...***...
"Nanti aku bilang sama Pak Surya buat ngasih pujian ke Bu Dena juga." Akhirnya Aruna bersuara, setelah merasa jenuh dengan celotehan Dena yang tidak ada habisnya.
Dena menoleh secepat kilat dengan ekor matanya yang mendelik tajam. "Dasar tukang ngadu!" serunya kesal.
Aruna menghela napas kasar. Ia bingung sebenarnya apa yang diinginkan oleh Dena. Diam saja salah, bicara juga salah. Apa Aruna harus menutup mulut Dena dengan lakban agar dia bisa diam?
"Jadi maunya Ibu itu apa?" tanya Aruna. Masih berusaha bersikap sabar untuk menghadapi seorang Dena.
Ada senyuman seringai yang terbit di bibir Dena. Kedua alisnya terangkat genit. Kedua matanya menatap Aruna dengan tatapan yang mencurigakan. "Kamu harus traktir kami!" katanya memaksa.
"Hah? Yang benar saja. Aku aja nggak dikasih apa-apa selain ucapan terima kasih." Aruna langsung menolak permintaan Dena. Bukannya dia pelit, melainkan pekerjaan itu memang sudah menjadi tugas mereka, dan kalaupun mendapatkan traktiran kenapa harus Aruna yang keluar modal. "Nggak bisa, nggak bisa ... enak aja. Aku yang rugi, dong!" celoteh Aruna lagi.
"Hilih, bilang aja pelit!" Dena kembali menekuk wajahnya. Sambil melipat tangannya di depan dada, pandangannya beralih kepada Indira dan Yoga yang sedang asyik main game di ponsel Yoga. Mereka sampai merapatkan kursi kerja agar bisa leluasa main bareng di meja kerja Yoga.
"Heh, kalian! Ngapain dempet-dempetan gitu? Kerja!" Suara bentakan Dena membuat Indira dan Yoga sontak berpencar. Kursi mereka langsung berpisah dan bergerak berlawanan arah.
"Bu Dena bikin kaget aja, sih!" celetuk Indira sambil memegang dadanya. Merasakan detak jantungnya yang berdegup seperti bedug lebaran.
"Kalian bukannya kerja malah main game," protes Dena.
"Kerjaan kita udah selesai," sahut Indira.
"Jawab aja, kamu. Jam kerja belum selesai. Kerjain apa aja sebelum jam pulang, kan, bisa," titah Dena. Kedua tangannya membuka tas jinjingnya lalu mengambil sesuatu dari sana. Peralatan make-up yang Indira sudah hafal warna pouch-nya.
"Itu ngapain Bu Dena ngeluarin alat make-up?" tanya Indira sambil mencebik.
"Ya, dandan, lah. Aku mau ke ruangan pak Danu. Kali aja di perjalanan ketemu sama pak Juno. Iya, kan?"
Indira sampai menelan ludahnya sendiri sambil mengernyitkan kening. "PeDe banget, ketemu juga nggak bakal dilirik," batinnya berkata. Sedangkan Aruna hanya bisa geleng-geleng kepala.
...***...
Di ruangan rapat, Juno benar-benar salut dengan kerja keras Aruna. Dia terus memuji kinerja gadis itu. Hal itu membuat telinga Kezia menjadi panas. Wajahnya sudah terlihat bosan. Berharap Juno segera mengajaknya pulang.
"Terima kasih, Pak Juno. Kami akan memberikan hasil produksi yang terbaik di tahun ini dan tahun-tahun berikutnya. Kami juga akan meminimalisir segala kecurangan dalam intern perusahaan ke depannya." Surya mengulurkan sebelah tangannya mengajak Juno bersalaman, ketika laki-laki itu ingin berpamitan pulang.
Surya sangat bersyukur karena perusahaannya kembali mendapatkan kepercayaan yang besar dari Juno. Pun tetap melanjutkan kontrak kerja sama dengan perusahaan Suryafood. Tidak tanggung-tanggung, Juno menandatangani kontrak kerja sama selama dua tahun. Sikap Juno terlihat sangat berbeda terhadap Aruna. Hal itu membuat Kezia jadi curiga.
"Jun, kamu udah kenal sama perempuan tadi?" Kezia bertanya kepada Juno ketika mereka sudah berada di dalam mobil. Pada saat di luar jam kerja, panggilan Kezia terhadap Juno memang terdengar lebih akrab. Itu sebagai wujud profesionalitasnya ketika bekerja.
"Perempuan mana?" tanya Juno tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel yang dia pegang.
"Rere ... eh, maksudnya ... Aruna." Kezia langsung meralat perkataannya. Ada seseorang yang melarangnya untuk mengungkap identitas Aruna yang sebenarnya.
Juno yang terlalu fokus pada ponselnya tidak mendengarkan perkataan Kezia dengan baik. Maka dari itu, ia mengulang pertanyannya, "Siapa katamu?"
"Aruna," jawab Kezia lagi.
Wajah Juno terlihat berbinar, ada senyum yang berusaha dia tahan di kedua sudut bibirnya. Entah kenapa hal itu sering terjadi kepada dirinya, apalagi ketika nama Aruna disebut di depannya.
"Aku hanya kenal sebatas pekerjaan saja. Memangnya kenapa?" kilah Juno yang belum menyadari arti dari perasaan yang dia miliki.
Kezia menatap lekat wajah Juno. Ia bisa menemukan sesuatu yang aneh dari tatapan matanya yang berbinar. Selama ini Juno tidak pernah seperti itu. Kezia sudah bertahun-tahun mengikuti Juno, tetapi baru kali ini dia melihat Juno tersenyum begitu tulus terhadap seorang perempuan.
"Kenapa liatin aku kayak gitu?" Kezia langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia merasa tercyduk dengan kecurigaannya sendiri.
"Nggak apa-apa," ucap Kezia sembari menatap keluar jendela mobil. Setelah itu tidak obrolan lagi di antara mereka. Juno mengedikkan bahu tidak peduli dengan sikap Kezia. Ia memilih sibuk dengan ponselnya.
"Aku nggak boleh berpikiran macam-macam. Penampilan Aruna yang seperti itu mana mungkin bisa menarik perhatian Juno. Aku tahu kriteria Juno seperti apa. Aku hanya berharap semoga Aruna tidak merubah penampilannya lagi. Jika dia mengubahnya lagi maka ...." Kezia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak mau melanjutkan kata-kata yang terlontar dalam hatinya. Membayangkannya saja Kezia sudah ketakutan, apalagi jika itu menjadi kenyataan. Mungkin saja Juno akan kepincut beneran. Kezia memilih untuk membuang pikiran itu jauh-jauh dari benaknya.
...***...
Sekitar pukul lima sore, jam kerja Aruna sudah selesai. Ia bergegas untuk pulang ke rumahnya. Rumah sederhana yang ia beli dari hasil tabungannya sendiri. Selama kuliah di luar negeri, Aruna mempunyai pekerjaan sampingan menjadi seorang koki paruh waktu di sebuah restoran yang dimiliki oleh warga Indonesia. Walaupun gajinya tidak seberapa, tetapi bisa ia tabung untuk masa depannya. Karena Aruna tidak mau terus-menerus bergantung dengan uang saku dari papanya.
Namun, sebelum dirinya menuju rumah. Ia mampir dulu ke tempat anak kecil yang kemarin dia tolong. Aruna memarkirkan mobilnya di depan mini market. Sengaja menunggu di sana berharap Putri akan melewati tempat itu lagi. Ternyata benar, beberapa saat menunggu akhirnya Aruna bisa melihat Putri di seberang jalan sedang membawa barang dagangan. Sebuah kotak kayu yang berisi berbagai macam barang dagangan kecil untuk dijual asongan. Perempuan itu langsung memanggil nama Putri.
"Kak Aruna." Putri langsung mengenali Aruna, ketika Aruna melambaikan tangannya kepada Putri. Lekas gadis kecil itu menyebrang jalan raya dengan hati-hati, lalu setelah sampai ditepi dengan segera mendekati Aruna. "Kak Aruna sedang apa?" tanyanya lagi.
"Nungguin kamu," jawab Aruna.
Putri tersenyum lebar. "Tapi Putri mau jualan," katanya sambil menatap barang dagangan yang dia bawa.
"Kamu jualan di mana?" tanya Aruna.
"Di sana." Putri menunjuk ke arah lampu merah, "kadang juga di sana." Lalu beralih ke halte bus. Aruna mengikuti arah pandang anak tersebut.
"Sekarang udah laku?" tanya Aruna.
Putri menatap Aruna lagi. "Alhamdulillah, udah beberapa," jawabnya.
"Mau ikut kakak, nggak? Nanti kakak borong jualannya," ajak Aruna.
Putri berpikir sejenak, menatap Aruna dengan tatapan curiga. "Kakak bukan penculik, kan?"
Pertanyaan itu sontak membuat Aruna tertawa. "Tentu saja bukan. Memangnya kakak ada tampang penculik?" ucap Aruna setelah tawanya reda. Putri memamerkan deretan giginya, lalu menggelengkan kepala. Setelah itu, ia mengangguk dan bersedia ikut bersama Aruna.
Pertemuan itu juga tidak luput dari penglihatan Juno. Lelaki itu juga ternyata mengikuti Aruna. Ia sengaja memarkirkan mobilnya agak jauh dari mobil Aruna. Ketika dirinya melihat mobil Aruna terparkir di mini market itu. Juno merasa penasaran dengan apa yang Aruna lakukan.
...***...
to be continue...
Jangan lupa dukungannya 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟҼɳσᵇᵃˢᵉ
juno jadi CCTV hidup sekarang ngintilin aruna terus 😅
2022-05-29
1
Neni
ya ella CEO jd penguntit🤣🤣🤣
2022-05-29
1
🌍ɢ⃟꙰Ⓜ️
kenapa Kezia tahu identitas aslinya Aruna ,, apakah mereka masih keluarga ya🤔🤔🤔🤔
2022-05-29
2