Lamia kembali mengingat selentingan kata-kata Mick yang pernah dia ucapkan sebelum gadis itu menunaikan misi ke Bumi.
“Sebenarnya apa maksudnya itu Mick. Bagaimana bisa aku adalah keturunan Cydonia? Darimana kau mengetahui hal itu?”
“Panjang ceritanya, Mia. Sebaiknya kau melihat sendiri setelah sampai di sana. Lagipula kau sekarang ‘kan sudah tidak bekerja pada kerajaan lagi. Jadi tidak perlu takut pada pemberontak,” jawab Mick sambiltersenyum penuh makna pada Lamia.
“Tapi kau yakin akan pergi ke Cydonia? Tempat itu penuh orang jahat,” kata Lamia setelah meneguk anggur merah yang membuat tenggorokannya membaik.
“Mereka tidak sejahat yang kau kira. Kau akan suka berada di sana,” bujuk Mick mengamati gadis berambut hijau yang ditemuinya di lift tadi. Gadis itu bediri di balik punggung Lamia dan tampak sedang meminta segelas air putih pada pegawai kedai.
“Tapi kabarnya mereka suka mengacau di berbagai daerah, mencuri persediaan makan, bahkan membunuh,” kata Lamia masih berdehem-dehem untuk lebih melegakan tenggorakannya.
“Percayalah, Mia, tidak semua yang dikatakan kerajaan itu benar,” ujar Mick sembari tersenyum penuh arti.
Lamia hanya menatap Mick dengan penasaran. Tapi ia tahu, Mick tidak akan mengatakan apa-apa lagi kalau sudah melempar senyuman penuh arti semacam itu. Jadi ia tidak bertanya apa-apa lagi pada Mick. Mereka kemudian mengobrol tentang hal lain dan tertawa karena lelucon Mick sampai jauh malam.
“Ayo kita pergi tidur. Kita perlu istirahat untuk perjalanan panjang besok pagi,” kata Mick bangkit berdiri.
Lamia mengikutinya berjalan menuju pintu di seberang ruangan. Tempat itu masih sama ramainya dengan tadi. Orang-orang berdatangan silih berganti. Lamia dan Mick melewati beberapa meja yang penuh berisi segerombolan pria yang minum-minum sambil bermain kartu. Beberapa wanita juga tampak berada di kedai itu meskipun biasanya mereka lebih tenang dan tidak banyak bicara.
Akhirnya mereka sampai di kamar nomor 5. Sebuah pintu besi menyambut mereka. Mick memasukkan plat besi yang diberikan pramusaji tadi di sebuah lubang panjang di tengah pintu dan membuat pintu itu bergeser ke kiri, memberi jalan bagi mereka.
“Ahh.. aku merindukan kasur busa!” seru Mick melempar tubuhnya ke tempat tidur besar yang empuk. “Ayo kesini, Mia. Kita tidur berdua seperti dulu. Aku akan memelukmu dengan hangat,” lanjut Mick membuka tangannya lebar-lebar berlagak seperti akan memeluk.
“Jangan mimpi,” jawab Lamia datar sambil menaruh kedua pistolnya di laci meja kecil di samping tempat tidur.
“Dulu kan kita sering tidur bersama sambil berpelukan,” rengek Mick cemberut.
“Waktu itu usia kita masih 3 tahun. Sekarang aku sudah bisa membunuhmu kalau kau berani menyentuhku,” kata Lamia yang kini sibuk melepas mantel dan sepatu bootnya.
Mick hanya mendengus sebal lalu berbalik memunggungi Lamia. Lamia menoleh menatap punggung lebar Mick sambil tersenyum simpul. Ia kemudian mematikan lampu dan berbaring di samping Mick. Anehnya ia sama sekali tidak merasa mengantuk.
...***...
Matahari sudah mulai terbit dan sinar-sinarnya menyeruak memasuki kamar Lamia dari jendela yang berjajar di salah satu sisi ruangan. Lamia membuka salah satu jendela dan menatap langit pagi yang cerah. Udara segar menerpa wajahnya dan membuatnya menarik nafas dalam-dalam untuk menikmatinya. Pemandangan dari atas begitu indah. Apalagi jendela itu menghadap ke arah matahari terbit.
“Uhm...” terdengar Mick mengguman tak jelas sambil menggeliat di tempat tidur. “Kau bangun pagi sekali, ‘sih?” kata Mick serak. Ia mengusap-usap matanya dan menyipit menatap siluet Lamia.
“Aku tidak tidur,” jawab Lamia datar.
“Hah? Kenapa kau tidak tidur? Kau akan kelelahan nanti,” komentar Mick berusaha duduk. Lamia menoleh menatapnya kemudian berbalik dan duduk di depan Mick.
“Aku sama sekali tidak mengantuk ataupun merasa kelelahan,” kata Lamia.
“Kau serius?” tanya Mick khawatir. Lamia hanya mengangguk pelan tanpa ekspresi.
Tiba-tiba terdengar teriakan wanita dari luar, disusul dengan kegaduhan hebat. Sejenak Mick dan Lamia saling melempar pandangan waspada. Tak lama kemudian Lamia memutuskan untuk segera mengambil tindakan. Ia dengan sigap mengambil pistolnya dari laci dan berlari keluar disusul Mick. Di depan kamarnya, para pengunjung bar juga berdatangan ingin tahu. Ternyata suara gaduh itu berasal dari kamar sebelah. Untuk beberapa saat tidak terjadi apa-apa, tapi kemudian pintu kamar sebelah itu terbuka, mengeluarkan gadis-berambut-hijau yang ditemui Mick dan Lamia semalam. Gadis itu berteriak histeris sambil menangis. Tubuhnya penuh bersimbah darah. Lamia menyambar gadis itu dan menanyainya.
“Apa yang terjadi?” tanya Lamia.
Tapi, alih-alih menjawab gadis itu malah berusaha menggigit lengan Lamia dengan ganas. Reflek Lamia melempar gadis itu sebelum berhasil mengigitnya. Si gadis terjerembab di bawah kaki Lamia. Lamia menginjak kening gadis itu, membuatnya tak bisa menggigit Lamia.
“Mick, tahan tubuhnya!” perintah Lamia pada Mick. Pemuda itu segera melakukan perintah Lamia.
Kemudian, dari dalam kamar, keluar pula dua sosok ganas yang sama dengan gadis tadi. Seorang pria dan wanita tua. Keduanya berlari menyambar-nyambar kerumunan orang yang dengan panik berlari menjauh. Lamia, yang akhirnya mengenali ciri-ciri tersebut, langsung mengangkat kedua pistolnya dan menembak pelipis pria dan wanita tua itu. Keduanya langsung terkulai dan mati. Kemudian Lamia mengarahkan pistolnya ke kepala gadis yang diinjaknya.
“Tunggu, Mia. Sepertinya aku mengenal anak ini!” seru Mick. Pemuda itu segera berlutut untuk memeriksa.
“Mick, dia mungkin sudah tertular.” Cegah Lamia. Mick hanya mengangkat tangannya untuk menenangkan Lamia.
“Shira? Shira Patrova, kau baik-baik saja?” ucap Mick kemudian. Si gadis rambut hijau itu mendongak dari sela-sela tangisnya.
“Mick… Klorin…?” rintih perempuan itu setengah terkejut, namun tampak penuh syukur.
Si gadis tampak linglung dan mengamati sekitarnya untuk beberapa saat. Ia lalu mulai menangis lagi.
“Mick, hati-hati,” kata Lamia mengingatkan.
Mick mengangguk pasti. Lamia mencoba bertanya pada gadis itu, tapi tampaknya gadis itu tidak mau berhenti menangis. Karena itu Mick hanya memapah gadis itu menuju kedai dan memberinya minuman. Sementara itu orang-orang masih mengerumuni mereka dengan penasaran. Dua mayat pasangan tua itu disingkirkan oleh pemilik kedai dan beberapa anak buahnya. Mereka kemudian mendatangi Mick dan Lamia yang masih berkutat pada gadis itu.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya pria tua pemilik kedai itu.
“Entahlah. Gadis ini tak mau bicara,” jawab Lamia.
“Tunggulah sampai ia berhenti menangis,” kata Mick.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
IG: _anipri
gadis berambut hijau itu kira-kira apa bakal ikut Lamia dan Mick?
2022-08-28
0
Kerta Wijaya
🤟🤟
2022-08-01
0