Tidak terasa waktu cepat berlalu. Ujian pertengahan semester ganjil baru saja berlalu. Anak-anak kelas 12 sudah mulai sibuk dengan pendaftaran kuliah di perguruan tinggi swasta.
Situasi Bianca sampai saat ini masih aman-aman saja. Nindi dan geng nya sudah tidak lagi cari gara-gara karena hubungan Bianca dengan teman-teman Devano juga semakin menjauh. Arya sendiri terlihat menghindari Bianca, Mia dan Della. Bahkan saat berpapasan secara tidak sengaja, Arya terlihat acuh dan dingin seperti biasanya.
Della dan Mia yang sempat bertanya-tanya akhirnya mendapat penjelasan dari Bianca secara panjang lebar.
“Elo nggak sayang Sis melepas cowok sekeren Arya ? Dia kagak kalah sama Devano loh,” Mia bertanya sambil menyantap batagor di kantin sekolah. Hari ini mereka hanya bersekolah sampai jam 10 karena ada rapat guru.
“Kalo elo mau, pdkt gih,” Bianca dengan santai menikmati jus strawberry nya.
“Dih lo kira barang sale, siapa yang suka tinggal ambil,” Mia mencebik dengan mulut penuh.
“Elo kan biasanya garcep Mi,” kali ini Della yang menanggapi.
“Cowok kaku kayak gitu bisa bikin gue bosen sama mati gaya deket-deket dia.”
“Cewek sebawel elo mana mungkin kehabisan stok dan mati gaya,” Della mencibir sementara Bianca hanya tertawa.
“Bukan target gue cowok begituan.”
“Ala kayak elo juga masuk kategori Arya,” Della menoyor jidat Mia yang membuat gadis itu langsung melotot.
“Della !!” Mia setengah berteriak. “Kebiasaan, elo kira jidat gue samsak apa ?”
“Biar pikiran elo kebuka sedikit jadi kagak lemot,” Della tertawa dan menghindari tangan Mia yang berusaha membalasnya.
“Udah sih, bentar lagi jadi mahasiswa kelakuan kayak anak SD aja,” Bianca mencoba melerai.
“Betewe pak rw, elo pada mau lanjut kemana ?” Mia memasukan batagor terakhir ke dalam mulutnya.
“Elo jadi lanjut ke Aussie, Mi ?” tanya Della.
“Gue pengennya tetap di Jakarta bareng elo-elo pada. Tapi kayaknya keputusan papi nggak bisa diganggu gugat.”
“Elo gimana Bi ?” Della bertanya pada Bianca yang duduk di sebelahnya.
Bianca menggelengkan kepalanya. “Gue lagi ajuin beasiswa, tapi dapatnya jurusan sastra.”
“Sesuai bakat dan kemampuan elo kalo gitu Sis.”
“Iya tapi kayaknya gue perlu yang bisa cepat dan gampang cari kerja. Dua tahun lagi Bernard masuk kuliah juga. Dia udah fixed mau ambil kedokteran.”
“Bi, sekarang kan banyak pilihan. PTN juga udah banyak membuka kesempatan, tinggal usahain beasiswa.” Mia menatap sahabatnya itu.
“Tetap aja biar beasiswa butuh tambahan biaya biar sedikit. Belum lagi kalau dapatnya di luar kota harus ada biaya kost.”
“Elo sendiri gimana Del ?” Mia beralih ke Della.
“Gue fixed daftar PTN paling ambil jurusan seputaran ekonomi. Tapi kalo nggak diterima ya terpaksa swasta diambil juga,” jawab Della.
“Nggak berasa ya kita udah mau kuliah aja,” Mia berkata dengan sedih. “Bakalan pisah juga kita bertiga.”
“Asal jangan ketemuan lagi pas udah mau kawin aja,” cetus Della.
“Ya ampun Della,” Bianca menepuk bahu sahabatnya. “Lulus SMA aja belum, lanjut kuliah, kerja dulu kali baru mikir kawin.”
“Siapa tahu aja Mia balik Indo udah bawa bule plus tabungan di perutnya,” jawab Della santai yang disambut dengan pelototan Mia. Tangannya sudah reflek terangkat mau memukul bahu sahabatnya itu. Tapi gerakannya tertahan dan tertahan di udara. Bianca dan Della yang melihat reaksi Mia mengikuti arah pandangan mata Mia. Reflek mereka menoleh dan sedikit menggerakan badan ke belakang. Di pintu kantin seperti biasa Lima Pandawa masuk dan menyita perhatian sebagian pengungjung kantin yang tidak terlalu ramai karena sebagian siswa memilih langsung pulang.
Bianca sempat beradu pandang dengan Devano, tapi pria itu segera memutusnya dan membuang pandangan ke lain arah. Bianca menatap Arya yang terlihat dingin dan tidak perduli dengan sekelilingnya. Ada sedikit rasa bersalah di hati Bianca. Ada kerinduan mendengar suara Arya yang ternyata sangat bawel jika berduaan dengannya. Tapi masalah hati tidak bisa dipaksakan. Rasa nyaman saat bersama Arya hanya sebatas rasa sebagai sahabat bukan kekasih.
“Kedip wooiii,” Mia menepuk kedua tangannya di hadapan wajah Bianca membuat gadis itu sedikit terkejut.
“Apaan sih,” omelnya pelan.
“Duuhh lihat tuh,” Della menunjuk dengan gerakan dagunya sambil mencebik. “Kagak ada kapok-kapoknya udah kena hukuman sekolah.”
“Biar makin terkenal doonngg,” sahut Mia.
Bianca yang sudah kembali ke posisi semula membelakangi pintu masuk hanya bisa tertawa melihat interaksi kedua sahabatnya. Della dan Mia sedang bergaya mengikuti cara Nindi berbicara dengan gaya gemulainya. Tidak lama terdengar suara batuk orang tersedak di salah satu meja.
“Tuh kan jadinya tersedak,” tutur Bianca pelan sambil cekikkan. “Elo pada omongin dia sih.”
Della dan Mia yang melihat kondisi Nindi saling melemparkan pandangan dan akhirnya tertawa bersama dengan volume agak pelan supaya tidak menarik perhatian yang lainnya. Bianca ikut tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. Sesaar kemudian terdengar suara notifikasi dari handphone Bianca.
Tante Angela
Manis, hari ini kamu pulang cepat ya ? Apa bisa tante minta tolong ditemani pergi mencari barang ?
Wajah Bianca mendadak tegang saat membaca pesan masuk dari mamanya Devano. Dia bingung harus menjawab apa.
Mia dan Della yang melihat perubahan di wajah Bianca saling melempar pandangan dan menaik turunkan alis seolah saling bertanya. Dan bersamaan pula mereka menggedikan bahu.
“Kenapa Bi ?” Della menyenggol bahu Bianca yang langsung mengangkat wajahnya dengan tatapan bingung. Tanpa menjawab pertanyaan kedua sahabatnya, Bianca mengangkat handphonenya dan memperlihatkan pesan yang masuk kepasa kedua sahabatnya.
Belum sempat memberi saran kepasa Bianca, tidak lama telepon masuk muncul di layar handphone dengan nama Tante Angela.
“Duh malah telepon lagi,” Bianca menepuk jidatnya.
“Udah angkat aja, nggak enak.” Saran Mia.
Bianca menatap kedua sahabatnya bergantian dan keduanya mengngguk seolah menjawab tatapan Bianca yang bertanya. Bianca beranjak dari kursinya dan memilih keluar dari kantin. Belum sempat mengangkat, ternyata panggilan telepon teeputus. Bianca tetap berdiri di luar kantin, jaga-jaga kalau telepon dari mamanya Devano masuk kembali ke handphonenya. Semenit duamenit belum ada telepon yang masuk akhirnya Bianca memutuskan untuk menelepon balik. Tidak enak juga hatinya karena aelama ini Tante Angle- mamanya Devano sangat baik padanya. Setelah memencet kembali nomor yang sempat masuk ke handphonenya, Bianca mendekatkan handphone ke telinganya, dan semenit kemudian terdengar jawaban otomatis kalau nomor tujuannya sedang sibuk.
“Apa begitu susahnya menerima telepon mamaku ?” suara Devano sudah berada di belkangnya membuat refleks Bianca menoleh dan mundur beberapa langkah lalu mengusap dadanya.
“Belum sempat gue angkat terus mati,” Bianca mengangkat handphone dan memperlihatkan ke arah Devano.
“Udah telepon balik tapi nada sibuk.”
“Telepon sekarang !”bentak Devano membuat Bianca lagi-lagi terlejut.
“Devano !” Panggilan Bianca yang cukup keras menghentikan langkah Devano yang sudah membalikan badannya meninggalkan Bianca.
Devano berhenti namun tidak menoleh. Bianca berjalan mendekati posisi Devano supaya tidak perlu berteriak.
“Gue nggak pernah lupa dengan pesan elo untuk tidak dekat-dekat dan menanggapi Tante Angela. Jangan coba-coba elo bilang,” Bianca menjeda sejenak menanti reaksi Devano.
Tetapi pria dingin di depannya hanya diam dengan posisi awalnya tanpa membalikkan badan berhadapan dengan Bianca.
“Tolong kasih pengertian ke Tante Angela. Gue nggak pernah sekalipun cari perhatian beliau, jadi jangan elo salah paham berpikir gue masih berusaha mendekati elo lewat Tante Angela.” Nada suara Bianca naik satu oktaf karena kesal melihat Devano hanya diam saja.
Devano membalikan badannya. Kedua tamgannya mengepal di samping dan rahangnya mengeras menahan emosi. Kedua matanya menatap tajam ke arah Bianca. Kali ini gadis itu balik menatapnya tajam.
“Jangan pernah berpikir bahwa perasaan yang ada di dalam surat gue itu masih berlanjut,” ujar Bianca dengan tatapan tajam. “Gue udah buang jauh-jauh dan meyakinkan diri bahwa rasa itu udah hilang dari hidup gue !” Bianca melangkah maju dan berjalan melewati Devano yang masih mengepalkan tangannya.
Baru beberapa langkah Bianca berhenti dan berbalik.
“Jangan khawatir gue nggak akan pernah angkat tellepon Tante Angela dan itu bukan karena kurang ajar, tapi hanya menepati janji gue dengan anaknya.”
Setelah mengucapkan kalimatnya, Bianca berbalik dan melanjutkan langkahnya. Dia sempat memejamkan mata dan mengatur nafasnya yang naik turun lebih cepat. Setelah agak jauh, Bianca mengelus dadanya menetralkan perasaannya yang tidak karuan. Mulutnya boleh terus berucap sudah move on dari Devano dan melupakan rasa cintanya, tapi hatinya berkata lain. Sulit membuang rasa yang dipupuknya hampir 5 tahun. Seperti pohon yang dicabut sudah tidak terlihat di atas tanah, tapi sisa-sisa akarnya belum terangkat semuanya.
Bianca menarik nafas panjang dan mulai menetralkan kembali kegalauannya. Berharap semoga benar-benar bisa menghapus nama Devano dari kehidupannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Rikson Wabiser
suka bianca gak bucin 🙏
2023-03-19
1
Risna Wati
Aryaaa koq gtuuu seh
2023-03-04
1
Yeni Yeni
suka sikap bianca , gak bucin 👍
2023-01-26
6