...***...
Aruna membawa Putri ke rumahnya, tetapi sebelumnya dia mampir dulu ke sebuah pasar tradisional untuk membeli bahan masakan. Rencananya Aruna akan mengajak Putri untuk mencicipi masakannya. Tidak lupa mampir ke rumah neneknya Putri untuk meminta izin membawa cucunya itu berkunjung ke rumah Aruna. Sebenarnya Aruna juga ingin mengajak nenek Yusma untuk ikut juga, tetapi nenek menolaknya dengan alasan ingin istirahat di rumah saja.
"Bungkusin aja makanannya!" pesan sang nenek yang membuat Aruna terkekeh geli.
...***...
Sekitar pukul tujuh malam, mobil Aruna sampai di pelataran rumahnya. Putri pun langsung di bawa masuk ke ruang tamu rumah itu. "Kamu tunggu di sini, ya! Kakak mau masak dulu. Nanti kamu cobain masakan kakak!" titah Aruna, menyuruh Putri untuk menunggu di ruang tamu.
"Putri ikut bantuin Kak Aruna aja, deh," sahut Putri.
"Ya, udah. Kakak ganti baju dulu, ya!" Putri menganggukkan kepalanya. Aruna pun bergegas masuk ke dalam kamarnya untuk berganti baju. Tidak lama kemudian dia pun keluar dengan hanya menggunakan kaos lengan pendek dan celana pendek rumahan, dengan rambut yang masih digelung asal. Kacamatanya pun ia tanggalkan. Terlihat simpel dan juga ... seksi. Ia menggunakan kaos oblong kelonggaran dengan bentuk leher boat neck, yang sangat jelas memperlihatkan kedua bahu dan lehernya yang jenjang.
"Yuk, kita masak dulu!"
Putri yang semula fokus menonton acara di televisi sontak menoleh, lalu tersenyum kepada Aruna. "Ayo!" serunya seraya berdiri, lalu mengambil remote TV dan menekan tombol off di sana.
"Kakak mau masak apa?" tanya Putri. Ia terlihat bingung melihat bahan masakan yang sedang dikeluarkan oleh Aruna dari kantong belanjaannya.
"Kakak mau masak makanan Jepang. Kemarin lihat di acara masak di TV kayaknya seru masak itu," jawab Aruna. Kedua tangannya masih sibuk memilah bahan-bahan untuk masakannya.
"Kakak suka masak?"
"Iya," jawab Aruna, sejenak menghentikan aktivitasnya. Raut wajahnya langsung berubah sendu. Ada kesedihan yang tersirat setiap ada orang yang bertanya tentang hobinya itu.
"Katanya suka, tapi, kok, sedih?" Putri memperhatikan wajah Aruna yang tiba-tiba murung sambil mengerjap bingung.
Aruna mengulas senyuman. Ia kembali melanjutkan menyiapkan bahan masakan. "Dari dulu cita-cita kakak mau jadi chef terkenal. Kakak terinspirasi dari mama. Waktu kakak masih sekolah SMA mama selalu menemani dan mengajari kakak memasak, tapi semenjak mama nggak ada, kakak jadi jarang cobain masakan baru. Soalnya nggak ada yang bisa kakak jadikan kelinci percobaan." Aruna tertawa getir, berusaha melawan denyut rindu yang menjalar dalam kalbu. Rindu yang tidak akan pernah bisa bertemu.
"Memangnya mamanya Kak Aruna ke mana?" tanya Putri.
Aruna menatap Putri, lalu tersenyum tipis. "Mama sudah meninggal dari semenjak kakak kelas tiga SMA."
"Maaf, Kak," sesal Putri.
"Nggak apa-apa, kok," ucap Aruna sambil mengusap puncak kepala Putri.
"Kenapa Kak Aruna nggak melanjutkan sekolah masak aja? Biar bisa jadi koki terkenal."
"Papanya kakak nggak ngizinin kakak jadi koki, Sayang," ujar Aruna. Putri merengut, tetapi sebelum ia melontarkan pertanyaan berikutnya Aruna langsung menyahut lagi.
"Papa ingin kakak meneruskan usahanya dia, makanya kakak disuruh kuliah tentang bisnis, karena kakak anak satu-satunya." Aruna tersenyum setelah menjelaskan hal itu. Putri mengangguk mengerti.
"Kalau mamanya Kak Aruna udah meninggal, berarti kita sama, dong, ya," seru Putri dengan polosnya. Namun, sejenak anak itu diam ketika teringat sesuatu. Raut wajahnya pun berubah sendu, "tapi Kak Aruna beruntung masih ada papanya, sedangkan aku ...."
Aruna mendekati Putri lalu mendekap tubuh anaknya itu. "Kamu juga beruntung masih punya nenek dan tinggal bersamanya. Kamu lihat kakak! Walaupun punya papa, tapi kakak tinggal sendirian aja."
Kepala Putri mendongak menatap wajah Aruna yang mendekapnya. "Aku pikir papanya Kak Aruna lagi kerja, makanya nggak keliatan. Kenapa nggak tinggal bareng Kak Aruna?" tanyanya.
"Ada sesuatu yang nggak bisa kakak ceritain sama kamu," cetus Aruna sambil tersenyum. Ia pun melepaskan tubuh Putri, dan menyeka air mata yang tergenang di pelupuk mata anak itu. "Nggak usah sedih lagi! Mulai sekarang kak Aruna adalah kakak kamu. Kamu mau, nggak, jadi adiknya kakak?"
Putri langsung menganggukkan kepalanya cepat. "Mau," ucapnya senang.
Setelah itu, mereka melanjutkan kegiatan memasak yang dari tadi tertunda. Keduanya tampak akrab layaknya saudara kandung.
Ting tong!
Suara bel pintu mengalihkan atensi kedua perempuan beda usia yang tengah memasak itu. "Siapa, ya?" tanya Aruna sambil menatap wajah Putri. Walaupun ia tahu jika Putri pasti tidak akan tahu jawabannya.
Putri mengedikkan bahunya. "Biar Putri yang buka pintunya, Kak," seru Putri seraya mengelap tangannya pada kain lap di atas meja. Dia tengah mengupas kulit udang sebelum dirinya berkata seperti itu.
"Jangan! Biar kakak aja," cegah Aruna. Dia khawatir kalau-kalau yang datang adalah orang jahat. Jika sudah masuk waktu malam, jarang sekali ada tamu yang datang ke rumahnya.
"Berdua aja, deh." Putri berinisiatif mengikuti langkah Aruna yang berjalan ke arah pintu depan. Aruna tidak melarang, hatinya masih ketar-ketir dengan siapa yang bertamu malam-malam. Karena komplek perumahan yang dia tempati memang lumayan sepi.
"Siapa?" Aruna berteriak dari dalam. Tidak ada jawaban. "Siapa di luar?" Aruna mengulangi pertanyaannya. Kali ini dengan nada sedikit membentak. Terjeda lima detik, lalu suara seorang laki-laki terdengar agak gugup.
"Sa–saya mau minta tolong, Mbak. Ban mobil saya bocor. Apa saya boleh pinjam kunci pas sama dongkrak?"
Aruna mengernyitkan kening mendengar jawaban lelaki tersebut. Pengalaman saat rumahnya digandrungi maling sebulan yang lalu membuatnya sedikit waspada. Mungkin saja, kan, lelaki ini adalah orang jahat juga.
"Put, ambilin sapu di pojokan sana, dong!" Aruna menyuruh Putri untuk mengambil sapu di pojok ruang tamu. Tanpa bertanya Putri pun menurut. Dengan setengah berlari dia mengambil sapu itu lalu memberikannya pada Aruna. "Kamu diem di belakang kakak, ya!" titahnya berkata pelan.
Sebelah tangan Aruna memegang sapu yang sudah ia layangkan ke udara seolah aba-aba, dan sebelah tangannya lagi memutar kunci rumahnya. Ketika pintu rumah itu terbuka lebar lelaki itu begitu terkesiap melihat Aruna yang sudah bersiap memukul dirinya. "Eh, eh, eh, apa-apaan, nih?" pekik lelaki itu, sembari menyilangkan kedua tangannya sebagai tameng di atas kepala.
"Pak Juno?" Aruna menurunkan sapu yang dia pegang. Sedikit mencondongkan kepalanya guna melihat dengan jelas wajah yang terhalang oleh tangan itu.
Juno menurunkan tangannya, lantas bersikap salah tingkah. Kedua matanya sedikit terbelalak melihat penampilan Aruna yang sedikit berbeda dari biasanya. "Apa aku salah rumah? Tapi aku yakin mobil yang di depan itu mobilnya Aruna. Apa ini kakaknya, adeknya, atau ...." Juno bergelut dalam batin.
"Pak Juno!" Panggilan selanjutnya Aruna mengembalikan kesadaran Juno. Sekaligus meyakinkan dirinya jika di hadapannya kini benar-benar Aruna.
...***...
to be continue...
Jangan lupa dukungannya dengan like dan kasih komentar, ya 🙏🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
angie widya
pak juno stalker ya🤭🤭
2022-06-02
0
☠ᵏᵋᶜᶟҼɳσᵇᵃˢᵉ
modus ngintilin sampai rumah aruna bilang minta tolong lgi buat minjem kunci pas sama dongkrak nih juno,taunya biar ketemu aruna
2022-05-29
0
Neni
ya ampun bener bener nguntit sampe tau rumah aruna😂😂😂
2022-05-29
0