...***...
Aruna terlihat mondar-mandir di dalam kamarnya. Kedua tangannya menggenggam ponsel miliknya dengan kencang. Gadis itu merasa bimbang ketika hendak menghubungi seseorang. Seseorang yang sudah membuat jatah tidurnya berkurang. Siapa lagi kalau bukan Juno Albercio Kingsley.
"Telepon, nggak, ya?" tanyanya pada diri sendiri. Menatap ponselnya sembari menggigit bibir bawahnya. Ia ragu melakukan panggilan itu. "Gimana kalau dia membawa kasus ini ke polisi? Masuk penjara, dong, aku." Aruna mendesis frustrasi sambil mengacak rambutnya sendiri, lalu duduk di tepi tempat tidur untuk menenangkan diri.
Cukup lama berpikir, Aruna akhirnya memutuskan untuk menelepon Juno saja. Beberapa kali nada dering terdengar di seberang sana, hingga di panggilan ketiga barulah mendapatkan jawaban, dan terdengar suara bariton yang sudah Aruna kenal.
"Halo, dengan siapa ini?" tanya Juno dengan nada dingin, membuat Aruna bertambah grogi. Lelaki itu memang tidak mempunyai nomor Aruna, sedangkan Aruna mendapatkan nomor telepon Juno dari kartu nama yang diberikan lelaki itu saat insiden tabrakan tadi pagi.
"Ha–halo, Pak Juno. Aku Aruna." Sejenak terdiam, Aruna menunggu respon dari lawan bicaranya. "Pak, Anda masih mendengarkan?" tanya Aruna lagi, ketika setelah beberapa saat Juno hanya terdiam. Ia hanya bisa mendengar suara musik mellow di sisi Juno. Seolah menjadi backsound panggilan itu.
"Ya, aku dengerin. Ada apa?" tanya Juno ketus. Menggantikan suara lembut penyanyi perempuan yang tidak sengaja Aruna dengar.
"Ehm ... itu, Pak. Kita bisa bertemu sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan masalah ganti rugi," tutur Aruna berusaha bicara setenang mungkin.
"Di mana dan kapan?" Juno bertanya dengan tegas.
"Sekarang, di kafe Hamber. Apa bisa?"
"Bisa."
Senyuman Aruna terukir indah ketika mendengar jawaban Juno. "Oke, Pak. Aku otewe sekarang. Sekitar jam tujuh aku sampai." Setelah Aruna berkata seperti itu Juno mengakhiri panggilan itu sepihak. Aruna mengernyit sambil menatap layar ponselnya yang tiba-tiba gelap. Kemudian mengedikkan bahu dan menyimpan ponselnya di atas kasur, lantas bersiap untuk pergi ke kafe.
...***...
Di suatu ruangan yang penuh gemerlap cahaya lampu dengan alunan musik syahdu. Juno yang tidak langsung pulang ke rumahnya selepas bekerja berniat untuk menenangkan diri di sebuah bar sekaligus kafe, yang didirikan olehnya dan tiga rekan seperjuangannya; Abizar, Devan, dan Alfath.
Kafe yang diberi nama 'Homeless Child Cafe' itu adalah bentuk dari kekompakan mereka selaku pejuang anak-anak terlantar. Ya, mereka menamai diri mereka seperti itu. Memilih pergi dari rumah orang tua, lalu terlantar dengan tinggal di rumah pribadi, dan berjuang hidup mandiri. Homeless Child Cafe adalah rumah kedua bagi mereka. Bahkan mereka punya kamar pribadi masing-masing di sana.
Abizar adalah anak seorang pengusaha asal Jepang—Jiro Hideyosi Hikaru, sekaligus sepupu Juno dari adik perempuan sang papa—Angelina. Devan, dia putra pertama dari pasangan Sam dan Elena, pemilik perusahaan agraria terbesar di Surabaya, yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan Ara. Devan lebih memilih untuk meneruskan perusahaan papanya yang merupakan cabang perusahaan J&J grup, sekaligus ingin menikmati kehidupannya di ibu kota. Sedangkan Alfath, lelaki pendiam itu adalah seorang chef handal yang mempunyai banyak restoran besar di beberapa kota. Namun, ia memilih menghabiskan banyak waktunya untuk menjadi koki di kafe Homeless Child itu, sebagai bentuk dedikasinya. Andai saja semua anak terlantar di negeri ini bisa seperti mereka. Sungguh luar biasa!
"Gue mau pergi dulu," pamit Juno pada kedua temannya yang sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Abizar dengan game online-nya, Devan dengan gelas minumannya, sedangkan Alfath entah ke mana.
"Mau kemana lo?" tanya Devan.
"Iya, Bang. Baru aja datang udah pergi lagi." Abizar ikut menanggapi. Hanya Abizar yang paling muda di antara mereka. Terpaut usia tiga tahun di bawah ketiganya, sedangkan yang lainnya masih satu angkatan hanya beberapa bulan saja.
"Mau ketemuan sama cewek yang kemarin. Dia ngajakin ketemuan," jawab Juno.
"Yang katanya kampungan itu? Jangan mau, Jun! Katanya lo mau jauhin dia. Gimana, si?" celetuk Devan dan diiyakan oleh Juno dengan anggukan kepalanya.
"Gue udah bilang iya," ucap Juno terlihat bimbang. Ia juga tidak paham, kenapa tadi mulutnya langsung berkata 'bisa' ketika Aruna mengajaknya bertemu. Benar-benar di luar nalarnya.
"Gue pikir, si, lo itu udah dipelet sama dia." Devan berkata serius sembari menyimpan gelas minumannya di atas meja.
"Zaman sekarang masih ada kayak gituan," ucap Abizar sambil terkekeh, tanpa mengalihkan pandangannya dari game di layar ponselnya.
"Eh, jangan salah. Masih ada tahu. Lagipula sodara kita ini termasuk dalam deretan cowok langka edisi calon imam idaman. Mungkin aja, kan, tu cewek kampungan lagi nargetin dia. Lo nggak inget semalam Juno cerita apa? Bayangan itu cewek selalu ada dalam otaknya dia. Gimana gue nggak curiga. Bisa aja tadi pagi itu, dia pura-pura nabrak mobil Juno biar bisa jadi alasan buat ketemu sama Juno kayak sekarang ini."
Juno sejenak berpikir. Mencerna setiap kata yang terlontar dari mulut sahabatnya. Dia jadi ingat dengan sihir cinta yang Aruna berikan kepada anak kecil itu. Sihir itu membuat lukanya langsung sembuh seketika. Mungkin benar apa yang Devan bilang. Aruna mempunyai kekuatan magic untuk menaklukkan dirinya.
"Jangan suudzon! Mungkin aja Juno udah jatuh cinta pada pandangan pertama sama tu cewek." Alfath yang baru datang langsung menyahut. Dirinya memang tidak ikut serta dalam rapat video semalam, tetapi ia tahu ceritanya dari Abizar.
"Sial! Selera gue masih bagus, ya," bantah Juno dengan suasana hati yang berbeda. Juno merasa ada yang mengganjal dalam hatinya ketika berbicara seperti itu. Namun, penampilan Aruna yang seperti itu memang sangat jauh dari type perempuan yang dia suka.
"Eh, betewe, ketemuan di mana?" tanya Abizar lagi.
"Kafe Hamber."
"Kenapa nggak ketemu di sini saja, si? Kafe kita, kan, lebih gede," seru Alfath sambil menyimpan kue hasil masakannya di atas meja. "Cobain menu terbaru gue! Klapertart rasa nangka," pintanya, yang disambut antusias oleh sahabat-sahabatnya.
"Nggak usah. Nggak penting juga." Juno beranjak berdiri, lalu menyahut jasnya yang tergantung di sandaran sofa. "Dia cuma mau bicara masalah ganti rugi," tambahnya lagi sebelum dia melangkah pergi. Namun, sebelum itu ia mencomot kue yang dibawa Alfath untuk dimakan nanti.
"Juno."
Panggilan dari Devan membuat langkah Juno tertahan. Ia pun menoleh lagi pada Devan. "Apa?" tanyanya.
"Lo harus hati-hati, Jun. Jangan sampe lo kena jampi-jampi lagi! Kata orang, pelet atau hipnotis itu berawal dari pandangan mata. Jadi, usahakan lo nggak lihatin matanya dia kalau kalian lagi bicara!"
Juno terdiam, tetapi kemudian mengangguk mengiyakan. "Oke, gue ikutin saran lo. Thanks, ya!" Setelah berkata seperti itu Juno pun benar-benar pergi. Tinggallah sahabatnya yang kini tengah menikmati kue buatan Alfath.
"Kok, rasa nangka, sih, Al? Kayak nggak ada buah lain aja." Devan memprotes setelah dirinya melahap dua potong kue.
"Suka-suka gue, dong. Enak, nggak?" tanyanya sambil menaikkan dagu.
"Enak." Abizar yang menjawab, lalu mengambil kuenya lagi untuk dia santap.
...***...
Juno sampai di kafe Hamber pukul tujuh kurang sepuluh menit. Namun, ternyata Aruna juga sudah berada di sana, dan mengkonfirmasi jika dirinya sudah berada di dalam kafe ketika Juno menghubunginya. Juno pun langsung masuk ke dalam menemui perempuan itu. Sebenarnya Juno malas bertemu dengan Aruna, tetapi entah kenapa hatinya selalu menyuruh untuk bersikap sebaliknya.
...***...
Aruna yang sudah melihat kedatangan Juno langsung berdiri ketika pria itu mendekati. Tubuhnya sedikit membungkuk memberikan penghormatan kepada Juno. "Selamat malam, Pak. Maaf sudah mengganggu waktunya," kata Aruna basa-basi.
Juno hanya membalas dengan senyuman pelik, lalu duduk di kursi sebelah Aruna. Dia ingat dengan perkataan Devan, jika dirinya tidak boleh menatap mata Aruna jika sedang berbincang. Lalu, duduk di samping perempuan itu menjadi pilihan Juno agar mereka tidak saling berhadapan.
"Mau bicara apa?" tanya Juno langsung pada intinya.
"Nggak pesen minuman atau makanan dulu, Pak?" tawar Aruna.
"Nggak usah, langsung bicara saja. Aku masih sibuk," tolak Juno. Pandangannya tertuju pada kaca bening yang menjadi dinding pembatas kafe tersebut. Menampilkan suasana jalan raya yang penuh dengan kendaraan di malam hari.
Aruna sedikit aneh dengan sikap Juno. Namun, ia berusaha bersikap biasa saja. "Ehm ... gini, Pak. Masalah ganti rugi. Kita bisa menunggu hasil rincian biaya perbaikan dari bengkel dulu, nggak? Bisa saja, kan, biayanya nggak semahal itu."
Aruna tidak mau membayar ganti rugi perbaikan mobil mewah Juno yang setara dengan harga membeli mobil baru. Mungkin saja yang dikatakan oleh Indira ada benarnya, jika Juno sedang berusaha memeras dirinya. Prasangka mereka berdua sungguh saling bertolak belakang. Sama-sama saling menjelekkan.
Mendengar itu Juno malah tertawa sinis. "Bilang aja kamu nggak sanggup bayar! Segala pura-pura nunggu rincian biaya perbaikan. Makanya kalau miskin jangan berani nabrak mobil mewah orang. Kan, gini jadinya. Caramu mendekati pria benar-benar total, ya."
Perkataan sarkas Juno membuat Aruna mengernyitkan kening. Apa maksudnya? Apa otak lelaki itu sedang terganggu? Kemarin bersikap baik, dan sekarang begitu menyebalkan. Kata-kata Juno sangatlah tidak sopan dan angkuh di mata Aruna. Dia yang awalnya terkesan saat bertemu dengan Juno pertama kali. Sekarang merasa benci.
...***...
To be continue...
Wah, mulutnya Juno minta diselepet kayaknya. Asal jeplak aja 😅
Gimana menurut kalian? Tulis di kolom komentar, ya. Jangan lupa like dan dukungannya 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
🍭ͪ ͩFajar¹
sekate kate kalo ngomong si Juno.belum tau aja siapa Aruna sebenarnya.
2023-01-20
0
erenn_na
ciiiiiaaaaaaaahhhh Hamber🤭😍😍😍
2022-06-10
0
Ita Widya ᵇᵃˢᵉ
Juno km jangan suudzon gitu dong sama Aruna,,Aruna niat buat ganti rugi..
2022-06-09
0