Hari Rabu, hari ketiga acara classmeeting dan akan ditutup besok dengan pembagian hadiah bagi para pemenang pertandingan antar kelas. Lusa sekolah diliburkan karena guru-guru akan mempersiapkan raport yang akan dibagikan pada hari Sabtu nya.
Pertandingan basket kedua akan dimulai jam 10.15 dimana kali ini kelas Bianca melawan kelas Devano untuk memperebutkan juara 1 dan 2.
Bianca, Della dan Mia sudah bersiap-siap memberikan support untuk kelas mereka lengkap dengan atribut dan kaos kelas mereka.
Pertandingan lumayan seru karena kedua tim memiliki kekuatan yang sama kuat meskipun kelas Devano lebih banyak suporternya karena anggota tim mereka yang di antaranya ada Devano, ada Arya, Leo dan Ernest adalah anggota tim basket sekolahTersisa Joshua di antara mereka berlima, si ganteng tapi bawel itu masuk dalam tim inti voli.
“Duh Babang Ernest makin ganteng aja,” Mia terus berbisik sambil mengipaskan wajahnya yang mulai kepanasan.
“Semakin keringatan, semakin menggoda,” Mia mengedipkan matanya sebelah ke arah Della dan Bianca yang duduk di sebelah kirinya.
“Geli najis,” Della mencebik.
“Lebay lo,” Bianca tertawa sambil menyenggol bahu Mia. Posisi duduknya diapit Mia dan Della.
“Jijai lah kalo keringetan berlebih… Bau ketek iya,” Della mencebik kembali membuat Mia merenggut.
“Kagak ada ya, Babang Ernest tetep wangi.”
“Emang elo pernah cium-cium dia ?”
Bianca tertawa melihat ekspressi Mia yang super pede.
“Dimana-mana kalo emang bau badan, kagak usah deket-deket udah kecium lah baunya dari jauh juga.” Mia mencibir.
Bunyi peluit tanda berakhirnya pertandingan babak pertama terdengar. Kedua tim berkumpul ke area kelas masing-masing untuk istirahat sejenak. Mia beranjak bangun hendak memberikan minuman dingin ke Ernest. Della buru-buru menarik tangan Mia menahannya.
“Eh mak, inget ya.. Sekarang babang ganteng elo itu lawan kita. Jangan macam-macam lo kalo nggak mau digebukin temen sekelas, Gue bakal jadi yang pertama,” Della melotot. Mia merenggut dan mengurungkan niatnya pergi ke sisi seberang tempat mereka duduk.
“Tunggu selesai pertandingan aja Mi,” tutur Bianca.
Devano yang sedang menenggak minuman botolnya sempat melirik ke arah Bianca duduk dengan kedua temannya. Dia sengaja memposisikan diri menghadap ke sisi seberang. Selesai minum dia mengambil handuk dari dalam tasnya dan tanpa sadar sesuatu terjatuh beraamaan dengan handuk kecil yang keluar. Tidak lama peluit berbunyi kembali menandakan pertandingan kembali dimulai.
Chika yang baru saja dari toilet melintas ingin kembali ke tempat Nindi dan teman-teman lainnya duduk sebagai supporter tim Devano. Tidak sengaja matanya menatap sebuah amplop dekat tumpukan tas anggota tim basket yang sedanh bertanding. Alisnya berpaut dan matanya sedikit memicing menatap tulisan di depan amplop. To : Devano. Dia mengedarkan pandangan sekitar pada para siswi yang sedanh seru menonton pertandingan. Karena tidak ada ide pengirim surat yang ada di tangannya, Chika memasukan amplop putih itu ke salam saku rok nya dan meneruskan langkahnya ke tempat duduk Nindi dan genk nya.
“Nin,” Chika menyenggol bahu Nindi setelah duduk di sampingnya. Dia mengeluarkan amplop yang tadi dipungutnya di pinggir lapangan.
“Apaan nih ?” Nindi menerima amplop dari tangan Chika sambil menautkan alisnya.
“Kayaknya surat cinta buat Devan, tapi gue belum buka jadi kagak tahu siapa yang kirim.”
Nindi cepat-cepat membuka amplop yang memang sudah terlepas lem nya. Matanya langsung melotot tidak percaya dan dengan pandangan marah ditatapnya Bianca dan kedua temannya yang duduk di sisi seberangan dengannya.
“Brengsek tuh cewek ya, kegatelan. Berani-beraninya kirim surat cinta buat Devan.” Tanpa sadar Nindi meremas kertas yang ada di tangannya.
“Siapa ?” Chika berbisik.
“Tuh si kecakepan,” Nindi menunjuk dengan dagunya. Chika mengikuti arah dagu Nindi tapi kemudian menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Begitu banyak deretan siswi yang duduk di sisi seberang mereka sebagai suporter.
“Yang mana ?” Chika memicingkan mata sambil menebak-nebak.
“Bianca !” ketus Nindi
“What.??!!!” Chika reflek berteriak membuat para suporter yang duduk di sekitar mereka menoleh.
“Sorry, sorry,” Chika tersadar sambil cengengesan.
“Wooiii ada apaan sih ?” Tasya mulai kepo.
“Nggak bisa di diemin nih, bisa bertingkah tuh anak,” ucap Nindi geram.
“Terus elo mau ngapain dia ?” Chika balik bertanya.
“Eh ada apaan sih ?” Tasya yang duduk di sebelah mereka masih ikutan kepo. Tapi Nindi dan Chika tidak menjawab pertanyaan Tasya.
“Habis ini elo bawa tuh anak ke gudang belakang.”
Chika hanya mengangguk sementara Tasya masih bergantian menatap kedua temannya dengan kebingungan. Nindi sudah tidak fokus lagi menonton pertandingan basket di depannya. Matanya terlihat nyalang menatap Bianca yang sekali-sekali tertawa dengan kedua temannya dan ikut berteriak memberikan support untuk tim kelasnya. Nindi mengepalkan kedua tangannya gemas sementara surat yang tadi di tangannya sudah berpindah kembali ke tangan Chika dan buru-buru dimasukkan ke dalam tas ranselnya.
Pukul 11 lewat pertandingan selesai dan sudah pasti dimenangkan oleh tim Devano tapi dengan selisih angka hanya 4 point.
Chika yang sejak tadi sudah bersiap-siap, sudah berdiri di deretan tempat Bianca duduk sejak sebelum pertandingan berakhir, segera menghampiri Bianca yang masih bersama Della dan Mia.
“Bianca,” Chika sedikit berteriak karena suasana sudah mulai berisik. Para supporter sudah mulai bangun dari area lapangan.
“Dipanggil Pak Rustam soal lomba menulis,” Chika sudah berdiri di antara mereka.
“Eh ada apa lagi ya ?” Bianca bertanya sedikit bingung. Dia memang menjadi perwakilan kelas dalam lomba menulis artikel seputaran remaja. Pemenangnya akan mendapatkan piagam dan tulisannya akan dimuat di majalah sekolah yang terbit 3 bulan sekali.
“Nggak tahu juga,” Chika mengangkat bahunya. Kebetulan Chika juga ikut dalam lomba tersebut makanya dia tahu ada nama Bianca sebagai peserta juga.
“Pak Rustam mau ketemu dimana ?” Bianca mendekati Chika.
“Ada sedikit briefing di perpustakaan,” jawab Chika.
“Gue ke perpus dulu girls,” Bianca pamit pada kedua temannya. “Nanti kirim wa aja ya kalian dimana, gue nyusul.”
“Mau ditemenin nggak ?” Della menahan tangannya dengan pandangan sedikit curiga pada Chika.
“Masih di sekolah kali Del,” Bianca tertawa. Dia melambaikan tangannya sambil mengikuti langkah Chika.
Dari sisi seberang, Arya yang baru saja selesai briefing dengan timnya sempat memperhatikan interaksi Bianca dengan Chika dan kedua temannya. Tadinya dia berencana menghampiri Bianca dan mengajaknya makan ke kantin, tapi Bianca sudah keburu pergi tanpa kedua temannya.
Perpustakaan ada di lantai 2 di sudut yang berbeda dengan kelas Bianca. Baru kakinya mau melangkah menaiki tangga, Tasya dan Lia sudah keburu menahannya.
“Loh katanya Pak Rustam di perpustakaan ?” Bianca menoleh menatap Chika yang berdiri di belakangnya.
“Ikut kita dulu,” Lia dan Tasya sudah memegang tangan Bianca masing-masing di sisi kiri dan kanan. Bianca masih berusaha berontak melepaskan diri.
“Apaan sih kalian ? Ada urusan apa ?” Tatapan Bianca terlihat tidak suka.
“Cuma mau ngomong doang, bentaran aja, nggak mau ?” Chika mendekatkan wajahnya pada Bianca. Reflek gadis itu memundurkan wajahnya.
“Ada urusan apa Nindi mau ketemu gue ?”
“Ya kalo elo mau tahu gampang kan tinggal ikut kita,” Lia yang menjawab dengan sedikit menarik tangan Bianca.
Bianca sempat menoleh ke belakang mencari-cari Mia atau Della, tapi sejauh mata memandang keduanya tidak kelihatan. Pasti mereka langsung ke kanton, batin Bianca.
“Nggak usah pegang-pegang gini kayak penjahat,” Bianca berusaha melepaskan tangan Lia dan Tasya yang masih memegangnya kecang.
“Lepasin,” titah Chika. Lia dan Tasya melepaskan tangan mereka dan menggiring Bianca ke halamanbelakang sekolah yang memang cukup sepi.
Sampai di sana Nindi sudah menunggu dengan wajah sedikit memerah karena marah ditambah udara cukup panas siang ini. Di tangannya sudah ada lembaran surat yang terlihat kucel karena sempat diremas di lapangan tadi.
“Punya cermin nggak di rumah ?” Nindi mendekati Bianca dengan tatapan garang. “Punya nyali juga pake kirim surat cinta segala buat Devan.” lanjut Nindi sambil menoyor jidat Bianca membuat gadis itu agak terdorong ke belakang.
Mata Bianca menatap lembaran surat yang ada di tangan Nindi.
“Suka-suka gue mau kirim surat berapa banyak ke Devano, elo bukan pacarnya kan ?” Bianca yang sempat mundur beberapa langkah sekarang maju mendekati Nindi sambil membalas tatapannya dengan galak juga.
“Kok bisa ya surat buat Devano ada di tangan Nindi ? “ batin Bianca. “Kalo gue kelihatan takut di depan cewek model begini, bisa tambah di bully.”
Nindi tidak menjawab malah mendorong kedua bahu Bianca cukup kencang hingga dia terjembab ke tanah. Nindi berjongkok dan menarik kerah seragam Bianca.
“Gue peringatin ya sama elo, jangan coba-coba cari muka sama Devano apalagi deketin dia. Elo kira dengan bisa nonton bareng sama dia, Devano bisa tertarik sama elo ?”
Bianca berontak dan berusaha melepaskan cengkeraman Nindi di bajunya, tapi Lia dan Tasya sudah lebih dulu memegang kedua tangannya dengan posisi Bianca masih terduduk di tanah.
“Elo kira Tuhan bisa ngatur perasaan Devano ?” Bianca mencebik. “Suka-suka dia mau terima cewek mana jadi pacarnya.”
Nindi menggeram kesal sambil mengepalkan kedua tangannya. Rasanya tangannya sudah gatal ingin menampar Bianca tapi masih ditahannya.
“Jangan main-main sama gue ya,” Nindi kembali menoyor jidat Bianca dengan kasar. “Gue akan bikin sisa hidup elo di SMA jadi mimpi buruk yang nggak bakal elo lupain seumur hidup kalo elo masih lanjut.”
Bianca sudah siap-siap mau menjawab namun Nindi keburu mencengkram dagunya.
“Lagian elo sadar diri ya, elo tuh kagak pantes dan nggak bakal dilihat Devano.” Nindi menggoyangkan dagu Bianca dengan kasar hingga Bianca memejamkan mata supaya tidak pusing.
Nindi bangun dan memberi kode kepada kedua temannya untuk melepaskan tangan Bianca dan kemudian melangkah meninggalkan Bianca yang masih terduduk. Nindi sempat berhenti dan menoleh sebelum melangkah lebih jauh.
“Ingat ya, elo lanjut berarti elo udah siap bermimpi buruk sepanjang sisa waktu elo di sekolah.”
Bianca masih belum beranjak ketika Nindi dan ketiga temannya sudah menghilang. Dia menarik nafas panjang. Pikirannya penuh tanda tanya kenapa surat nya untuk Devano bisa ada di tangan Nindi. Apa Devano membuangnya sembarangan hingga ditemukan oleh Nindi atau justru Devano sengaja memperlihatkan surat Bianca pada teman-temannya yang memang sering ngobrol dengan Nindi dan genk nya.
“Huuffttt” Bianca menarik nafas panjang kembali dan bangun. Dia membersihkan roknya yang ternyata kotor kena tanah merah yang lumayan lembab.
“Duh kerjaan aja nih,” dia mencoba membersihkan liat tanah merah yang menempel tapi susah dihilangkan.
Akhirnya Bianca memutuskan kembali ke kamar mandi untuk membersihkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
sifra medline
cuma bisa komen
2023-05-29
1
#ayu.kurniaa_
.
2023-03-22
1
Erinda Dwi Wulandari
jangan bilang surat yg dari Bianca ya Thor ....
2023-02-04
2