"Al, rumah kamu yang mana sih?” tanya Bilqis melalui sambungan telepon.
Bilqis berada di dalam mobilnya sembari memakai earphone. Ia terus mencari alamat yang diberikan sahabatnya.
“Blok A-3, Qis,” jawab Alana.
“Aku udah di blok A-3 nomor ….” Bilqis menjalankan mobilnya pelan. “Ah, ini dia. Nomor 19 kan, Al? chat putih.”
“Ya, benar. Ini aku sedang melambaikan tangan. Lihat ga?” Alana melambaikan tangan sembari menempelkan ponselnya di telinga.
“Ya, aku liat.” Bilqis langsung memberhentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah itu.
Mereka pun sama-sama mematikan sambungan telepon setelah melihat keberadaan satu sama lain.
“Ya, ampun Al. nyari rumah kamu susah banget.”
“Masa sih? Gampang kali. Kamu nya aja ga ngerti-ngerti.”
Bilqis pun nyengir. Sejak dulu, ia memang tidak bisa jika mencari alamat, karena selain tidak tahu jalan, Bilqis memang terkenal anak rumahan.
Bilqis keluar dari mobil. Ia bersalaman dengan Alana dan saling menempelkan pipi. Lalu, Alana mengajak sahabatnya untuk masuk ke rumah minimalis yang indah itu.
“Rumah kamu bagus, Al,” ucap Bilqis sembari mengerlingkan pandangan ke dekorasi yang asri dan rapih itu.
Rumah Alana selalu rapi, karena memang belum ada anak kecil yang memberantaki rumah itu.
“Ini bukan rumah aku, Qis. Rumah Mas Reno. Rumah ini hadiah Papi saat kita menikah,” jawab Alana.
"Ya sama aja dong. rumah kamu juga."
"Ya ngga dong. Kalau Mas Reno bosan, mungkin aku bukan lagi penghuni rumah ini,” jawab Alana santai. Entah mengapa lidahnya tiba-tiba mengeluarkan kata-kata demikian.
Langkah Bilqis langsung terhenti dan menarik lengan Alana. “Maksudnya? Kalian ga ada masalah yang serius kan?”
Alana tersenyum dan menggeleng. “Ngga kok. Tapi seperti yang kamu bilang diretoran waktu itu, setiap orang bisa berubah.”
“Tapi Mas Reno pengecualian, Al. Aku tahu persis bagaimana dia cinta mati sama kamu.”
“Loh kok sekarang belain Mas Reno?” tanya Alana sembari melirik sahabatnya.
Langkah Alana langsung menuju dapur untuk membuatkan minuman dan Bilqis pun mengikuti langkah itu.
“Setelah dari restoran itu, aku sempat berpikir. Sepertinya aku terlalu memprovokatorimu, Al. aku ga mau jadi penghasut. Mungkin kemarin Aku berkata seperti itu karena pengalaman ibuku yang pernah dikhianati. Kamu tahu kan?”
Alana mengangguk. Ia memang sangat tahu keluarga Bilqis.
Bilqis dan adiknya hanya dibesarkan oleh orang tua tunggal. Ayah Bilqis pergi meninggalkan keluarganya saat ia pulang ke kampung. Ketika itu sang ayaj beralasan untuk pulang kampung karena orang tuanya sakit. Ternyata sang ayah tidak pulang untuk itu, melainkan untuk menikah dengan gadis jodohan orang tuanya. Setelah mengetahui fakta itu, ibu Bilqis menggugat cerai dan membesarkan kedua anaknya sendiri. Bilqis pun belajar mandiri dan sebisa mungkin membantu biaya hidup keluarganya. Oleh karena itu hingga saat ini Bilqis masih betah menjomblo. Ia takut untuk memulai hubungan mengingat dulu ayahnya begitu mencintai ibunya. Tapi dengan mudah meninggalkan.
“Tidak semua pria seperti ayahku, Al. tidak juga Mas Reno,” ucap Bilqis lagi.
“Ya, tapi tetap saja aku harus jaga-jaga bukan?”
Bilqis pun mengangguk. Keduanya tersenyum. Sejak kuliah mereka memang selalu saling support. Bilqis yang berani terkadang membuat Alana menjadi percaya diri. Sedangkan Alana yang pintar, terkadang memudahkan Bilqis lolos dalam beberapa mata kuliah yang tidak bisa ia kuasai. Mereka memang saling melengkapi.
“Qis, kira-kira aku bisa ga ya jadi sekretaris pemilik perusahaan tempatmu itu?” tanya Alana sembari membawa dua minuman dingin ke ruang televisi.
“Hmm … nah itu dia yang mau aku kasih tahu. CEO aku itu orangnya ndalit. Tau ngga ndalit itu apa?”
Alana menggangguk dan tersenyum. “Tahu, banyak maunya?”
“Iya, udah gitu pemilih banget. Ya, apa-apa harus sesuai yang dia mau. sekarang aja dia udah ganti lima sekretaris. Padahal di indonesia dia baru tiga bulan.”
“Oh ya? Waduh danger banget dong,” kata Alana takut. “Ditambah aku belum pengalaman. Bisa-bisa aku langsung ga diterima, Qis?”
“Ya, semoga saja diterima, Al. namanya juga ikhtiar. Kalau ngga diterima, berarti bukan rejeki.”
Alana pun menganggukkan kepala. Sepertinya, jika tidak diterima di kantor Bilqis, ia akan mencoba membuka situs pencarian kerja.
****
Reno tiba di bandara Singapura pukul satu siang.
“Ren, cari makan dulu yuk! Laper nih,” pinta Jefri sembari mengelus perutnya.
“Iya, Ren. Aku juga lapar,” sahut Dewi.
“Ya udah mampir di restoran itu aja.” Reno menunjuk ke salah satu restoran yang ada di Indonesia.
“Oke.” Jefri senang dan langsung melangkahkan kakinya ke tempat itu.
Sesampainya di sana, Dewi juga langsung memilih tempat duduk yang nyaman dengan pemandangan indah negeri ini.
“Kalian mau makan apa? Biar aku yang pesan ke sana,” kata Jefri.
Reno dan Dewi mengatakan makanan yang mereka inginkan. Setelah itu, Jefri menuju tempat order dan meninggalkan Reno bersama Dewi.
Dewi menatap Reno yang sedang mengaktifkan ponselnya. Ia ingin mengabari sang istri.
“Ren,” panggil Dewi pelan.
“Hmm …” jawab Reno dengan mata yang masih tertuju pada ponselnya.
“Eum. Dulu waktu SMA kita sempat dekat kan ya?” tanya Dewi yang mulai menjurus.
Reno meletakkan ponselnya dan menatap Dewi. “Ya, kita kan pernah ngerjain tugas bareng. Kamu juga menyelamatkan aku dari tugasnya Pak Ginting.”
Dewi tersenyum. “Jujur Ren, aku mau tanya sesuatu.”
“Apa?”
Reno ikut serius karena ekspresi Dewi pun memeperlihatkan demikian.
“Kita pernah terlibat perasaan ga sih waktu itu?” tanya Dewi memancing. Sebenarnya pertanyaan ini lama ingin ia katakan. Jauh sebelum Reno akhirnya menghilang
“Hmm …” Reno berpikir sejenak.
Ya, ia memang pernah mengagumi Dewi, menyukai wanita itu, tapi entah itu bisa dikatakan cinta atau hanya persinggahan sementara karena pada saat itu hati Reno sedang kosong oleh penolakan Alana.
“Kamu pintar, baik. Tidak ada pria yang tidak mengagumimu, termasuk aku.”
Dewi berbinar dengan senyum lebar mendengar jawaban itu.
“Ta …”
“Hei, makanan sudah datang.” Jefri memotong pembicaraan serius itu dengan membawa nampan besar. “Sorry ya lama, pasti kalian udah kelaparan.”
“Wah … tom yam seafood aku. Yummi …” keseriusan Dewi pun langsung teralihkan dengan kedatangan Jefri.
“Ayo, Makan! Karena setelah ini kita bakal kerja rodi lagi,” ucap Jefri.
Dewi pun langsung mengambil mangkuk dan sumpitnya. Sebelum itu ia mengambil piring pesanan Reno dan menyiapkan alat makan itu tepat di hadapan Reno. Dewi melakukan seperti yang Alana lakukan di rumah dan Reno pun hanya bisa menerima perlakuan itu tanpa melarang.
Jefri datang di saat yang tidak tepat. Padahal tadi, Reno ingin mengatakan “tapi itu dulu. Sekarang sudah tidak seperti dulu lagi.”
Namun yang Dewi hanya menangkap pernyataan awal Reno saja. ia merasa perasaannya berbalas sejak dulu. Hal itu membuatnya berbunga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Dewa Rana
memprovokasi Thor, bukan memprovokatori
2025-03-19
0
Dewa Rana
niatnya sih nggak selingkuh ya Ren...
2024-09-21
0
ibeth wati
sikap Reno emang TDK ada niat selingkuh tp diam dan membiarkan pelakor masuk terkesan menikmati ..ingat jare wong jowo witing tresno jalaran Soko kulino
2024-04-07
0