada, takut tidak kuat melihat kepribadian menggelikan yang di perlihatkan anak lelakinya itu. Usia 24 tahun yang seharusnya lebih bijaksana dan dewasa dalam menyikapi sesuatu namun kedua orang tua itu tengah diuji oleh gaya kekanak-kanakan Angkasa. Bu Arumi tidak tega dan mendekap sang Anak.
Cup! cup! cup!
"Sudah jangan nangis, sayang. Mungkin Sekar ada urusan sebentar. Dia kasihan mau bangunin kamu," rayu sang Ibu. Ia meraih gelas berisi air putih yang masih tertutup rapat diatas meja agar Angkasa minum dan sedikit tenang.
"Ayo minum, tunggu satu jam lagi. Sekar pasti pulang. Mau Ibu buatin pempek palembang kesukaanmu?" bujuk Bu Arumi lagi.
"Pempek?" Angkasa sedikit penasaran. "Pakai ikan tenggiri ya, jangan lama-lama. Aku mau makan sama istriku nanti," jawabnya memelan. Kadang mudah luluh kadang juga mudah mengamuk tanpa sebab.
"Iya, ya udah. Angkasa mandi dulu sana. Malu dong sama Sekar kalau masih bauk keringet gitu!" Pak Dewok menimpali.
Angkasa cekikikan. "Hehehe... iya Ayah." Setelah Angkasa beranjak kekamar mandi. Pak Dewok dan Ibu Arumi berpindah kedapur.
Sambil menyiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan Bu Arumi terus mengomel tanpa henti. "Ayah itu terlalu percaya sama Bulan. Lihat, belum apa-apa dia sudah menyerah duluan!"
"Ayahkan cuma usaha, Bu."
"Iya, tapi lihat orangnya dulu. Uang 130 JT itu bukan sedikit, Yah?"
Pak Dewok terdiam, Ia memang melakukan kesalahan. Bulan pasti ilfil dengan sikap Angkasa kepadanya. Apa lagi, jika Angkasa menuntut sesuatu darinya. Sudah dipastikan Bulan tidak akan terima.
"Om, Tante!" panggil seseorang dari pintu tengah.
Pak Dewok dan Bu Arumi membulatkan mata mereka. "Maaf, tadi saya menemui Fatan karena dia sudah siuman dari sakitnya."
Keduanya menghela nafas panjang. Padahal mereka sudah berprasangka buruk dan Menganggap Bulan tidak menepati janji.
"Tante, mau bikin apa?" tanya Bulan. Mengamati adonan yang dibuat Bu Arumi.
"Ha...?" masih ternganga. "Buat pempek kesukaan Angkasa," jawab Bu Arumi parau.
"Syukurlah kamu pulang, nak? cepat kau lihat Angkasa di kamar, tadi dia hampir mengamuk lagi!" titah Pak Dewok setelah selesai mengupas beberapa siung bawang putih.
Keluarga Pak Dewok sengaja tidak mempekerjakan ART sebab khawatir jika kelakuan Angkasa sampai menyebar ke telinga orang lain.
"Baik, Om." Bulan hendak pergi.
"Tunggu, jangan panggil kami Om dan Tante. Sebut saja Ayah dan Ibu takut nanti Angkasa tiba-tiba mendengar dan curiga pada kita." Pak Dewo mengingatkan.
Bulan hanya mengangguk dan segera kekamar. Ia melihat Angkasa sedang bercermin. Pemuda itu nampak gagah dan sangat tampan membuat Bulan terperangah. Sayang, penampilannya berbanding terbaik dengan sikapnya.
Angkasa yang melihat pantulan tubuh Bulan di dalam kaca langsung tersenyum. Ia meletakan sisir dan menghampiri sang istri.
Bulan masih belum mampu mengkondisikan diri. Ia langsung gemeteran ketika tangan Angkasa meraih lengannya.
"Selamat pagi, sayang? kamu dari mana tadi?" Angkasa mengecup nya dengan lembut. Perlakuan yang benar-benar mampu membuat wanita beruntung. Tapi tidak bagi Bulan.
Ia sedikit menarik sudut bibirnya sekilas tersenyum. Rasa gugupnya lebih besar dari rasa ibanya. Seandainya Fatan tidak sakit, Ia tidak akan sudi pura-pura menjadi istri Angkasa.
"Selamat ulang tahun, Sayang!" ucap Angkasa sembari mengerlingkan sebelah matanya pada Bulan.
Bulan menatap kecut. Ia benci sikap manis itu.
"Kamu lupa ya kalau ini hari jadian kita?" Angkasa bingung, Ia heran karena Bulan seperti tidak senang.
"E... I_ iya," jawabnya asal.
"Hm? sayang sekali. Tapi gak papa. Aku akan terus mengingatkan mu tentang hari ini setiap satu minggu sekali."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
🦋⃟💎⃞⃟𝘼𝙇𝚏𝚒𝐞𝐞𝐫𝐚.༄㉿ᶻ⋆ ❤
hemmm.....
2022-06-05
2
🌸 andariya❤️💚
Alhamdulillah, datang Uda sadar 😊😊😊
2022-05-19
4
🌸 andariya❤️💚
Arjuna .ini suka ngamuk²
bikin 😇😇😇😇
2022-05-19
3