...***...
Laporan fisik yang diberikan oleh Dena tidak menunjukkan adanya kesalahan penginputan data atau human error. Sehingga Aruna yakin kejanggalan berupa understating asset itu terjadi pasti karena adanya kecurangan. Aruna mulai mendeteksi terjadinya kecurangan. Ia melakukan pemeriksaan terhadap beberapa laporan keuangan, mulai dari rekening pendapatan, aset, kewajiban, pengeluaran, hingga ekuitas perusahaan.
Hari ini divisi keuangan benar-benar dibuat sibuk oleh Aruna. Bahkan Dena pun ikut dibuat sibuk oleh gadis berkacamata besar itu.
Aruna mengerahkan semua tenaganya untuk menemukan celah kecurangan itu. Termasuk mencari tahu keberadaan dari mantan manajer keuangan yang telah mengundurkan diri dari perusahaan tersebut.
"Aku mau istirahat dulu, deh. Ngecek laporan sebanyak ini sekaligus bisa-bisa mataku juling," seru Dena di balik kubikelnya. Ia sudah merasa lelah dengan tumpukan berkas yang harus ia cek hari ini.
Aruna mendongakkan pandangannya, menatap Dena yang sudah berdiri. "Silakan, Bu. Sebentar lagi aku juga istirahat, kok."
"Bodo, kamu mau istirahat atau nggak suka-suka kamu, lah. Aku udah lelah ngikutin cara kerja kamu ini. Bisa-bisanya aku nurut sama anak baru," decak Dena sambil melengos pergi.
"Jangan didengerin, Bu Aruna. Bu Dena mulutnya emang udah kayak cabe keriting. Pedesnya aja level sepuluh," celetuk Indira. Kepalanya melongok kubikel Aruna membuat gadis itu berjingkat terkejut ketika menoleh ke asal suara.
"Kamu ini ngagetin aja!" sahut Aruna sambil memegang dadanya.
Indira tersenyum cengengesan. "Maaf," katanya. Lalu menoleh pada Yoga yang masih sibuk dengan pekerjaannya. "Shut ... shut ...." Indira memanggil Yoga dengan kode suara. Tentu saja lelaki itu tidak paham, dan tetap melanjutkan pekerjaannya dengan santai.
"Kalau manggil orang itu sebut namanya! Kamu ini gimana?" tegur Aruna sambil menggelengkan kepalanya.
"Hehehe ... maaf, Bu. Udah kebiasaan. Biasanya dia nengok kalau dipanggil gitu," seloroh Indira, lalu beralih lagi pada Yoga.
"Yoga!"
"Astaghfirullah, Indira! Pelan-pelan!" Lagi-lagi Aruna harus menghela napas panjang. Berusaha menumpuk kesabaran untuk menghadapi asistennya yang sedikit blak-blakan.
"Ih, si Ibu. Serba salah, aku," cicitnya sambil memanyunkan bibirnya. Sedangkan di seberang sana, Yoga tengah menertawakan Indira.
"Mampus! Rasain, kamu!" ucap Yoga dengan suara pelan. Tentu saja membuat Indira geram.
"Awas kamu, ya! Nggak akan aku traktir makan lagi," ancam Indira yang memang sering mentraktir lelaki yang terkenal pelit itu.
"Eh, jangan gitu, dong, Ra! Gitu aja marah, nanti cantiknya ilang, loh," bujuk Yoga.
Aruna semakin pusing dengan perdebatan kedua bawahannya tersebut. Rasanya otaknya sudah hampir pecah. Ia sudah mumet dengan masalah perusahaan, ditambah kelakuan absurd rekan kerjanya. Membuatnya juga butuh merefresh otaknya sebentar saja. Keluar dari ruangan itu, dan meninggalkan mereka berdua.
"Bu Aruna mau ke mana?" tanya Indira yang melihat atasannya beranjak pergi.
"Aku mau ke pantry, mau bikin kopi." Aruna berkata sambil berjalan keluar.
"Minum kopi mulu, sih! Udah kayak aki-aki."
"Hush! Kalau kedengeran bu Aruna, nanti kamu dipecat, mau?" tegur Yoga.
Indira langsung menutup mulutnya sendiri. Merasa menyesal karena sudah keceplosan.
...***...
Di perjalanan menuju pantry, Aruna bertemu dengan Bana. Wakil direktur perusahaan tersebut. "Selamat siang, Pak," sapa Aruna dengan sopan.
Bana menganggukkan kepalanya, "Siang juga," balasnya. "Mau ke mana, Aruna?" tanya Bana kemudian.
"Saya mau ke pantry, Pak. Mau nyeduh kopi," jawab Aruna apa adanya.
Bana hanya ber'oh' tanpa suara. Namun, detik kemudian kembali bertanya. "Bagaimana dengan pemeriksaan kamu terhadap data keuangan beberapa tahun lalu itu. Sudah ada penemuan?"
Aruna tersenyum tipis sembari mengangsur kacamatanya ke atas. "Sudah, Pak. Saya yakin ada kecurangan seseorang di sana. Mungkin itu ulahnya mantan manajer keuangan yang sudah keluar itu. Karena dia tahu betul seluk beluk keuangan perusahaan ini," terang Aruna.
Bana sejenak terdiam, lalu tersenyum sembari menepuk pundak Aruna. "Saya yakin kamu bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik. Jangan sampai kita kehilangan investor dan costumer gara-gara masalah internal ini."
Aruna mengangguk yakin. "Siap, Pak. Kalau perlu nanti saya akan mencari alamatnya pak Gunawan. Mantan manajer itu."
"Terserah kamu. Asal jangan melibatkan polisi dalam masalah ini!" tutur Bana.
"Kenapa?" Aruna mengernyitkan keningnya. Pasalnya, ini adalah kasus korupsi. Kenapa tidak boleh melibatkan polisi.
"Saya tidak mau perusahaan ini tercemar karena adanya kasus korupsi dalam manajemen intern kita. Cukup kamu temukan orangnya, lalu suruh dia mengembalikan uangnya! Pak Surya juga pasti tidak mau perusahaannya tercemar."
"Kalau dia tidak bisa mengembalikan?" tukas Aruna.
"Sita harta kekayaannya! Gunakan cara kekerasan kalau dia tidak mau membayar!"
Aruna terdiam. Dalam lubuk hatinya merasa keberatan dengan cara yang Bana katakan. Namun, sebagai bawahan dia bisa apa? Hanya bisa menyetujui apa yang atasan perintahkan.
"Saya tidak tahu menahu tentang hal itu, Pak. Tugas saya hanya sampai mendapatkan bukti kecurangan di perusahaan ini. Siapa pun yang bersalah, saya akan serahkan kepada atasan untuk memberikan hukuman sesuai peraturan yang ada." Aruna berusaha bersikap netral.
Bana pun tersenyum. Kemudian keduanya berpisah ketika Aruna pamit terlebih dahulu untuk melanjutkan niatnya menuju pantry.
...***...
Waktu berputar begitu cepat. Ketika penunjuk waktu menunjukkan pukul 20.00 WIB, Aruna memutuskan untuk pulang. Hari ini semua anggota divisinya ikut lembur. Aruna sedikit terbantu dengan adanya Dena yang ikut lembur bersamanya.
"Besok-besok aku nggak mau lembur lagi, ya. Ini pertama dan terakhir. Capek, aku!" gerutu Dena.
"Iya, Bu Dena. Terima kasih atas bantuannya," ucap Aruna tulus. Namun, sama sekali tidak dibalas oleh Dena. Perempuan itu memilih pergi begitu saja dari ruangan divisi keuangan. Lalu diikuti oleh Indira dan Yoga yang juga berpamitan pulang.
...***...
Aruna memarkirkan mobilnya di sebuah mini market, sebelum pulang ke rumahnya. Ia hendak membeli sesuatu dulu di sana. Ketika kakinya baru mendarat di atas tanah berlapis aspal, ia mendengar seorang anak kecil yang berumur sekitar delapan tahunan sedang menangis karena tersandung sesuatu di dekat mobilnya berada. Ia lekas menutup pintu mobilnya, lalu berlari ke arah gadis kecil itu guna membantunya.
"Kamu nggak apa-apa, Dek?" tanya Aruna sambil berjongkok. Mensejajarkan tubuhnya dengan sang anak.
Gadis itu masih menangis, ia hanya memperlihatkan siku lengannya yang berdarah. Lantas, Aruna menggiring anak itu agar duduk di kursi yang berada di teras depan mini market.
"Kamu tunggu di sini dulu, ya! Kakak mau beliin plester buat nutupin luka kamu," titah Aruna. Gadis itu pun mengangguk patuh.
Tak lama kemudian, Aruna kembali dengan membawa plastik yang berisi kain kasa, obat merah, serta alkohol. "Sini, Kakak bantuin kamu bersihkan lukanya! Kalau nggak dibersihkan nanti infeksi, loh," bujuk Aruna. Ia berkata pelan, karena melihat raut wajah ketakutan dari sang anak. Dengan sedikit ragu tangan anak itu menjulur di hadapan Aruna. Aruna tersenyum lalu mulai mengobati lukanya. "Jangan takut! Nggak sakit, kok," ucapnya menyemangati.
Tak lama kemudian.
"Selesai," ucap Aruna setelah lukanya terbalut sempurna. "Masih sakit?" tanyanya lagi.
Anak itu meringis. "Masih," katanya.
"Coba sini! Kakak bisa melakukan sihir biar kamu nggak merasa sakit."
"Sihir apa, Kak?" tanya anak itu penasaran.
"Sihir cinta," jawab Aruna. Lantas ia memegang lengan anak itu, lalu menyimpan telapak tangannya pada luka anak tersebut. Kedua matanya terpejam seolah sedang memanjatkan doa, lalu beberapa detik kemudian matanya kembali terbuka dan berkata, "Simsalabim abrakadabra. Hilanglah sakitnya! Muach." Aruna memberikan kecupan kecil di dekat luka anak itu.
Anak kecil itu tertawa dengan tingkahnya Aruna, "Kakak ini lucu, ya," ucap anak kecil itu yang menyangka jika Aruna sedang menghiburnya. Namun, raut wajah gadis itu tiba-tiba berubah serius, lantas memegang tangannya yang terluka.
Ajaib!
Rasa perih yang semula menjalar pada tangan anak itu tiba-tiba hilang seketika. Seperti sebelum dirinya terluka. "Kakak ini orang sakti, ya? Sihirnya benar-benar manjur. Aku beneran udah nggak merasa sakit lagi, loh," tutur anak itu merasa takjub. Aruna tersenyum pelik menanggapinya. Seketika ingatannya kembali pada masa kecilnya.
...***...
Pada saat itu Aruna masih berusia sembilan tahun. Saat dirinya merasa mempunyai kemampuan yang tidak bisa dijangkau oleh nalar manusia. Pada awalnya dia bermimpi didatangi oleh seorang perempuan cantik yang berpenampilan bagaikan peri. Peri itu memberikan sebuah mantra kepada Aruna yang katanya bila diucapkan akan menghilangkan rasa sakit seseorang.
Aruna kecil yang masih mempunyai imajinasi tinggi merasa penasaran, sehingga dirinya mencoba untuk menguji kebenaran mimpinya, karena mimpinya itu benar-benar seperti nyata. Bahkan ia berani melukai dirinya sendiri guna membuktikan jika mantra itu benar-benar sakti. Namun, hasil yang didapatkan tidak sesuai ekspektasi. Ternyata mantra itu tidak mempan sama sekali. Akhirnya Aruna menganggapnya sebagai bunga mimpi.
Malam-malam berikutnya Aruna mendapatkan mimpi yang sama. Ia yang merasa heran dengan mimpinya itu kemudian menceritakannya kepada sang ibu. Sang Ibu pun tidak percaya, tetapi demi membuat anak gadisnya bahagia, dia pun berusaha membantu menghilangkan rasa penasaran anaknya. Namanya juga anak kecil, imajinasinya pasti tinggi. Begitu pikir sang ibu.
"Coba kamu sembuhkan sakit kepala mama! Dari kemarin kepala mama sakit terus. Mungkin saja dengan mantra itu sakitnya mama bisa sembuh," kata Maya–ibunya Aruna kala itu.
Aruna kecil pun menjadi sangat bersemangat. Dia memejamkan matanya sambil memegang kepala sang ibu. Di dalam hatinya ia membacakan mantra yang ia dapatkan dari peri itu, dan kemudian ....
Rasa sakit di kepala Maya benar-benar hilang. Dari situ Aruna yakin jika dirinya memiliki keajaiban. Aruna berpikir jika mantra itu mungkin tidak mempan untuk dirinya sendiri, tetapi berguna untuk orang lain. Semenjak saat itu, Aruna jadi sering memakai mantra itu untuk menyembuhkan sakit di kepala sang ibu. Pun dengan teman-temannya yang membutuhkan pertolongan. Namun, penyesalan yang berkepanjangan kini ia rasakan. Mantra itu ternyata hanya berfungsi untuk menghilangkan rasa sakitnya saja, bukan berarti bisa menyembuhkannya.
Ketika dirinya masuk sekolah menengah pertama, ibunya meninggal dunia. Saat itu dokter mendiagnosis jika sang ibu memiliki penyakit kanker otak stadium akhir, hingga ia tidak bisa tertolong lagi ketika penyakit itu kian menggerogoti. Aruna menyalahkan dirinya sendiri. Dia berpikir jika mantranya yang selama ini membuat penyakit ibunya jadi tidak bisa terdeteksi. Dari saat itu Aruna menjadi sosok yang pendiam dan suka mengurung diri. Ia tidak mau menggunakan mantra itu lagi.
Sekarang, Aruna yang telah dewasa bisa berpikir lebih rasional. Tidak ada mantra yang bisa menyembuhkan. Mantra yang ia terima dari sang peri itu benar-benar tidak berarti, atau mungkin hanya sebuah sugesti. Makanya dia mau menggunakannya lagi, hanya sekadar untuk menghibur anak-anak kecil yang terluka seperti sekarang ini.
"Kakak?" Suara anak kecil di hadapannya membuat pikiran Aruna kembali dari kenangan masa lampaunya.
"Iya, kenapa?" tanya Aruna. Ia buru-buru menghapus jejak cairan bening yang hampir meluncur dari pelupuk matanya.
"Kakak beneran orang sakti, 'kan?" tanya anak itu masih penasaran.
Aruna tersenyum lagi. "Bukan, itu cuma sugesti kamu aja, kali," sanggahnya sambil mencolek hidung mungil anak itu.
Anak itu sejenak berpikir, tetapi tak lama mereka pun tergelak bersama.
Tanpa disadari, kejadian itu terekam jelas oleh penglihatan seorang pemuda tampan yang tengah memperhatikan mereka dari kejauhan. Ia berdiri sambil bersender di depan mobilnya, menatap Aruna dan anak itu dengan tatapan yang berbeda.
...***...
Hayo, siapakah yang lihatin? Yuk, tulis di kolom komentar! Jangan lupa dukungannya. Makasih ❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Smiling 🙆
Juno
2023-06-23
0
☠ᵏᵋᶜᶟҼɳσᵇᵃˢᵉ
siapa tuh,juno kah 🤔
2022-05-29
0
𝕱𝖘Ayu Claⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈ᵇᵃˢᵉ☀️
Pasti Juno yg lihat
2022-05-28
1