Sejak bangun subuh, Alana membantu menyiapkan keperluan suaminya yang akan melakukan perjalanan jauh. Ia menyiapkan beberapa pasang pakaian kerja Reno selama berada di sana. Kini, keduanya sedang menyiapkan keperluan itu bersama.
“Al, alat cukurku sudah dibawa?” tanya Reno.
Semakin hari, Alana semakin jarang mendengar Reno memanggilnya dengan sebutan sayang.
Alana mengangguk. “ Sudah.”
Reno menatap istrinya yang lebih irit bicara. Sejak pertengkaran mereka kemarin, Alana hanya bicara sesuai keperluan saja. Reno menarik nafasnya kasar sembari melihat ke arah Alana yang sedang memasukkan pakaiannya ke dalam koper kecil. Lalu, Reno duduk di tepi ranjang persis di sebelah koper kecil yang terbuka.
“Sepertinya kamu masih tidak rela Mas pergi.” Reno menatap Alana yang sedang berdiri.
Alana diam.
“Al,” panggil Reno.
“Hmm …” Alana mengangkat wajahnya dan menatap Reno. “Ini kan tugas kantor. Aku mengerti.”
Reno tersenyum lega. “Syukurlah kalau kamu mengerti. Lagi pula, aku tidak jalan berdua dengan Dewi. Ada Jefri juga. Jadi kami bertiga.”
Penjelasan itu sudah tidak terpengaruh bagi Alana. Ia tak peduli Reno pergi berdua dengan Dewi atau dengan yang lain. Pasalnya beberapa kali perkataan Reno cukup menyakitkan dan mulai membuat Alana berpikir.
Setelah merapihkan perlengkapan yang akan dibawa Reno selama perjalanan, Alana pamit untuk membeli kue dan camilan yang bisa suaminya makan selama perjalanan.
“Ngga usah, Al. Ga usah beli makanan, nanti Mas bisa beli di bandara,” kata Reno.
“Tapi, Mas belum sarapan. Paling tidak bawa kue atau makanan kecil.”
Alana bersikeras untuk membawakan suaminya makanan, karena ia tak sempat membuat sarapan. Waktunya sejak tadi tersita untuk menyiapkan perlengkapan yang akan Reno bawa.
Alana keluar dengan menggunakan dres rumahan bermotif kembang-kembang berwarna krem. Rambutnya dibiarkan tergerai dan tanpa make up. Ia berjalan menuju mini market terdekat. Kebetulan di dalam minimarket itu menyediakan aneka kue dan roti.
Setelah dirasa cukup, Alana pun kembali ke rumah. Sesampainya di teras, Alana melihat sepatu wanita. Ia meyakini bahwa sepatu itu milik Dewi. Alana menarik nafasnya kasar. Ia sudah berjanji kemarin untuk tidak cemburu dan posesif. Ia harus bisa mengatur hatinya.
Dan benar saja, baru Alana menginjakkan kaki ke dalam, ia sudah disuguhkan oleh pemandangan dua orang yang tengah tertawa riang. Siapa lagi kalau bukan Reno dan Alana. Reno tampak tertawa lebar diikuti oleh Dewi, hingga keduanya tidak menyadari bahwa Alana sudah berada di tengah mereka.
“Eh, Al.” Dewi terkejut saat memalingkan wajah ke arah pintu setelah asyik tertawa.
Reno pun terkejut melihat kehadiran istrinya di sana. “Kamu sudah dari tadi di situ? Kok ga salam.”
“Kalian terlalu asyik ngobrol jadi ga lihat kalau aku sudah datang. Seru banget sih, suara ketawa Mbak Dewi sampai kedengeran keluar.” Alana memaksa tersenyum sembari berjalan mendekati kedua orang itu.
“Masa sih, Al? Maaf ya, ketawa aku kekencengan ya.”
“It’s oke, Mbak.”
“Dewi kesini dulu dan nanti kita bareng ke bandara. Sebenarnya, Jefri juga mau kesini dulu, supaya kita ke bandara bisa sama-sama,” ucap Reno untuk memberi penjelasan pada sang istri mengapa tiba-tiba ada Dewi ada di rumahnya. “Tapi ternyata Jefri malah mau langsung ke bandara aja.”
“Tau tuh anak. Padahal semalam dia yang kasih saran buat ngumpul di rumah kamu,” sahut Dewi.
Reno menoleh ke arah Dewi. “Iya, malah sekarang dia yang mengubah rencana.”
Alana hanya mendengarkan.
“Oh, ya. Tadi aku belikan ini buat kamu makan di jalan, Mas. Aku siapin ya.” Alana memperlihatkan beberapa makanan yang ia beli di mini market dan toko kue.
“Padahal mah ga usah, Al. makanan seperti ini banyak di bandara. Aku ga perlu bawa, berat-beratin aja,” jawab Reno.
“Ren, istri kamu tuh udah perhatian juga. Kasihan kan? Alana tuh luar biasa loh.” Dewi membela. Namun pembelaan itu terdengar menjijikkan bagi Alana.
“Ya sudah kalau begitu,” ucap Reno.
Alana melirik ke arah suaminya yang tidak sedang melihatnya, karena Reno kembali sibuk dengan beberapa berkas yang harus dibawa. Alana menyiapkan makanan yang ia beli itu untuk dibawa dan menaruhnya pada wadah yang bagus.
“Ini, Mas.” Alana menyerahkan wadah makanan itu pada suaminya.
“Terima kasih.”
“Yuk, Ren. Kita berangkat. Udah jam delapan, pesawat kita kan jam sebelas. Satu jam perjalanan dan dua jam boarding,” ucap Dewi. “Kamu ikut kan, Al?” Dewi menatap Alana.
Reno pun menatap istrinya. Ia juga berharap Alana ikut mengantar ke bandara.
Alana menggeleng. “Ngga deh, kayanya aku ga bisa ikut mengantar, soalnya nanti siang temanku mau datang.”
“Siapa?” tanya Reno yang tidak mengetahui hal itu.
“Bilqis.”
“Oh.” Reno membulatkan bibirnya.
“Dia ingin mengambil lamaran kerja aku,” jawab Alana lagi.
“Oh, kamu mau kerja, Al?” tanya Dewi terkejut.
“Ya. Aku sudah izin sama Mas Reno dan berhubung suami aku baik, jadi dia memperbolehkan.” Alana menggandeng suaminya manja.
“Oh, aku kira Reno tidak pernah membolehkan istrinya kerja,” sahut Dewi.
“Sekarang boleh. Iya kan, Mas?” tanya Alana sembari menatap suaminya. “Mas Reno juga ingin melihat istrinya sukses.”
Reno menatap istrinya. Perkataan Alana, entah berupa sindiran atau pernyataan. Tapi Alana memang benar, saat ia meminta izin pada Reno untuk bekerja, Reno hanya menjawab terserah. Dengan jawaban itu bagi Alana adalah boleh. Reno kira, pertanyaan dan keinginan Alana hanya main-main, karena ia pikir mencari pekerjaan itu tidak mudah. Oleh karena itu, Reno menjawab terserah. Namun, rencana Alana justru terealisasi lebih cepat dari yang ia bayangkan.
“Memang di tempat Bilqis ada lowongan? Kamu ga cerita?” tanya Reno.
“Kebetulan, baru semalam Bilqis kasih kabar.” Alana menjawab. “Katanya untuk sekretaris CEO.”
“Waw keren dong,” celetuk Dewi. “Semoga diterima ya, Al.”
Nada yang Dewi ucapkan tidak seperti sebuah dukungan melainkan cibiran. Dewi menganggap, Alana adalah wanita manja yang beruntung karena dicintai Reno. Untuk kemampuan dan kepintaran menurutnya, Alana tidak seberapa dibanding dirinya.
“Ya udah yuk berangkat! Taksi online yang aku pesan udah datang tuh!” ajak Dewi dengan menunjuk ke arah luar rumah.
Reno terus menatap istrinya. masih banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan sehubungan dengan niat Alana yang sungguh-sungguh ingin bekerja. Namun, Alana hanya melambaikan tangannya. “Hati-hati, Mas.”
Reno dan Dewi berjalan keluar rumah, diirngi oleh Alana. Langkah Alana terhenti hingga di teras, sedangkan Reno dan Dewi terus berjalan menuju mobil yang sudah ada di depan gerbang rumah Reno.
Reno kembali menoleh ke arah istrinya yang hanya tersenyum dari kejauhan. Sepertinya, semakin hari ia dan Alana akan semakin jauh. Saat Alana bekerja, keduanya mungkin akan tidak ada waktu untuk bersama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Yuliana Purnomo
daripada makan ati,, dirumah sendiri,,it's oke lah,,, Alana kerja aja deh
2024-01-22
0
meisan
kerja aja lah Alana...lagian kan kamu juga belum punya anak. kembangkan potensi yg ada di diri mu.
2023-03-04
2
Mira Mirgam
aku baca novel ini banyak getaran2 sedih di hati ku,ayo alana tunjukan diri mu srsungguhnya
2023-01-11
1