Mengalami hal yang belum siap lahir dan batin, Angkasa akhirnya menumpahkan semua rasa yang membelenggu hatinya dengan cara menangis sejadi-jadinya
"Hwa... Ini hanya mimpi, Ayah. Aku sangat yakin kalau Sekar masih ada dan tadi aku melihatnya. Huhuhu... Ayah pasti sengaja kan ingin memisahkan aku dengannya. Iya kan, Ayah? Jujur saja sama Angkasa?" Pemuda berusia 24 tahun itu memonyongkan bibir bisa dibayangkan betapa lucunya wajah yang tidak ada bedanya dengan anak kecil itu. Meski ditepis oleh perasaaan yang menyayat gati Pak Dewok.
Lelaki paruh baya itu memeluk Angkasa dan menepuk-nepuk punggungnya, sengaja Ia perlakukan bagaikan bayi agar putranya tidak merasa sendirian. "Sabar, Nak. Kalian tidak berjodoh, makannya Allah memisahkan kalian dengan cara Nya."
"Ta_ tapi Yah, hidupku hampa tanpanya." Angkasa memukul punggung sang Ayah cukup keras, ajaibnya Pak Dewok hanya meringis dan tidak bersuara sama sekali.
"Oke, Iya, iya, kita pulang ya, nanti kita nyebur kekolam renang terus main bola, mau?" Pertanyaan sang Ayah mendapat anggukan Angkasa. Pemuda yang dulu sangat lah cool dan tegas kini berubah menjadi sedikit manja dan lembek.
Pak Dewok melanjutkan perjalanan, menuju rumah mereka. Disana, mereka turun dari mobil. Bak anak kecil yang tidak sabaran, Angkasa langsung berlari kearah kolam renang dan nyebur.
Byiuuur!
Air kolam tersebut bergejolak bersamaan dengan tubuhnya yang jatuh.
"Ayah, ayo kemari!" teriaknya, melambaikan tangan kearah Pak Dewok. Ia tersenyum dan mengangguk lalu mau menyusul tapi Arumi sang Istri menahannya sejenak.
"Yah, tolong jangan perlakukan Angkasa layaknya anak kecil. Dia sudah dewasa, Yah. Biarkan dia belajar mengikhlaskan kepergian mendiang istrinya."
Pak Dewok menghela nafas. Tidak tau caranya mengalihkan pemikiran Angkasa memang sangatlah berlebihan dan tidak memikirkan kalau kepribadian sang anak benar-benar berubah.
"Apa yang bisa ku lakukan, Bu. Aku hanya ingin membahagiakan dan menghiburnya. Jika tidak, dia akan merusak semua benda yang ada dirumah ini tanpa sisa. Apa Ibu mau?" Pak Dewok dan Arumi menatap kearah Angkasa sedang asyik berbicara sendiri. Memainkan air, dengan cara melambungkannya keatas.
Angkasa menoleh kesana-kesini mencari sesuatu, Ia menemukan ember sabun busa diujung kolam. Sabun yang sengaja diperuntukkan untuk dirinya.
Angkasa segera mengambilnya lalu menggosokkan benda itu ketangan nya, setelah itu Ia meniupnya hingga berupa bola-bola kecil yang beterbangan.
"Hore, Ayah. Angkasa bisa buat kan, bagus gak Ayah?" tanyanya, menginginkan pujian.
Pak Dewok dan Arumi terpaksa mengembangkan senyum. Hati mereka sangat terpukul melihat kondisi Angkasa.Pemuda tampan yang seharusnya berwibawa kini terlihat gemulai dan haus cinta kasih sayang.
"Ibu lihat sendirikan, kepergian Sekar telah menghancurkan hidupnya. Kita tidak tahu seberapa dalam Cintanya pada wanita itu hingga kehilangan Sekar merampas sebagian hidupnya," ucap Pak Dewok, gamang.
"Iya, Yah. Jika kita Carikan Istri baru bagaimana, Yah?Siapa tahu Ia bisa melupakan Sekar." Bu Arumi menyarankan, segala sesuatunya bisa saja terjadi.
Pak Dewok mengerutkan dahi, mencerna ucapan sang istri dalam otak kecilnya. Mengingatkan dirinya tentang perempuan yang mirip Sekar di kaffe tadi.
Seandainya gadis itu setuju. Aku yakin Angkasa bisa kembali normal secepatnya...
"Ayah, ayo kemari! katanya mau main bareng!" Angkasa menagih janji, menyadarkan pikiran kusut Ayahnya.
"Oh, iya Nak. Ayah nyusul ni," jawabnya setengah berteriak. "Bu, tolong siapkan handuk ya!" titahnya pada sang istri dan diangguki Arumi.
Byur!
Hentakan air kembali bergelombang. Keduanya tenggelam dalam permainan gelembung udara. Sulitnya meladeni Angkasa, sang Ayah yang sudah tidak sekuat dulu rela berkorban demi anaknya begitu juga dengan Bulan yang terus berjuang untuk keselamatan adik satu-satunya Fatan.
Ia masuk dan mencari Maya yang ternyata sedang menerima telpon serupa dari rumah sakit.
"Tolong berikan pengobatan terbaik, Dok. Kakaknya sedang mengusahakan uang itu. Tolong, Dok."
"Baiklah terima kasih, Dok."
Maya mengusap dada, rasa iba seakan menghantui dirinya. Tapi Ia hanya bisa mendoakan karena ekonominya juga tidak terlalu baik. "Kasihan, Bulan. Maafkan aku ya?"
Bulan menundukkan kepala, membiarkan air matanya kembali berderai. Sedari kecil mereka hidup terlantar dan sampai saat ini tidak punya arah dan tujuan yang jelas untuk menggantungkan hidup mereka berdua.
Sekuat hati, Bulan mau mengatakan jika Ia akan menyetujui tawaran Pak Dewok demi adik kesayangannya. Baginya nyawa Fatan sangatlah berharga dibanding dirinya sendiri.
"May, boleh pinjam Handphone?"
"Untuk apa? Aku malas meminjami mu jika kau keras kepala, Lan," ketus Maya. Ia kesal dengan keputusan tergesa-gesa yang Bulan ambil.
"Aku mau bicara dengan Pak Dewok, untuk membicarakan masalah ini," jawabnya penuh keterpaksaan.
Maya langsung melebarkan mulutnya. "Ha? itu artinya kau akan melakukan permintaan Pak Dewok, Lan?"
Bulan mengangguk. "Tidak ada cara lain, May. Rupanya mempertahankan harga diri tidak sebanding dengan nyawa seseorang.
"Tu, kamu tahu. Fatan adalah adikmu maka kau harus berkorban untuk hidupnya." Maya memberikan ponsel tersebut, dan Bulan langsung mengetik nomer yang tertera.
Ponsel Pak Dewok yang masih sibuk main air dengan Angkasa menggema ditepi kolam. "Tunggu, Nak. Siapa tau penting?"
Pak Dewok berenang menepi dan menerima nomer tanpa nama tersebut. "Halo, ada yang bisa saya bantu?"
Bulan mendadak gugup. "I_ ini benar dengan Pak Dewok?"
"Benar, dengan siapa ya?"
"Sa_ saya Bulan, Om. A_ apakah penawaran Om tadi masih berlaku?" Tanya nya meragu.
Pak Dewok nampak sangat gembira. "Kau mau menerima tawaran itu?"
"I_ iya, Om Dewok. Bisa kita bertemu dirumah sakit sekarang juga. Karena adikku tidak bisa menunggu lebih lama lagi."
Pak Dewok mengangguk. "Bisa-bisa, saya akan segera kesana. Tolong Share lokasinya ya!"
Bulan dan Maya langsung melepas senyum. Harapan mereka untuk Fatan agar segera terealisasi. "Baik, Om. Makasih sudah mau membantu."
Selepas ponsel terputus, kedua gadis itu saling berpelukan.
"Kamu benar, May. Aku harus berkorban untuk adikku. Rasanya beban ini sedikit berkurang, kalau begitu aku pergi dulu ya!" Bulan berlari meninggalkan Maya yang termangu dengan senyum puas saat wajah sahabatnya terlihat begitu ceria.
"Alhamdulilah, akhirnya Fatan mendapat pengobatan juga."
Tiga puluh menit dalam perjalanan, Bulan yang naik angkutan Umum segera turun dan membayar ongkosnya. Ia berlari menyusuri koridor rumah sakit menuju ruangan sederhana dimana Fatan dirawat. Pasalnya Ia tidak mampu menyewa ruangan VIP untuk sang adik.
Rupanya Pak Dewok sudah menunggunya di depan ruangan Fatan beberapa menit lebih dulu darinya.
"Om Dewok, ayo katakan sekarang apa yang harus saya lakukan supaya Fatan segera dioperasi, Om," ucapnya tersengal-sengal. Tidak sempat mengatur nafas lebih dulu.
Pak Dewok memegang pundak Bulan. "Tenanglah, Nak. Adikmu sudah tidak didalam, dia tengah ada diruangan Operasi, jadi berdoalah agar semuanya berjalan lancar."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Senajudifa
kutukan cinta hadir sdh ta favoritkan y
2022-06-19
0
Rika Jhon
kadang manggil om kadang manggil bapak🙄
2022-06-14
0
Rika Jhon
🤣🤣🤣 aha omg
2022-06-14
0