"Darah, darah siapa ini?" tanyaku yang penuh keherangan.
Aku terus memperhatikan bercak darah yang berada di tanah. Tanpa aku sadari, ibu ani, tetangga rumahku datang menghampiri.
"Luis, kau dari tadi memperhatikan apa? matamu tidak berkedip sekalipun?" tanyanya dengan suara keras, membuat aku terkaget.
"Oh, ibu ana. Aku tidak sadar sampai ibu ada di dekatku," kataku dengan tersenyum.
"Dari tadi fokus melihat ke bawah saja, kau sedang apa?" tanya ibu ani sambil memperhatikanku.
"Oh ini bu, aku sempay kaget karena ada-" bicaraku terpotong, ketika melihat darah di tanah sudah tidak ada.
Sudah beberapa menit aku memperhatikan, dan saat aku menoleh kembali, bercak darah tersebut sudah hilang. Sangat mengherankan.
"Ada apa?" ibu ani seperti keherangan.
"Tidak ada apa-apa, mungkin aku salah liat. Soalnya banyak pikiran," kataku menepis dengan cepat.
"Kirain ada hal aneh, oh, aku dengar jika adikmu sakit. Maaf, belum sempat jenguk, aku sedang sibuk. Hari ini saja, mau nunggu tukang sayur,"
"Oh, tidak apa-apa bu, ayahku juga dari desa seberang mengambilkan obat,"
"Bagus deh, semoga saja, adikmu cepat sembuh. Kau tidak mau beli sayur juga? tuh, tukang sayurnya sudah datang," kata ibu ani, menunjuk tukang sayur yang masih jauh.
"Oh, iya bu, ibu ani duluan saja. Ntar, aku susul. Aku mau ambil uang dulu," kataku berlari masuk ke rumah.
Nenek yang berada di kamar adikku, kaget melihatku.
"Luis, kau kenapa berlari?" tanya nenekku dengan menatapku heran.
"Aku mau membeli sayur nek," kataku sambil membuka dompetku, mengambil uang.
"Belikan juga nenek jagung, sama mentimun."
"Iya nek,"
"Mau nenek kasih uang?"
"Tidak perlu nek, aku masih ada uang kok," kataku walau aku hanya punya uang merah satu-satunya.
"Ngak apa-apa, ini ambil. Uangmu sebaiknya simpan saja," Nenekku menyodorkan uang merah juga padaku, aku yang melihatnya jadi melotot. Rezeki mah, tidak akan ke mana-mana.
nenekku memang sudah mengerti tentang keuanganku. Sejak ibuku meninggal, dia selalu memberiku uang walau tidak seberapa. Tetapi, aku tetap bersyukur. Masih bisa di beri, walau seharusnya aku yang memberi pada nenekku.
Aku berlari keluar, tukang sayur sudah sampai di depan rumahku. Ibu ani, dan tetangga lain sudah datang memborong.
"Eh, luis, sudah datang. Mau beli apa?" tanya ibu ani dengan ramah.
"Sayuran bu, kan masnya tukang sayur," kataku sedikit bercanda.
"Tau nih ibu ani, sudah tau, malah nanya lagi." timpah yang lain.
"Biasa luis, kan basa-basi dulu," kata ibu ani yang tertawa juga. Sepertinya dia mengerti aku sedang bercanda.
"Ngomon-mgomon nih yah, kemarin keluarga pak ahmad di teror hantu," ucap salah seorang ibu-ibu.
"Oh, di teror bagaimana bu?" tanya ibu ani dengan penasaran.
"Katanya sih, ada yang ngetuk pintu berkali-kali. Sewaktu di cek, tidak ada orang."
"Mungkin hanya orang iseng kali?" kataku sambil memilih sayuran. Aku sudah biasa, di ajak gosip sama ibu-ibu tetangga. Mulut mereka, tidak pernah mau berhenti. Tapi, aku tetap penasaran sih.
"Entahlah. Ketika sudah mengetuk pintu, terdengar ketukan di jendela dekat ruang tamunya," kata ibu-ibu yang semakin keras bicaranya.
"Makanya itu, ketika saya mau jualan sayur di sini, menjadi takut. Akhir ini, banyak penampakan saya liat biar di siang hari. Bola bergerak sendiri, baju yang terbarang," kata tukang sayur yang ikut bergosip juga.
"Masa sih pak?, tapi jangan sampai tidak datang jualan sayur di sini, kita kan sudah langganan," kata ibu ani.
"Itu yang saya pikirkan, jika begini terus, saya sudah tidak mau lagi jualan di sini," kata tukang sayur.
"Kan bukan salah kita jika kampung ini angker, kita kan juga tidak mau itu terjadi," kataku.
"Benar, kita juga tidak mau kali, kampung ini menjadi angker," timpah ibu yang lain.
"Jadi kebanyakan ngomon nih bu, kapan beli sayurnya?"
"Maaf mas, namanya juga ibu-ibu, kebanyakan milih,"
"Nih mas, aku bayar. Jadi empat puluh ribu kan?" kataku sambil menyodorkan uang merah.
"Beres neng, nanti beli lagi yah, kalau mas datang," kata tukang sayur, sambil memberi kembalian uangku.
Aku berlari masuk, setelah membayar. Sementara ibu-ibu, masih sibuk bergosip. Jika terus bergosip, pekerjaanku tidak akan beres-beres.
****
Matahari sudah nampak tergelam, aku sedang duduk membuka ponselku. Ayahku sudah pulang, mengambil motor rian. Aku mengunci pintu dengan rapat, karena sudah mau magrib.
Tiba-tiba saja, entah dari mana, aku melihat baju yang melayang di depan rumahku. Aku mengintip lebih dekat lewat jendela, ternyata benar. Aku dengan cepat, memanggil ayahku.
"Ada luis, magrib masih berteriak?" kata ayahku yang datang menghampiriku.
"Lihat yah, ada baju melayang," kataku sambil menunjuk dari dalam jendela.
Ayahku memperhatikan, dia terkejut melihatnya juga.
"Bahaya luis, tidak lama lagi, akan datang korban lagi," kata ayahku dengan panik.
Aku berusaha mencerna perkataan ayahku, korban.
"Adikmu juga sakit lagi, aku menjadi khawatir," kata ayahku dengan tatapan sedih.
"Ayah tidak boleh berprasangka buruk, doakan saja, idar cepat sembuh," kataku sambil mengelus pundak ayahku. Selama ini, aku tidak pernah melihat ayahku bersedih, menangis. Tetapi ketika ibuku meninggal, ayahku terlihat sangat cengeng dan posesif dengan anaknya. Mungkin tidak ingin di tinggal lagi.
"Ya sudah, kau temani adikmu di dalam kabar. Ayah mau shalat dulu," kata ayahku yang berjalan ke dalam.
Semenjak ibuku meninggal, ayahku tidak datang lagi ke masjid untuk shalat. Dia lebih memilih shalat di rumah. Nenek selalu melarangnya, katanya, kasian jika aku sendirian di rumah.
Aku masuk ke kamar, melihat adikku yang sudah bisa mengerakkan kakinya. Aku senang melihatnya.
"Kaki perlahan mulai pulih," kataku yang membuat adikku terkejut.
Adikku terus mengerakan kakinya, untuk melatihnya. Sepertinya, dia sudah tidak sabar untuk pulih.
Di saat aku fokus melihat adikku, suara ketukan di pintu terdengar. Idar dan aku hanya saling memandang.
Tidak lama, seseorang melempar batu ke jendela kamarku, aku dan adikku kaget. Jendela kamarku menjadi pecah.
Perasaanku menjadi tidak tenang, aku tidak melihat siapa pun di luar.
"Kak..." lirih adikku yang terlihat ketakutan.
Jujur saja, aku juga takut. Tetapi melihat adikku di dekatku, aku berusaha untuk kuat. Agar dia tidak ketakutan.
"Tidak apa-apa, hanya orang iseng," kataku sambil tersenyum, berusaha menepik ketakutan adikku.
Tidak lama, jendela di ruang tamu juga pecah, dan pintu rumah kami, berkali-kali terdengar lemparan batu.
"Ada apa ini sebenarnya?" gumanku dengan keherangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Yudi Christian
dah maen batu hantu nya ..nakal /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
2025-02-03
0