“Bro,” Leo menepuk bahu Arya sebelum duduk di bangkunya. “Sejak kapan bisa perhatian sama cewek ?”
Ernest dan Joshua yang duduk di deretan bangku depan mereka langsung membalikan tubuhnya. Mereka sempat melihat adegan es jeruk antara Arya dan Bianca. Devano yang duduk di barisan sebelah, sejajar dengan bangku Arya terlihat cuek dan sibuk mengeluarkan buku dari tasnya.
Arya tersenyum tipis dan wajahnya terlihat misterius.
“Eh kulkas,” timpal Joshua yang suka nyeblak “Gue kira elo kagak demen sama cewek apalagi pacaran,” lanjutnya.
“Kok bisa Bianca sih Ya ?” tanya Leo penasaran.
“Emang kenapa kalo Bianca ?” Arya balik bertanya.
“Duuuhhh elo lamur ya ? Perlu kacamata minus ?” Joshua kembalk menyahut. “Noh di grupnya Nindi banyak yang cakep-cakep. Kenapa malah si Bianca itu yang…” Joshua belum sempat meneruskan kalimatnya karena Arya langsung menoyor pipinya.
“Selera orang emang bisa dipaksain ?” jawab Arya sambil melotot menatap Joshua.
“Ya kulkas, tapi nggak nyangka aja…” Joshua sengaja menggantung kalimatnya.
“Kulkas, kulkas… Emang g tempat penyimpanan ?” protes Arya sambil menoyor kembali kepala Joshua.
“Diihh kan memang elo kulkas. Bbrrr dingin-dingin gitu sama cewek. Makanya gue sebetulnya rada-rada khawatir berteman sama elo dan dia noh,” Joshua mengangkat dagunya mengarah ke Devano. Reflek ketiga temannya menoleh mengikuti arah dagu Joshua.
“Nah kalo Arya kulkas, Devano apaan ?” tanya Ernest sambil senyum-senyum.
“Freezer Bro,” Joshua menjawab sedikit kencang. Ernest, Leo dan Joshua langsung ketawa.
Devano menoleh mendengar tawa teman-temannya. Dia melepaskan earphonenya sebelah. Matanya menatap teman-temannya yang duduk berseberangan.
“Apaan ? Ngomongin gue ?” tanya Devano
“Bro, elo pernah naksir-naksir gitu nggak sih sama cewek di sekolahan atau di luar sekolah ?” Joshua mewakili teman-temannya melontarkan pertanyaan yang sebetulnya bikin penasaran ketiga temannya.
“Pertanyaan kagak penting,” jawab Devano datar lalu memasang kembali earphone nya.
“Bener kan istilah yang gue kasih, freezer,” Joshua mengoceh kembali dan yang lainnya hanya tertawa.
“Bro,” Ernest yang duduk persis berseberangan menepuk bahu Devano membuat cowok itu menoleh dan kembali melepaskan earphone di sebelah kiri telinganya.
“Elo masih doyan lirik-lirik cewek kan ? Nggak jeruk makan jeruk ?” Lanjut Ernest dengan wajah sedikit serius.
“Penting banget apa jawaban gue ?”Devano balik bertanya dan dijawab anggukan oleh keempat temannya secara bersamaan.
“Kepo !” Devano melepas earphone nya yang terpasang di telinga kanannya dan bangkit dari duduknya dan melangkah keluar. Dia berdiri di tembok pembatas depan kelas dengan pemandangan kelas IPS yang letaknya memang berseberangan. Matanya menatap keliling hingga didapatinya sosok Bianca dan Mia yang sedang berbincang-bincang dengan beberapa anak IPS lain di bangku depan kelas mereka.
Pandangannya terpaku pada sosok yang ada jauh di seberangnya. Reflek tangannya dimasukan ke dalam saku celananya untuk sekedar memastikan amplop putih yang diberikan Bianca tadi pagi masih aman di tempatnya.
“Bro,” Arya yang ikut keluar kelas menepuk bahu Devano dan ikut berdiri di sampingnya. Reflek Devano mengalihkan pandangannya.
“Lihat Bro,” Arya menunjuk pada sosok Bianca dan teman-temannya. Devano mengikuti arah tangan Arya. Dia sendiri sudah tahu arah pembicaraan Arya.
“Gue juga nggak ngerti kenapa bisa suka sama dia,” Arya menarik nafas panjang. “Bukan salah satu member idola sekolah, nggak pinter juga, nggak populer tapi bikin gue pengen deket-deket sama dia terus,” lanjut Arya sambil tersenyum tipis. Pancaran matanya terlihat penuh semangat saat membicarakan sosok Bianca.
“Gue mulai perhatiin dia sejak kelas 10 semester 2, pas dia nyanyi isi acara ulangtahun sekolah,” lanjut Arya.
Devano sedikit enggan mendengarkan curahan hati Arya. Ada suatu gejolak dalam hatinya yang dia tidak mengerti.
“Selama ini gue pikir semua cewek sama aja dan nggak ada minat buat pacarin salah satu dari mereka,” Arya masih melanjutkan curahan hatinya. “Pas lihat Bianca nyanyi, gue pikir cuma sekedar perasaan kagum karena suaranya terdengar penuh penghayatan. Ternyata Bro……” Arya menarik nafas menjeda kalimatnya. Kali ini senyuman lebar terpampang di wajahnya.
“Elo udah nembak dia ?” Devano yang dari tadi menahan gejolak perasaannya akhirnya bertanya juga.
“Belum,” jawab Arya sambil menggelengkan kepalanya. “Rencana gue pas classmeeting sebelum libur kenaikan kelas. Biar banyak waktu ngapelin pas libur panjang,” terdengar Arya berkata sambil tertawa kecil.
“Elo yakin dia pasti terima elo ?” Devano bertanya kembali. Reflek Arya menoleh dan membalikan badannya menjadi menatap Devano.
“Atas dasar apa elo punya pikiran kalo dia bakal menolak gue ?” Arya menatap Devano serius, sementara Devano sendiri masih di posisi semula dan pandangannya masih ke seberang ke arah kelas IPS.
“Dalam hidup selalu ada kemungkinan Bro,” jawab Devano datar. “Gue lihat Bianca bukan tipe cewek yang gampang suka cowok dan kalaupun dia suka bukan karena cowok itu punya sesuatu yang istimewa banget di mata banyak orang.”
“Bener juga Bro,” Arya menarik nafas panjang dan memutar kembali posisinya sejajar Devano.
“Menurut elo, gue harus nembak dengan cara apa supaya Bianca bisa terima ?” Arya bertanya kembali.
Devano hanya mengangkat bahunya. Ada sedikit perasaan khawatir, gelisah dan tidak nyaman mendengar curahan hati Arya. Di usianya yang hampir 18 tahun, baru kali ini dia merasakan sesuatu yang tidak biasa saat bicara tentang sosok perempuan. Devano sendiri tidak mengerti dengan gejolak hatinya karena ini adalah yang pertama buatnya.
“Jadi menurut elo, tepat nggak kalo gue nembak pas classmeeting ini ? Atau pendekatan dulu ?” Arya kembali bertanya. Pandangan matanya terarah pada sosok Bianca yang masih asyik berbincang sambil sesekali tertawa dengan teman-temannya.
“Kayaknya elo salah menanyakan hal beginian sama gue,” Devano menjawab sambil menarik nafas.
“Kan elo tau sendiri, gue nggak tertarik soal pacaran dan belum punya pengalaman soal tembak menembak,” Devano memjawab dengan senyuman getir.
“Iya juga sih,” Arya tertawa kecil. “Nggak tertarik soal pacaran bukan berarti nggak tertarik cewek kan ?” Arya menepuk bahu Devano lagi.
“Sialan lo !” Devano menoleh sambil melotot ke Arya sementara Arya hanya tertawa.
“Coba pacaran Bro mumpung masih ada waktu setahun. Kata orang nostalgia SMA yang paling indah,” Arya menepuk bahu Devano lagi.
Kali ini Devano hanya diam menanggapi pernyataan Arya. Sejak kelas 10, Devano sudah bertekad belum mau pacaran sampai dia selesai sekolah atau minimal kuliah S1 selesai. Melihat teman-temannya yang sering galau karena punya pacar membuatnya malas dipusingkan dengan hal-hal seperti itu. Sepertinya lebih banyak galaunya kalau menjalani masa pacaran di SMA. Ernest dan Leo yang pernah pacaran, sempat sampai sakit karena sakit hati. Belum lagi Joshua yang sering minder dan frustasi sendiri karena sering mendapat penolakan dari cewek-cewek di sekolah yang pernah ditembakmya. Hanya Devano dan Arya yang belum membuat catatan nostalgia SMA dengan kisah percintaan. Dan sekarang, entah bagaimana keduanya justru mulai merasakan gejolak asmara dengan wanita yang sama.
Tidak lama kemudian terdengar suara di speaker kelas dari ruang Tata Usaha yang mengumumkan kalau anak-anak kelas X, XI dan XII boleh pulang tepat saat bel istirahat. Bu Tanti, guru yang bertugas membacakan pengumuman mengingatkan anak-anak untuk masuk seperti biasa pada hari Senin untuk mengikuti kegiatan classmeeting yang akan berlangsung selama 4 hari sampai dengan hari Kamis. Tidak lama sesudah Bu Tanti menutup pengumuman, bel tanda istirahat berbunyi. Anak-anak yang ada di luar kelas segera masuk untuk melakukan doa bersama sebelum pulang.
Kelima sahabat itu pun segera merapikan tas mereka dan bersiap pulang. Seperti biasa Joshua nebeng di motor Ernest, Arya pulang sendiri dengan motornya, Leo nebeng di mobil Devano sampai perempatan yang berjarak 1.5 km dari sekolah.
“Devano,” panggilan Nindi menghentikan aktivitas kelima cowok itu yang bersiap-siap pulang. Devano dan Leo sendiri sedang berjalan menuju parkiran mobil.
“Besok jadi pergi yuukk,” Nindi langsung berdiri di hadapan Devano dan menatap cowok itu dengan puppy eyes nya.
“Males,” jawab Devano tanpa menoleh menatap Nindi. Ekspresi wajahnya yang datar terlihat sedikit kesal.
“Ramean Van,” tutur Siska teman satu geng Nindi yang berdiri dekat motor Ernest.
“Boleh juga sekedar refreshing Bro,” Joshua yang menjawab kali ini.
“Gue males, elo pada pergi aja kalo mau,” jawab Devano sambil melangkah menuju mobilnya.
Ekspresi Nindi terlihat kesal karena sikap Devano yang cuek. Dia menghentakkan kakinya ke tanah saking kesalnya.
“Udah pergi sama gue, Leo dan Ernest aja,” lagi-lagi Joshua yang menjawab, sementara Devano sudah masuk ke mobil dan Leo masih berdiri di pintu yang terbuka di sisi penumpang depan.
“Apaan sih !” Nindi melotot ke Joshua. “Gue maunya pergi sama Devano bukan elo,” Nindi mendengus kesal.
“Dih sombong banget nih cewek, pilih-pilih orang,” Joshua masih terus membalas ucapan Nindi.
“Udah Bro,” Ernest menepuk bahu Joshua. “Cabut yuukk, udah siang, nanti dicari mama.”
“Geli,” Joshua mencibir ke arah Ernest yang tertawa. Dia memasang helmnya dan langsung duduk di boncengan motor Ernest.
Nindi yang masih berdiri dengan wajah kesal hanya bisa memandang Devano yang sudah membawa mobilnya keluar dari parkiran sekolah. Dia masih menghentak-hentakkan kakinya karena kesal.
“Sabar Sis, pelan-pelan jangan grusukan,” Siska yang memang lebih sabar menepuk bahu Nindi.
“Makin elo uber dengan agresif kayaknya Devano makin menjauh dari elo,” timpal Mirna yang berdiri dekat situ juga.
Nindi mendengus kesal dan tanpa berkata apa-apa dia segera menghampiri sopirnya yang sudah menunggu sejak tadi. Siska dan Mirna ikut pulang dengan mobil Nindi juga karena mereka sudah janjian mau ke salon siang ini.
Sementara Devano yang berhenti menunggu antrian keluar di gerbang sekolah, tidak sengaja menatap sosok Bianca yang sedang berjalan persis di depan gerbang bersama dengan Della dan Mia. Tidak lama Arya dengan motornya malah berhenti di depan mereka.
“Wuuihhh tuh si Arya, tempel terus, gas poll kagak kasih rem,” Leo yang duduk di samping Devano langsung berkomentar melihat Arya yang entah bicara apa dengan Bianca. Hanya terlihat Bianca menggeleng dan Mia senyum-senyum sambil mendorong-dorong bahu Bianca dengan bahunya.
Pas sampai di sisi Arya berhenti, Leo membuka kaca mobil dan Devano menghentikan mobilnya sejenak.
“Semangat Bro,” Leo menggoda Arya sambil memberi kode tangan pemberi semangat.
Bianca dan kedua temannya sempat menoleh ke arah Leo yang sedang tertawa menggoda Arya. Bianca sempat melirik Devano yang masih duduk di kursi pengemudi dengan wajah datar dan tidak menoleh sama sekali. Bianca menarik nafas panjang.
“Bahkan menoleh ke arahku aja dia malas,” keluh batinnya.
“Bi, angkotnya datang,” Della yang merasa tidak nyaman dengan situasi saat ini langsung menarik tangan Bianca.
“Sorry ya Ya, gue balik dulu,” Bianca mengangkat tangannya sebelah dengan gerakan sedikit melambai ke Arya.
“Bye Bibian,” teriak Leo dari dalam mobil.
Bianca menoleh dan melambaikan tangan juga pada Leo. Langkahnya sedikit terseok ditarik oleh Della.
“Semngat Bro,” Leo kembali berkomentar pada Arya yang sudah siap-siap menjalankan kembali motornya
Arya mengangkat jempol lalu membalik posisinya yang ditanggapi dengan tawa Leo. Devano masih dengan wajah datarnya tanpa ikut berkomentar juga mulai menjalankan kembali mobilnya. Tanpa Leo sadari, Devano sempat melirik sosok Bianca yang sudah duduk manis di angkot.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
iinparwati seviarny
ga tau kenapa suka bgt sama novel ini, sampai 3x ngulang baca saking senengnya
2023-10-25
1
Siti rayhan
cerita nya hampir sama kisah cinta ku waktu masa sekolah
2023-09-22
1
Ulfa Saro
Sampek episode BRP ini
2023-04-21
1