prang! Preng! Prang!
Terdengar banyak suara benda pecah dari arah kamar Angkasa. Pak Dewok dan Arumi langsung tersentak kaget dan berlari menuju kamar. Sedangkan Bulan mendadak takut, Ia khawatir jika Angkasa memiliki kepribadian tempramental yang bisa saja menyakiti dirinya suatu saat nanti.
Ihk, kok serem sih? jangan-jangan pemuda itu beneran sudah gila lagi?
Tubuh Angkasa luruh kelantai, setiap tulang belulangnya seakan remuk dan lesu hingga akhirnya Ia menangis meraung-raung seperti anak kecil.
"Huhuhu... Sekar belum mati. Dia masih hidup. Sayang, kamu dimana? bukankah kita sudah berjanji untuk selalu bersama selamanya. Kenapa kamu bohong, ha? Aku kangen...."
Angkasa terus melontarkan kekesalan hatinya, menagih janji setia dari sang wanita idaman.
Pak Dewok dan Bu Arumi yang menempelkan telinga kedaun pintu sangat kasihan. Sudah sebulan lebih, Angkasa belum juga merelakan istrinya.
"Yah, Ibu tidak sanggup. Cepat pertemukan Angkasa dengan gadis itu, Yah." Bu Arumi menggoyang-goyang lengan suaminya untuk segera menjalankan rencana mereka.
Pak Dewok menoleh kearah Bulan yang menatap kearah mereka. Ayah Angkasa dapat membaca gurat ketakutan diwajah Bulan. Tapi Ia harus mengorbankan hidup gadis itu demi anaknya Angkasa.
Pak Dewok memutuskan meminta Bulan mendekat, dengan langkah ragu-ragu Gadis itu datang menghampiri. Tidak punya pilihan lain, sebab Ia sudah berhutang ratusan juta pada Pak Dewok.
"Kamu siap, nak?" Pak Dewok memastikan.
Bulan mengangguk pelan dan pasrah dengan apa pun resikonya. Meski kehilangan nyawa, asal Fatan kembali sehat Ia pun rela.
Diiringi tangan bergetar Pak Dewok mengetuk pintu kamar Angkasa, sejenak menghela nafas dalam agar suaranya tidak terlalu gugup. "Nak, ayo keluar ada yang mau bertemu!" teriak Pak Dewok, keras.
"Pergi, Ayah! Angkasa ingin sendiri," jawab Angkasa, enggan.
"E... i_ itu, kamu yakin?" Pak Dewok gelagapan. "Sekar ada diluar, Nak," ucapnya bohong.
Angkasa langsung mendongakkan kepala memandangi daun pintu dimana suara sang Ayah berasal. "Ayah tidak bohong?"
Pak Dewok pura-pura tertawa. "Hahaha... Te_ tentu sa_ saja tidak? ayo buka pintunya!"
Angkasa terpancing untuk melihat, lekas Ia berdiri dan menuju ke pintu. Antara percaya dan tidak, Angkasa memberanikan menarik kenop hingga menampakan tiga orang yang berdiri sejajar di depannya. Angkasa mengamati wajah mereka satu persatu lalu senyumnya mengembang sempurna saat Ia mendapati sosok Bulan didepannya.
"Sekar, sayang!" Angkasa menyambar tubuh Bulan dan memeluknya erat-erat membuat nya kesulitan bernafas sampai terbatuk-batuk.
Uhuk... Uhuk...
"Maaf aku kekencangan ya." Angkasa mengendurkan lengannya dan mengusap pipi Bulan dengan sayang. "Kamu dari mana saja sih? kenapa setelah menikah kamu menghilang, Ha?"
Bulan tidak tahu harus menjawab apa. Namun Pak Dewok dan Bu Arumi nampak bahagia melihat respon positif dari reaksi Angkasa.
"Ayah, Ibu, aku mau makan sama istriku," pintanya, tiba-tiba. Padahal Angkasa tidak pernah mau makan meski di bujuk. Kalau pun makan, tidak akan Ia lahap hingga habis.
Bu Arumi menyenggol Pak Dewok dan saling memainkan bulan sabit yang bertengger di atas bulatan bola mata keduanya.
"Biar Ibu siapkan," jawab Bu Arumi bersemangat. Berbeda dengan Bulan yang merasa terkungkung akan aksi Angkasa.
Tangan pria itu terus bertengger di pundaknya, membuat berat tubuh Bulan. "Ya Allah, haruskah ini terjadi? pria yang jelas-jelas bukan suamiku menyentuh tubuh ini tanpa batasan," gumam Bulan dalam hati.
Angkasa terlihat begitu bahagia, dia terus merangkul gadis yang dianggap Sekar kemeja makan lalu mengambilkan menu makanan kesukaan sang istri yaitu Sushi dan steak.
Bulan mengerutkan dahi, Ia tidak menyukai itu. Tapi Angkasa menyodorkan suapan ke arah mulutnya. "Ayo makan, ini kan kesukaan mu," ucapnya, merayu.
Bulan bingung, Ia alergi dengan makanan tersebut. Meski ada di kaffe tempatnya bekerja. Sekali pun Bulan tidak pernah menyentuhnya.
"E... Itu Ang_," ucapnya kaku.
Angkasa menautkan alisnya. "Ang? sejak kapan kau memanggil namaku, biasanya juga panggil, Sweety?" Angkasa menaruh curiga.
"Oh, iya mak_ maksudku, a_ aku mau yang itu aja, iya. Kayaknya enak!" tunjuknya pada Sambel udang pete.
Angkasa lagi-lagi menaikan satu alisnya. "Bukannya kamu anti makanan berbauk?"
Pak Dewok dan Bu Arumi saling melempar pandang, takut Angkasa akan emosi dan marah. "I_ iya emang gak boleh coba ya? a_ aku bosan dengan itu." Menatap kearah piring ditangan Angkasa.
"Oh... begitu? baiklah aku ganti yang lain tapi harus pakek nasi ya?" ujarnya menawarkan.
Bulan terpaksa tersenyum. Hadeh, bisa ikutan gila kalau begini?
Angkasa sudah merubah isi pering yang masih berada di genggamannya lalu bermaksud menyuapi Bulan lagi.
"Ayo, buka mulutnya!"
Bulan menurut, sesekali melirik kearah kedua pasangan paruh baya yang sibuk mengamati mereka.
Apa pria ini tidak tau malu? seenaknya bermesraan didepan orang tua? jangan-jangan dengan Sekar pun begitu?
Bulan mengunyah pelan suapan Angkasa menyusul suapan berikutnya. "Ayo, makan yang banyak. Biar nanti kamu subur," ujar Angkasa tidak tau malu membuat Bulan tersedak .
Uhuk... Uhuk...
Bulan memukul pelan dadanya.
"Ya ampun, Sayang. Pelan-pelan dong." Angkasa menyambar gelas didepannya lalu membantu Bulan untuk minum.
"Sudah baikan?" tanyanya, menatap lekat wajah Bulan yang sedikit salah tingkah.
Begitu sayangkah Angkasa pada Sekar? dia terlihat begitu perhatian dan juga cekatan
"Masih mau?" Angkasa belum lelah memperlakukan Bulan bak ratu di rumahnya tapi Bulan menjadi tidak nyaman.
"Sudah, A_ itu kamu saja. Aku belum melihatmu makan sejak tadi!" Bulan menundukkan sedikit wajahnya karena hampir salah panggil nama lagi.
"Baiklah, karena ini hari yang membahagiakan maka aku akan makan banyak untukmu." Angkasa melahap sisa nasi milik Bulan dan menambah lagi dengan porsi besar.
Pak Dewok dan Bu Arumi memilih diam dan membiarkan Angkasa bahagia dengan kehadiran Bulan.
"Pa, lusa aku mau bulan madu sama Sekar," celotehnya tiba-tiba, kali ini Pak Dewok yang tersedak.
uhuk... uhuk...
"Minum, Bu!" pinta Pak Dewok pada Bu Arumi dan langsung di suguhi istrinya.
Pak Dewok merasa lebih baik lalu membuka suara. "Angkasa, istrimu baru saja pulang dan masih lelah. Masak Ia kamu mau ngajak dia pergi lagi. Tunggulah beberapa hari lagi ya?"
"Bener, Nak. Kasihan Sekar, nanti dia sakit lo," sambung Ibu Arumi hingga Angkasa menoleh kearah Bulan dan tersenyum.
"Iya, iya, aku tidak sabar, Ayah," bisiknya pelan,tapi Bulan dapat mendengar dengan jelas.
Bulan mematung, Ia bagai terjebak dalam kubangan lumpur yang dalam. Situasi itu pasti akan menyulitkan langkahnya kedepan.
Angkasa melakukan ritual terakhir setelah makan yaitu meneguk satu gelas air putih sampai habis. "Oke, aku sudah kenyang. Ayo kita kekamar!" Angkasa menggaet lengan Bulan yang tidak bisa melakukan penolakan sama sekali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Senajudifa
hahaha...emang tanaman
2022-06-22
0
Rika Jhon
ahaha ya ampun bnr2 penuh kejutan c angkasa ini,slu bikin org terkejut hingga tersedak😀😀
2022-06-14
0
Rika Jhon
🤣🤣🤣🤣 subur dan sabar
2022-06-14
0