Wah jadi ini ruangan buat para penulis ya? Keren banget ruangannya besar lagi gak kayak ruangan para peneliti, aku menyelidik ke arah jendela, aku melihat keluar sana indah sekali inikah kota jakarta yang setiap hari ku lalui? Aku tersenyum seraya melipat tangan di atas dada.
"Bagaimana ruangannya?" Tanya seseorang yang baru muncul, dan memasuki ruangan.
Aku menoleh ke arah suara. "Saya suka, ngomong ngomong penulis yang lain mana?" Iya dari tadi aku hanya seorang diri di ruangan ini.
"Ada di ruangan yang lain." Jawabnya seraya mendekat padaku.
"Loh, bukannya para penulis ada di satu ruangan?" Tanyaku sedikit mendongak untuk menatap wajahnya.
"Itu untuk penulis lain kamu penulis yang berbeda, jadi sudahlah jangan mencari penulis yang lain fokus saja menulis karyamu sendiri disini." Ujarnya seraya keluar dari ruanganku.
"Ah jadi ini ruangan khusus buat calon istrinya." Ucapku seraya senyum senyum.
Aku baru sadar di mejaku ada papan nama, "PENULIS ALENA PUTRI" wah aku terharu sekali. Terimakasih presdir ah bukan maksudku calon suami hehe...
Setelah resmi menjadi penulis, hari hariku sibuk menulis cerita untuk jilid kedua. Makin hari penggemar novel Bidadari Tuan Muda makin bertambah, mereka menunggu kelanjutan jilid kedua dan aku harus cepat cepat menyelesaikannya sebelum pernikahanku.
****
"Alena, setelah naik jabatan kita jarang banget ketemu di kantor." Ucap Jia sedih.
"Aku sibuk banget ji, novel yang harus ku buat harus sudah selesai hari jumat." Ucapku lesu.
"Apa?" Jia kaget mendengar ucapanku. "Jumat? Gila len, satu hari lagi novel itu harus diterbitkan? Mana bisa dalam waktu singkat, pantas saja Alena ku kurus begini. Ayo ke rumahku kita makan makan." Ucap Jia seraya menarik tanganku untuk ikut ke kontrakannya.
"Ini aku ada chicken sama soda, makan ya." Jia menyerahkan satu box chicken dan sebotol soda padaku.
"Gak papa nih di makan?" Aku jadi merasa gak enak.
"Maka makan." Ucap Jia seraya memberikan air putih.
"Terimakasih kawan."
Malam ini aku menginap di kontrakan Jia setelah makan makan bersama, dalam waktu dekat ini mungkin aku akan jarang bertemu dengan Jia. Apa setelah menikah aku akan tinggal di rumah presdir? Kalau iya, ah bodo amatlah mending aku tidur.
Pagi
"Jia bangun udah pagi." Ucapku membangunkan Jia yang masih selimutan.
"Iya."
"Ayo bangun nanti kesiangan kerja."
"Iya."
"Terserah deh, aku ke rumahku mau mandi. Bye." Aku meninggalkan Jia yang masih setia dengan bantal guling dan selimutnya.
****
"Alena." Panggil Jia, ternyata Jia orangnya cepat juga padahal tadi pas aku pulang kerumah Jia masih tidur dan sekarang dia udah rapih saja.
"Jia."
"Kita bareng ya berangkat kerjanya." Ucapnya yang menggandeng tanganku.
"Ayo."
Kantor
"Alena kedepannya kita harus berangkat bareng pulang juga harus bareng, oke!" Ucap Jia seraya menekan tombol lift.
"Akan ku usahakan." Balasku.
"Ah baru sadar, kita sekarang beda ruangan beda lantai pula." Keluh Jia.
"Iya." Aku hanya ber iya saja.
"Len, ruangan kamu ada di lantai 11 kan? Setahu aku para penulis ada di lantai 11." Ucap Jia.
"Ruanganku ada di lantai 15." Balasku seraya menekan tombol lift ke lantai 15.
"Loh bukannya para penulis ada di lantai 11?" Tanya Jia.
"Gak tahu juga, aku sih di suruh ke lantai 15." Balasku asal jawab.
"Enak sih lantai 15." Ucapnya tiba tiba.
"Enak apanya?" Aku bertanya pada Jia.
"Bisa deket sama presdir, presdir kan ruangannya di lantai 15." Balas Jia, aku baru sadar jadi aku dan presdir satu lantai.
"Ah aku udah sampe di lantai 10, selamat bekerja Alena. Semangat!" Ucap Jia seraya keluar dari lift.
"Semangat." Balasku seraya tersenyum.
Pantas saja kemarin presdir masuk ke ruanganku, jadi kami satu lantai toh.
****
Sedikit lagi Alena ayo semangat, ayo jangan ngeluh.
Tok..tok..
"Apa kamu sibuk?" Tanya seseorang dari balik pintu.
"Iya." Jawabku yang setia dengan pekerjaan, siapa sih yang ganggu padahal ini sedikit lagi beres.
"Aku masuk ya." Ucapnya nyelonong masuk, bukannya dia minta izin aku kan belum ngasih izin kok udah nyelonong masuk aja.
"Sibuk banget kayaknya." Ucapnya seraya duduk di sofa yang ada di depan mejaku.
"Gak lihat, orang sibuk banget." Ucapku kesal.
"Nada bicara kamu sedikit kesal, saya jadi sedih jadi begini sifat kamu padahal calon suami mu ini hanya ingin memastikan kalau calon istrinya orang yang baik." Ujarnya seraya menatapku.
"Ah presdir, bu-bukan maksud saya begitu saya hanya sedang fokus menyelesaikan novel untuk jilid kedua. Ini harus selesai besok jadi saya kurang sopan pada presdir, maaf." Ucapku.
"Sudahlah bereskan kerjaanmu, setelah selesai datang ke ruangan saya ada hal yang harus kita bahas." Ucapnya seraya pergi dari ruanganku.
"Baik." Balasku.
Tik...tik...tik suara keyboard laptop.
"Akhirnya selesai, tinggal kirim ke tim revisi." Aku mengirim nya ke tim revisi, setelah itu aku pergi ke ruangan presdir.
"Permisi pak."
"Masuk."
"Ada hal apa ya pak?" Tanyaku buru buru.
"Duduk dulu, baru kita bicara." Ucapnya.
"Ah iya." Aku duduk dan memulai pembicaraan.
"Malam ini kita ke butik."
"Butik? Mau apa pak kita ke butik?"
"Fiting baju buat pernikahan, mama saya sudah menunggu di sana." Ucapnya.
"Malam ini?" Tanyaku memastikan.
"Iya." Balasnya singkat.
"Baik pak."
"Kamu gak usah naik taksi, kita berangkat bareng. Nanti saya tunggu di parkiran."
"Baik, kalau tidak ada hal yang lain saya permisi." Ucapku.
"Iya." Balasnya singkat.
****
Drtt...drtt
Aku merogoh ponselku dalam saku celanaku.
Me 'Iya Jia ada apa?'
Jia 'Aku tunggu di kantin, ketua Hena sama pak ben juga nunggu'
Me 'Makan siang bareng?'
Jia 'Iya, soalnya kita kangen banget sama kamu'
Me 'Oke, otw kantin nih'
Jia 'Oke'
Tut...tut...
Kantin
"Alena." Panggil ketua Hena.
"Eh." Aku menghampiri mereka bertiga.
"Sini gak usah ngambil makanan, nih kita sudah menyiapkan buat kamu." Ucap pak ben menyodorkan piring yang sudah terisi makanan.
"Terharu deh." Ucapku berkaca kaca.
"Jangan nangis ya." Cegah Jia yang dia sendiri sudah tidak tahan membendung air matanya.
"Ah...hiks hiks." Aku menangis seraya menjatuhkan kepalaku pada pundak Jia.
"Alena jangan nangis hiks hiks." Ucap pak ben yang ikut ikutan nangis juga.
"Udah udah jangan nangis, mending kita makan." Ucap ketua Hena.
"Iya ayo kita makan." Sambung Jia.
Acara makan makan pun selesai.
"Semuanya maafin Alena ya." Tiba tiba aku minta maaf.
"Buat apa?" Tanya Pak ben.
"Buat semuanya, sebentar lagi aku...." Apa aku jujur saja? Nggak nggak aku gak mau.
"Sebentar lagi apa?" Tanya Jia penasaran.
"S-sebentar lagi kita berpisah, kitakan beda ruangan sekarang." Balasku mengalihkan pembicaraan.
"Ah betul juga." Ucap ketua Hena.
"Kalau begitu saya duluan ya." Aku meninggalkan ketiga rekan kerjaku.
****
Ruangan kerja
Aku telepon ayah ibu dulu deh.
Me 'Hallo'
Ibu 'Iya ada apa nak?'
Me 'Ibu hari sabtu ke jakarta ya'
Ibu 'Emang nya ada apa ibu harus ke jakarta?'
Me 'Itu bu sama ayah juga ke jakartanya'
Ibu 'Ada apa?'
Me 'Alena mau nikah bu'
Ibu 'Nikah? Kapan?'
Me 'Hari minggu, Alena harap ayah sama ibu kesini besok'
Ibu 'Iya iya ibu sekarang juga ke jakarta sama ayah'
Me 'Besok aja bu'
Ibu 'Sekarang lebih baik, ibu tutup telepon nya ya'
Tut..tut..
Ahahahaha, ibu antusias banget denger anaknya mau nikah. Harusnya ibu bicara kamu mau nikah tapi gak diskusi dulu sama ayah sama ibu, kok mepet banget? Harusnya gitu, ibu sama ayah benar benar menginginkan pernikahanku secepat itu sampai gak basa basi saat di kasih tahu tapi tak apalah yang penting ayah ibu senang.
Malam
Aku menuju parkiran.
"Maaf pasti bapak menunggu lama." Ucapku pada presdir.
"Tak apa, ayo berangkat."
Saat perjalanan kami hanya berdiam diaman.
"Alena." Panggilnya memecah keheningan.
"Iya." Balasku.
"Apa kamu merasa terbebani dengan pernikahan kontrak ini?" Tanyanya tiba tiba.
"Sebenarnya.."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
linyun
sebenarnya aku menginginkannya wkwk
2022-04-26
4