Enam bulan berlalu. Tingkat kesibukan dan kestresan Reno agak bisa tertangani, mengingat kini ia memiliki asisten. Untungnya, Dewi pun sangat bisa diandalkan. Kepintaran dan kerjanya yang cekatan meringankan tugas Reno dan Reno mengakui itu.
Alana pun tidak mempermasalahkan sama sekali. Walau ia tahu suaminya dekat dengan Dewi, tetapi Alana yakin betul bahwa kedekatan itu hanya sebagai rekan kerja saja, karena hingga saat ini tidak ada yang berubah. Reno masih sama seperti dulu. Semua akses yang membutuhkan passcode pun masih menggunakan tanggal lahir Alana. Password ponsel suaminya pun tak berubah. Ketika, Alana iseng membaca chat di dalam ponsel itu pun tidak ada yang mencurigakan, semua masih seputar pekerjaan saja.
“Hmm …” Reno menghirup aroma masakan sembari memeluk istrinya dari belakang.
“Mas.” Alana terkejut. “Astagfirulloh. Kamu ngagetin tahu ngga. Pulang itu ucap salam dulu, baru peluk.”
Reno tertawa. “Sengaja.”
“Mas. Ih.” Alana memukul pelan lengan yang tengah melingkar di perutnya. Sedangkan Reno masih tertawa sembari menaruh dagunya di bahu sang istri.
“Bagaimana kegiatanmu di rumah baca itu?” tanya Reno pada istrinya yang sudah empat bulan ini membantu kegiatan di kompleks rumahnya.
Di kompleks itu memiliki rumah baca sekaligus taman pendidikan baca, tulis, hitung.
Di tempat itu, Alana diperbantukan untuk menjadi guru dan pendongeng. Alana memang senang bercerita. Ia senang menceritakan sesuatu yang terjadi dengan runtun dan sistematis.
“Asyik, pokoknya mengasyikan banget. Aku suka sama anak-anak itu. Wajah mereka polos.”
Reno menciumi pipi istrinya. “Sepolos kamu.”
“Ih ngga ya, aku ga polos,” sanggah Alana.
“Ngga polos, tapi masih kecil.”
“Mas Reno,” rengek Alana yang selalu disebut anak kecil oleh suaminya. Namun, itu candaan Reno untuk sang istri agar istrinya merajuk dan cemberut, membuat Reno gemas dengan ekspresi itu.
Reno tertawa. “Temen aku bilang, aku itu pedofil. Nikahin anak-anak, padahal tampang aku udah kaya om-om.”
“Masa?” Alana mematikan kompor dan membalikkan tubuhnya. “Usia kita cuma beda enam tahun ya, Mas. Ngga jauh kok.”
“Ya, tapi muka kamu imut. Sedangkan aku boros.”
Alana tertawa. “Itu derita kamu, Mas.”
“Dih, udah bisa ngeledek ya.” Reno menggelitiki istrinya yang hendak berjalan menuju wastafel untuk mengambil piring yang sudah kering di sana.
“Ah, Mas. Geli!” teriak Alana sembari tertawa dan membungkukkan tubuhnya.
Namun, Reno tetap membekap tubuh itu dari belakang dan menggeliti pinggang istrinya.
“Maaas.”
Reno tertawa dan berhenti saat Alana berteriak kencang, lalu memohon ampun.
“Mas, nyebelin. Awas nanti malam ga aku kasih jatah.”
“Eh jangan dong! Kok larinya ke situ.”
“Bodo.”
Alana mengambil piring dan menuangkan masakan yang masih di atas tungku itu ke dalam piring. Lalu, ia meletakkannya di atas meja makan. Sementara Reno membuntuti pergerakan sang istri di belakangnya. Tubuhnya terus menempel pada tubuh sang istri yang sedang menyiapkan makan malam.
“Mas, ih. Awas!” Alana mengeser tubuh suaminya yang menempel di belakang membuat ia tak leluasa bergerak. Namun, bibir Alana tetap tersenyum.
“Biarin. Pokoknya jatah Mas ga boleh dipangkas,” ucap Reno, membuat Alana tertawa.
“Apaan sih, Mas?”
“Tarik dulu ucapan kamu tadi.”
Alana menggeleng dengan bibir tersenyum. Ia sengaja mengerjai suaminya.
“Ngga.” Alana masih menggeleng.
“Tarik dulu ucapan tadi.” Reno memeluk lagi tubuh Alana. Namun, Alana tetap menggeleng.
“Kalau begitu, Mas gelitiki lagi nih!”
“Mas,” teriak Alana lagi sembari tertawa.
Rumah itu terdengar ramai oleh candaan pasangan suami istri yang begitu harmonis dan romantis ini. Walau, mereka belum memiliki keturunan tetapi tak menyurutkan kasih sayang diantara keduanya.
****
Enam bulan kembali berlalu. Dewi sudah menemani Reno menjadi asistennya tepat satu tahun dan selama itu, tidak ada sesuatu yang berarti di antara mereka. Reno tetap menganggap wanita itu sebagai rekan kerja. Perhatian yang terkadang Reno berikan pun murni hanya sebagai balas budi karena Dewi sering membantu menyelesaikan pekerjaannya. Bahkan Dewi pun sering menutupi kesalahan kerja yang terkadang tak sengaja Reno lakukan.
Pagi ini, Alana sudah berdandan rapih. Ia akan ikut bersama suaminya yang akan berangkat ke kantor. Tetapi, Alana bukan untuk pergi ke kantor Reno, melainkan ke rumah neneknya.
Sore nanti, rumah nenek Alana akan ramai karena Alana dan sang nenek akan mengadakan haul, memperingati genap tahun kematian orang tua Alana yang meninggal akibat kecelakaan yang membuat keduanya wafat ditempat. Peringatan itu pun di bantu oleh Ibu Reno.
“Pulang dari kantor, aku akan langsung ke rumah nenek,” ucap Reno saat ia baru duduk di kursi kemudi. Sedangkan istrinya sudah duduk di kursi penumpang yang berada tepat di sampingnya.
Alana mengangguk. “Nanti pulangnya, jangan lupa beli bika ambon kesukaan nenek ya, Mas.”
“Iya, Sayang.” Reno mengangguk dan tersenyum.
Lalu, Reno menjalankan kendaraannya menuju rumah nenek Alana sebelum ia berangkat ke kantor.
“Loh, Mas kok jalannya muter ke sini?” tanya Alana.
“Iya, Dewi minta bareng. Kita jemput Dewi dulu di halte itu ya.” Reno menunjuk halte yang di dalamnya sudah berdiri seorang wanita yang Alana kenal.
Tanpa perasaan apa pun, Alana mengangguk. Reno memang pria yang baik. Ia tidak pernah menolak jika ada wanita meminta bantuan. Hal itu pun terjadi pada Ibu, Nenek, dan Alana sendiri. Dan, itu juga yang membuat Alana jatuh cinta pada suaminya, karena Reno memang baik.
“Memang Mbak Dewi sering minta bareng seperti ini, Mas?” tanya Alana.
“Ngga juga sih, Sayang. Ini karena kita mau ketemu klien jam sepuluh,” jawab Reno sambil melihat aroji di tangan kanannya. “Sepertinya ga akan keburu kalau Mas ke kantor dulu. Jadi mas bilang sama Dewi ketemu langsung aja di kantor klien. Eh, Dewi minta bareng sekalian. Jadi ya udah sekalian aja.”
Alana ikut melihat jam di tangannya. Ia mengangguk. Pasalnya, jika harus mengantarnya terlebih dahulu dan ke kantor Reno lalu ke kantor kliennya, sudah pasti akan sampai lebih dari jam sepuluh.
“Semalam kan aku bilang Mas, ga usah di anter. Biar aku naik taksi online aja,” ucap Alana.
Reno menggeleng. “Udah ga apa-apa. Masih ada waktu kok.”
Alana hanya mengangguk dan menuruti suaminya. Kemudian, Reno memberhentikan kendaraannya tepat di halte tempat Dewi berdiri.
“Hai, Alana.” Dewi mengajak Alana salaman dan menempelkan kedua pipi kanan serta kiri mereka. “Sehat, Al?”
“Alhamdulillah sehat, Mbak.” Alana tersenyum.
Dewi memang mudah bergaul. Cara berkomunikasinya pun sangat baik. Di saat berpapasan seperti ini, Dewi akan lebih banyak bicara dengan Alana, sedangkan Reno hanya mendengarkan. Hubungan mereka dengan Dewi memang sudah seperti sahabat dekat. Terkadang malah Alana sering menawarkan Dewi dengan kakak kelasnya yang belum menikah. Namun, Dewi hanya tertawa dan tidak menanggapi serius.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Dewa Rana
ini awal dari selingkuh
2024-09-21
0
Dewa Rana
hari gini masih ada tungku?
2024-09-21
0
Yuliana Purnomo
ati ati aja Alana,, suamimu "cinta karena terbiasa"
2024-01-22
0