Mata indah Talitha basah, hatinya terasa tidak karuan. Dan anehnya dia merasa nyaman menceritakan gundah hati yang selama ini menjadi beban hidupnya pada Hanna. Gadis yang baru pertama kali diajak ngobrol itu.
"Maaf jika aku terlihat sangat tidak masuk akal di hadapanmu" ungkap Talitha, Hanna mengambil tisu yang ada di atas meja dekat tangannya, lalu menyerahkan pada Talitha. Talitha menerima tisu tersebut dan mengusap air mata yang masih tersisa di kedua pipinya.
"Tidak....aku siap mendengarkan, dan maaf jika kehadiranku membawa luka baru dalam hidupmu, tapi aku tidak punya maksud sebelumnya" Hanna merasa bersalah.
"Bukan....bukan salahmu, ini salahku yang salah dalam mengambil keputusan, dan membuat Rayyan terjebak dalam kehidupan yang rumit juga, karena aku dia menjadi tidak tenang dan mendapat ancaman dari Brian"
Hanna masih belum sepenuhnya paham masalah apa yang menimpa Talitha dan suaminya itu.
"Kamu tahu? aku mendapatkan kasih sayang dan perhatian hanya dari Rayyan...Brian tidak pernah membahagiakan aku, dia hanya memberiku uang, selebihnya tak ada. Mungkin tak ada cinta di antara kita, bodohnya aku kenapa aku mau menikah dulunya" Talitha seolah menyesali apa yang sedang menimpanya.
"Rayyan adalah sosok laki-laki yang baik, bertanggung jawab dan kasih sayang terhadapku tidak bisa aku pandang sebelah mata, namun apa balasanku? aku membuatnya rumit..."
Hanna melihat Talitha dengan seksama, tidak ingin dia melewatkan satu kata pun dari cerita Talitha. Rasa kasihan muncul dalam hatinya, betapa sulit kehidupan Talitha.
"Dia dituduh merebut aku dari Brian...ya...memang aku yang salah karena statusku memang belum resmi pisah darinya"
Hanna manggut-manggut paham.
"Tak akan lama, pasti aku akan berpisah darinya, karena memang kita sudah tidak ada lagi kecocokan"
"Apakah itu juga terbersit di pihak Brian?" tanya Hanna memberanikan diri, sebenarnya dia takut jika pertanyaannya akan menyinggung Talitha, hanya saja dia merasa harus tahu apa yang sebenarnya terjadi, kepalang tanggung.
Talitha menggeleng, "Entah....dia sepertinya sengaja membuat aku terkatung-katung tidak jelas" jawab Talitha getir.
"Ok, aku paham dengan apa yang kamu rasakan. Jadi Talitha...ehm...maaf jika aku memanggil Talitha"
"Oh nggak masalah, panggil saja aku Talitha, namaku"
"Apa yang bisa aku bantu untukmu?"
Talitha menatap Hanna lekat, kini tak ada lagi air mata yang tumpah dari mata indahnya, hanya saja terlihat kuyu.
"Aku titip Rayyan" hanya itu jawaban yang keluar dari bibir Talitha, Hanna merasa terhenyak. Dia yang bukan siapa-siapa minggu kemarin, kini dia harus berhadapan dengan situasi rumit yang jika sampai di telinga para pewarta, ini akan menjadi berita besar.
"Tidak ada yang kebetulan di dunia ini, mungkin ini adalah salah satu takdir kamu yang harus kamu lalui, begitu juga aku. Kamu yang datang tiba-tiba, dan aku yang harus sejenak melangkah mundur. Bukankah begitu?" Talitha memang wanita hebat, itulah yang terbersit dalam benak Hanna. Dia adalah wanita cerdas yang mampu berfikir dengan baik. Di satu sisi memang dia tidak membenarkan Talitha memiliki hubungan dengan orang lain karena masih berstatus suami orang, namun di sisi lain dia juga tegar menghadapinya.
"Mau kan kamu menjaga dia hingga masalah hidupku selesai?" Talitha memastikan.
"Aku akan membantu kamu sebisaku" ujar Hanna, tidak berani memastikan, karena dia sendiri juga bingung harus berbuat apa selanjutnya menghadapi situasi ini.
"Kamu tidak akan jatuh cinta padanya kan?" pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban sebenarnya, membuat Hanna tertawa kecil. Lalu dia menggeleng. Memang dia mengidolakan Rayyan sejak lama, tapi bukan berarti dia akan jatuh cinta, terlebih saat tahu bagaimana Rayyan.
"Benteng kita terlalu tinggi Talitha, dan aku tahu siapa aku" jawab Hanna diplomatis apa adanya, sesuai dengan apa yang dia rasakan saat ini.
"Aku tahu akhir-akhir ini kita harus menjaga jarak, agar Brian tidak merongrong kehidupan Rayyan dan karirnya, aku tidak bisa mengawasi dia dengan baik, dan kamu yang akan selalu ada untuknya akhir-akhir ini, jadi aku rasa tidak berlebihan jika aku titip dia padamu"
Hanna merasa heran, mengapa bukan Kamila? bukankah Kamila yang selalu ada untuk Rayyan.
"Kamu pasti bertanya, kenapa bukan Mila?" Talitha tersenyum kecil, seolah itu yang ada di benak Hanna.
"Iya" jawab Hanna singkat, Talitha bak seorang peramal ulung yang mampu membaca pikirannya.
"Kamila hanya ada ketika kerja, namun jika di rumah dia akan bersamamu, meskipun aku tahu jadwal dia amat padat di luaran sana, tapi bukan tidak mungkin kamu akan berada di sisi Rayyan saat dia keluar nanti, jadi tolong aku titip dia, jaga dia untukku"
Hanna terdiam, yang dikhawatirkan oleh Talitha sebenarnya adalah, jangan sampai Rayyan dan dirinya jatuh cinta, itu adalah intinya. Tapi Talitha tidak gamblang dalam menyampaikan, ada rasa geli dalam hatinya. Hanna sadar diri, siapa dia, jangankan memiliki, setelah dia tahu kehidupan Rayyan yang sebenarnya, rasanya dia tak pantas jatuh cinta pada artis besar itu. Apalagi jika Talitha adalah saingannya. Itu sangat tidak mungkin.
"Iya...aku akan membantumu" ujar Hanna sekali lagi.
"Terima kasih" jawab Talitha sambil tersenyum.
Talitha meninggalkan cafe tersebut, sementara Hanna masih di sana, menikmati minumannya yang masih utuh itu. Perlahan dia mulai mencerna, dan sedikit menyesal dengan takdir yang dia terima. Kenapa harus dia? ini terlalu rumit. Hanna mengaduk-aduk minumannya, lalu menyesapnya hingga hampir tandas. Dilihatnya jam yang melingkar di pergelangan tangan, sudah menunjukkan jam 10 malam. Cafe pun mulai sepi pengunjung. Hanna bersiap meninggalkan cafe tersebut.
Parkiran sudah mulai lengang, Hanna mendekat ke motor bututnya, tangannya meraih jaket lalu mengenakannya. Hawa dingin menyeruak, Hanna melongok ke atas, terlihat pekat di atas sana. Selain gelap, kemungkinan memang sedang mendung.
"Jangan hujan sebelum aku sampai rumah" gumamnya, lalu dia memakai helm dan bersiap pulang ke rumah Rayyan.
Baru separuh perjalanan, motor bututnya mendadak mogok. Hanna mendengus kesal.
"Hah...kenapa kamu mogok di saat yang tidak tepat? hah?" Hanna turun dari motornya, dan mencoba mencari tahu masalahnya. Namun nihil, karena dia sama sekali tidak tahu menahu tentang mesin.
Hanna membuang nafas sebal, terpaksa, mau tidak mau dia harus menuntun motor hingga rumah, seingatnya bensin terisi full, mungkin ada masalah dengan mesinnya, maklum itu adalah motor tua yang sudah selayaknya dimuseumkan.
Keringat bercucuran di tubuh Hanna, sesekali Hanna berhenti dan mengusap peluhnya. Tidak ada bengkel yang buka selarut ini, jadi dia benar-benar harus mendorongnya.
Tin...tin...tin....
Tin...tin...tin...
Suara klakson berbunyi berkali-kali, tapi tidak Hanna hiraukan. "Dasar orang nggak ada kerjaan!! ngapain sih klakson-klakson? kan aku sudah berada di pinggir!" teriaknya. Hanna berhenti lagi, dia melihat sebuah mobil sport warna merah di sana, tapi akhirnya dia kembali berjalan dengan menuntun motornya. 2 km lagi dia akan sampai rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments