Aneisha Mihai masuk membawa sebuah nampan penuh kue-kue manis nan lezat dan seorang wanita muda berpakaian pelayan masuk ke dalam ruangan membawa nampan berisi seperangkat teko dan cangkir.
Dia tersenyum manis kepada kedua wanita yang tengah duduk bercakap-cakap di ruangan tersebut sedangkan pelayan di sebelah Aneisha Mihai tidak berani menatap kedua wanita itu, pelayan itu hanya menundukkan kepalanya.
"Tolong letakkan saja nampan-nampan itu langsung di atas meja, nak !", ucap wanita bermata biru.
"Iya mama, Bibi Dolores telah membuat kue-kue manis nan lezat ini, aku harap Nenek Amarise menyukainya", ucap Aneisha Mihai.
"Eh !? Nenek !? Apa yang kamu katakan sayangku Mihai ?", tanya mamanya heran.
"Ehm, maksud Aneisha, ia telah menganggap saya sebagai neneknya, nyonya besar, ia tidak lagi hanya menjadikan saya sebagai gurunya tetapi ia telah membuat hubungan di antara kami seperti hubungan nenek dan cucu", ucap Nenek Amarise berusaha mengalihkan arah pembicaraan.
"Ah..., iya...?", ucap Aneisha Mihai gugup.
"Tapi sayangku, itu tidaklah pantas jika kamu memanggil gurumu seperti itu, nak !? Beliau adalah gurumu dan jangan memanggil panggilan seperti itu lagi ! Tidak sopan, kamu mengerti !?", ucap mamanya mengingatkan gadis cantik itu.
"Iya mama, aku mengerti", ucap Aneisha Mihai tersipu malu.
"Berkata-katalah yang sopan dan santun, nak ! Bagaimanapun beliau adalah guru kamu dan bukan nenek kamu !", ucap mamanya seraya menatap serius kearah Aneisha Mihai.
Gadis muda itu hanya tertunduk dengan wajah bersemu merah karena malu, ia masih muda dan ia tidak tahu harus bersikap apa terhadap orang lain yang bukan orang terdekatnya yang biasa ia temui.
Dia hanya menganggap panggilan itu lebih terasa akrab di antara ia dan nenek bergaun merah itu karena hal tersebut adalah hal wajar ketika bertemu dengan orang yang baru ia temui untuk pertama kalinya.
"Tidak perlu bersikap sekeras itu nyonya besar, tidaklah salah jika puterimu memanggilku demikian dan hal itu wajar nyonya besar", ucap Nenek Amarise.
"Maaf Bu Guru Amarise akan kelancangan puteriku karena faktor usia yang membatasi kemampuannya dalam bergaul dengan orang yang lebih tua di atasnya, aku minta maaf", ucap mama dari Aneisha Mihai.
"Ha..., ha..., ha..., ha..., tidak perlu sesungkan itu padaku nyonya besar, aku yang menyuruh puterimu untuk memanggilku seperti itu, tenanglah dan itu bukan kesalahannya, nyonya besar", jawab Nenek Amarise sambil tertawa santun.
"Maafkan aku karena tidak bisa mendidik puteriku dengan baik dan terlalu memanjakannya, aku meminta maaf sekali lagi, Bu Amarise", ucap mama.
"Iya, iya nyonya besar, aku paham dan tidak perlu secemas itu", ucap Nenek Amarise.
Wanita bermata biru nan indah itu hanya terdiam seraya memperhatikan nenek bergaun merah itu dengan tatapan teduhnya.
"Aneisha, kamu boleh memanggilku seperti biasanya dan panggil aku nenek tetapi jika di sekolah aku harap kamu memanggilku dengan panggilan Ibu Amarise", ucap Nenek Amarise dengan senyuman manisnya seraya mengedipkan matanya kepada Aneisha Mihai.
Aneisha Mihai langsung mengerti dengan ucapan nenek bergaun merah itu kemudian tersenyum senang.
"Hari ini adalah hari ulang tahun Aneisha Mihai dan ini sangat kebetulan Bu Amarise berkunjung ke rumah kami dan bagaimana jika anda ikut merayakannya dengan makan malam bersama kami ?", ucap mama.
"Benarkah ? Ini adalah suatu kebetulan yang penuh berkah kalau begitu, nyonya besar dan aku sangat senang menerima undangan anda", ucap Nenek Amarise.
"Terimakasih telah menerima undangan dari kami tetapi aku juga meminta maaf jika acaranya tidak meriah karena kami tidak mengadakan pestanya", ucap mama seraya menangkupkan kedua tangannya kearah pipinya yang memerah.
"Tidak apa-apa, aku cukup senang atas undangan makan malamnya nyonya besar, terimakasih", jawab Nenek Amarise menganggukkan kepalanya.
"Silahkan mencicipi kue-kue manis ini dan maaf aku hampir melupakannya", ucap mama.
***
Aneisha Mihai dengan cekatan mengambilkan sepotong cake black forest kepada Nenek Amarise.
Dia juga tidak lupa menuangkan kopi untuk kedua wanita tersebut ke dalam cangkir-cangkir keramik berlapis emas kemudian memberikannya kepada mereka berdua.
"Terimakasih nak, ini kopi yang sangat wangi sekali", ucap Nenek Amarise tersenyum manis.
"Ini adalah kopi hasil dari perkebunan kami, setiap tahunnya kami selalu mengekspor kopi-kopi ini ke luar negeri atau mengirimnya ke luar kota karena itulah ayah Aneisha Mihai selalu berkunjung ke luar kota untuk memeriksanya sendiri", ucap mama.
"Ehem..., uhuk...!?", Nenek Amarise langsung terbatuk mendengar ucapan wanita betmata biru nan indah itu.
"Ada apa Bu Amarise ? Anda baik-baik saja ?", tanya mama terkejut.
"Maaf, maaf, aku hanya tersedak saja nyonya besar, maafkan aku...", jawab Nenek Amarise seraya melirik kearah Aneisha Mihai dan memegangi dadanya.
"Mariana tolong ambilkan Bu Amarise segelas air !", ucap mama kepada pelayan muda yang tengah duduk tak jauh dari mereka.
"Baik nyonya", ucap pelayan bernama Mariana seraya beranjak dari duduknya dan berlari keluar ruangan.
"Bagaimana bu, masih terasa tidak enak ?", tanya mama panik.
"Uhuk..., uhuk..., t-tidak apa-apa nyonya besar, maaf telah mengejutkan anda...", ucap Nenek Amarise seraya mengedipkan matanya kearah Aneisha Mihai.
Gadis berparas cantik itu lalu berdiri dan menghampiri nenek bergaun merah itu seraya mendekat kearah nenek tersebut.
Dia mendekatkan telinganya kearah Nenek Amarise dengan menepuk pelan punggung nenek bertopi merah itu.
"Katakan padamu untuk mempersilahkan aku beristirahat sebentar, wanita penyihir itu akan segera datang kemari dan kita harus bersiap-siap menyambut wanita itu !", bisik Nenek Amarise pelan.
"Eh...!? Baik, baik, aku mengerti nenek !", ucap Aneisha Mihai tanggap dengan cepat.
Dia hampir melupakan tentang wanita kejam itu sesaat karena sibuk bercakap-cakap di ruangan utama tanpa menyadari akan kedatangan wanita muda itu.
Aneisha Mihai lalu membantu nenek bergaun merah itu untuk berdiri dari sofa.
"Kamu akan membawa bu guru kemana, nak ?", tanya mama setengah terkejut.
"Aku akan membawa nenek, eh..., bu guru ke kamarku mama agar beliau dapat beristirahat sejenak disana", jawab Aneisha Mihai sambil memapah Nenek Amarise.
"Tidak, tidak, tidak sayangku !", ucap mama.
Aneisha Mihai menghentikan langkahnya dan menoleh kearah mamanya dengan mengerutkan kedua alisnya kebingungan.
"Bawa saja bu guru ke dalam kamar tamu yang ada disebelah ruangan keluarga karena lebih dekat daripada kamarmu yang ada di lantai atas, nak !", ucap mama.
"Mm..., baiklah mama, aku akan membawa bu guru ke kamar tamu", jawab Aneisha Mihai.
Pelayan muda itu lalu kembali dengan segelas air di tangannya dan berjalan cepat mendekati mereka semua yang tengah berdiri di ruangan utama.
"Mariana, tolong bantu nona muda memapah bu guru ke kamar tamu yang ada di sebelah ruang keluarga, kamu mengerti ?", ucap mama seraya meraih gelas yang ada di tangan wanita muda itu.
"Iya nyonya, saya mengerti", ucap Mariana kemudian membantu Aneisha Mihai memapah nenek bergaun merah itu.
"Ayo Mariana, bawa bu guru ke kamar tamu !", ucap Aneisha Mihai.
"Baik nona, mari kita segera kesana", ucap Mariana.
***
Sebuah kamar berukuran sangat luas berada tepat di hadapan mereka semua dan Aneisha Mihai segera membawa masuk Nenek Amarise ke dalam kamar tersebut.
"Terimakasih Mariana, kamu telah membantu kami", ucap Aneisha Mihai.
"Sudah kewajiban saya untuk melakukannya nona, anda tidak perlu merasa sungkan", ucap Mariana.
"Baiklah, kamu boleh meninggalkan kami tapi jangan lupa membawakan Bu Amarise air minum di dalam botol gelas, Mariana !", ucap Aneisha Mihai.
"Iya nona, saya akan mengambilkannya dari dapur", jawab Mariana.
Pelayan muda itu lalu pergi meninggalkan kamar tamu dan berjalan menuju kearah dapur rumah.
Aneisha Mihai dengan cepat mengunci pintu kamar dan menghampiri nenek bergaun merah serta bertopi merah itu.
"Kenapa nenek menyuruhku bersiap-siap menyambut wanita jahat itu ? Kenapa tidak langsung saja kita menemuinya, mama sangat terkejut akan hal ini, nenek ?", ucap Aneisha Mihai.
"Kamu harus menarikan satu tarian balet ciptaanku, nona muda agar pengaruh ilmu pemikat dari wanita jahat itu yang dibawanya tidak mempan pada mamamu", ucap Nenek Amarise lalu beranjak dari tempat tidur.
Nenek Amarise berdiri tegap dengan sebuah payung berenda yang ada di salah satu tangannya.
Gaun merah nenek Amarise lalu berubah perlahan menjadi pakaian leotard yang biasa dipakai para penari balet hanya saja ia tidak mengenakan rok mekar melainkan ia mengenakan selembar kain yang melilit dipinggang serta sepasang pointe shoe berwarna merah berkilauan.
"Perhatikan gerakan tarianku kemudian kamu hafalkan !", perintah Nenek Amarise kepada Aneisha Mihai seraya mengangkat dagunya.
Terdengar alunan musik yang merdu dan lembut mengalir pelan di seluruh ruangan kamar tamu yang tiba-tiba berubah menjadi area latihan yang luas dengan kaca-kaca terpajang diseluruh ruangan kamar utama itu.
Aneisha Mihai tersentak kaget melihat pemandangan kamar tamu rumahnya berubah drastis menjadi lantai latihan tari balet.
Dia hanya berkata "Wow" dengan perubahan yang terjadi di dalam ruangan kamar tamu rumahnya yang luas itu.
Sebuah keajaiban kembali terjadi lagi dan membuat Aneisha Mihai terkagum-kagum akan semuanya dan ia hanya berucap "Sungguh fantastis", dengan keajaiban tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Tobatos Corp
😍😍😍😍😍😍😍
2024-07-19
0