Hanna masih duduk dengan nyaman di kursinya sambil menyesap minumannya, begitu juga dengan Bian. Seharusnya jika hanya membicarakan hal ini, tak perlu lah Bian mengajaknya seolah ada sesuatu yang penting secara pribadi. Hanna agak kecewa, tetiba dia ingat pesan Rayyan. Jangan dekat-dekat dengan lelaki lain.
Hanna meletakkan gelas minumannya yang sudah tinggal sedikit itu, dia melihat jam tangannya, sudah hampir satu jam mereka ada di sini. Perkuliahannya hari ini selesai, tak ada lagi kuliah sore. Hanna merencanakan akan mengunjungi ayahnya dan Nayo, serta belanja keperluan rumah.
"Oh ya Han...sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan lagi" Bian membuka percakapan kembali, tangannya meletakkan gelas minumannya di atas meja, mata beningnya menatap Hanna yang juga menatapnya. "Di luar topik bahasan yang tadi" imbuhnya.
Hanna melihat Bian, tak ada lagi rasa deg-degan, terasa biasa saja, dia tidak mau berharap apapun kali ini. Hanna memainkan jemari tangan kanannya, mengetuknya di atas meja dengan sangat pelan sambil menunggu Bian mengatakan apa yang akan diutarakan.
"Kamu tahu Mona kan?" yap, nama gadis itu disebut, gadis yang tadi malam dia temui di ruang jurnalistik, gadis cantik dengan rambut yang agak pirang itu, intinya dia cantik dan pasti itu pacar Bian. Hanna beranggapan bahwa Bian akan curhat tentang gadis itu, atau hubungan mereka. Hanna sudah siap.
"Iya" balas Hanna sambil tersenyum.
Bian nampak berfikir sejenak, mengambil jeda untuk memulai darimana. Hanna memperhatikan sekitar, kursi-kursi yang ada di sekitarnya masih banyak yang kosong.
"Jadi Mona itu sebenarnya mantanku dari jaman SMA" Bian membuka cerita. Hanna agak sedikit terkejut, bahagia tentunya. Ternyata Mona bukanlah pacar Bian saat ini. Lalu?. Hanna masih terdiam, sabar menunggu lanjutan kalimat yang akan meluncur dari Bian.
"Kita sudah hidup masing-masing sekarang, dan aku juga menganggapnya sebagai teman, aku merasa tidak enak hati padanya"
"Kenapa?" Hanna kepo.
"Karena dia masih berharap padaku"
Jawaban itu membuat Hanna agak tertegun, dari cerita awal yang dia dengar, Bian tak ingin kembali pada Mona. Ok, Hanna siap melanjutkan kembali, dia memusatkan pandangannya kembali pada Bian. Bian mulai memainkan jemarinya, seperti apa yang dilakukan Hanna tadi. Nampak dia agak sedikit gelisah.
"Aku nggak bisa, karena memang sudah tidak ada lagi dia di hatiku, intinya sekarang aku menikmati kesendirianku"
"Sudahkah mas Bian mengatakan hal itu padanya?" tanya Hanna, itulah pendapat yang pertama kali terlintas di benaknya. Bian menggeleng.
"Lalu?"
"Aku tidak mau melihat dia sedih" jawab Bian sambil menerawang.
"Mas Bian tidak mau membuat dia sedih, tapi tega membuatnya terus berharap" Hanna tegas. Bian mendongak, melihat gadis di depannya, adik tingkat yang ternyata berani mengungkapkan isi hatinya dengan lugas itu.
"Ehm...maksudku aku tidak pernah mengatakannya lewat kata-kata, hanya saja perangaiku cukup lah menggambarkan jika aku tidak mungkin kembali padanya"
"Harusnya mas Bian bilang ke Mona, kasihan, cewek butuh kepastian" Hanna mendadak sinis.
"Ok...ok...nanti aku bilang langsung ke dia" Bian seolah sedang terpojok dengan kalimat Hanna.
Hanna mendengus, mengapa Bian yang dia idolakan sebagai pangeran itu bersikap seperti ini, tidak ksatria sama sekali, tapi tetap saja, wajahnya membuat Hanna kembali luluh. Barangkali Bian memang butuh teman curhat.
"Nggak apa-apa mas, sampaikan saja apa adanya, kasihan juga kan Mona" suara Hanna melembut, tak ingin menyakiti Bian yang memang butuh teman untuk mendengarkan ceritanya itu.
"Aku ingin kamu jadi pacar pura-puraku untuk memperkuat" Bian nyeletuk, Hanna sontak mendongak, melihat Bian dengan sorotan mata tajam. Lalu Hanna membuang pandangannya, meredakan kekagetannya, Hanna melihat seseorang lewat di sampingnya dan duduk di sebuah kursi yang tak jauh darinya.
"Iya, mau nggak?" tanya Bian.
***
Seorang pelayan memberikan buku menu kepada Rayyan, Rayyan menerimanya tanpa menoleh kepada pelayan, dia terus melihat Hanna yang sedang ngobrol dengan seorang laki-laki itu.
"Tulis saja yang paling best seller di sini" jawab Rayyan akhirnya.
"Baik kak, permisi buku menunya" pelayan itu mencatat pesanan Rayyan sesuai keinginan, yaitu minuman yang paling best seller, dan meminta kembali buku menunya. Tapi Rayyan masih memegangnya.
"Aku pinjam dulu" jawab Rayyan.
"Oh baik kak"
Rayyan memegang buku menu seolah sedang membacanya, hal itu dilakukan agar dia tidak terlihat sedang menguping pembicaraan Hanna dan laki-laki itu. Tapi nihil, Rayyan tidak jelas mendengar percakapan Hanna. Jika dia duduk terlalu dekat akan dicurigai.
Rayyan bertahan hingga Hanna dan laki-laki itu pergi, dengan hati nggak tenang Rayyan pun akhirnya pergi, dia kembali ke lokasi syutingnya tadi.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, Rayyan masih terjaga. Dia duduk di kursi ruang makan, menunggu Hanna pulang. Dan benar saja, terdengar suara pintu terbuka. Rayyan melihat Hanna datang dengan barang belanjaan di tangan. Rayyan hanya melihatnya saja tanpa ingin membantu Hanna.
Hanna melihat Rayyan sedang duduk di kursi, tapi dia tidak peduli dengan keberadaannya. Dirinya sudah penat, Hanna meletakkan belanjaannya di depan lemari es. Hanna meletakkan tas ranselnya di atas meja makan. Rayyan masih terdiam saja melihat Hanna.
Hanna membuka lemari es dan bersiap memasukkan barang belanjaannya. Mata Hanna terbelalak, lemari es sudah penuh dengan barang belanjaan. Aneka sayuran dan daging berada di sana. Hanna melirik ke arah Rayyan, laki-laki itu diam saja.
"Ambil bajuku di atas dan cuci" ujar Rayyan angkuh. Kemudian dia meninggalkan Hanna yang nampak bengong.
"Galak amat" gumam Hanna. "Ok, ini masih jam 10, masih sanggup mencuci setelah ini" Hanna menyimpan sayurannya di sela-sela tempat yang masih kosong. Selain bahan masakan, di sana juga banyak camilan.
"Mungkinkah dia yang mengisinya?" gumamnya lagi. Rayyan sudah tak nampak, dia sudah kembali ke kamarnya.
Selepas menata belanjaannya, Hanna mengambil kembali tas ranselnya yang dia geletakkan di atas meja dan bergegas ke kamarnya untuk mandi sebelum mengambil baju kotornya Rayyan.
Rayyan berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, dia harus memberi pelajaran buat Hanna yang abai terhadap nasehatnya. Berani-beraninya gadis itu jalan berduaan dengan pacarnya.
Tok...tok...tok...
Terdengar pintu kamarnya diketok, jelas itu adalah Hanna. Rayyan menghentikan langkahnya dan duduk dengan angkuh di atas sofa yang tidak jauh dari ranjangnya, kedua tangannya terlipat.
"Masuk" jawabnya.
Hanna membuka pintu kamar setelah mendapat izin dari Rayyan.
"Permisi, mau ambil baju kotor" Hanna membawa keranjang yang akan dia gunakan untuk membawa baju tersebut. "Mana?" Hanna melihat tidak ada baju kotor di sana.
"Tuh" Rayyan menunjuk kamar mandi. Hanna segera menuju kesana, tanpa bertanya lagi. Dan dia mengambil baju kotor dengan cekatan. Tak ingin dia berlama-lama berada di sini. Hanna segera keluar dari kamar mandi dan menuju pintu kamar untuk segera keluar, Rayyan masih duduk di sofanya.
"Hei kamu!" teriak Rayyan.
"Kenapa?"
Rayyan menggaruk kepalanya, terdiam sesaat. Lalu mengibaskan tangannya menyuruh Hanna segera pergi dari pandangannya. Hanna mengehela nafas panjang dan berlalu.
Rayyan sedang menyusun rencana apa yang harus dilakukannya, jika dia berbicara secara frontal pada Hanna, dia takut Hanna akan salah sangka.
Rayyan bangkit dari duduknya dan keluar dari kamar, mengekor Hanna di tempat cuci baju.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
anita
mbok rausah nggedekne gengsi yan..yan masio artis weki nek cemburu ngaku wae
2023-10-17
0