“Aku tidak tahu pasti, tapi setiap pulang sekolah, dia jadi lebih jarang berbicara dari pada sebelumnya," jawab Cass. Kuberikan dia dua bungkus permen cokelat sebagai imbalan. Cass begitu senang saat menerima permen-permen tersebut, layaknya anak kecil.
Sudah dua hari berlalu semenjak aku bertanya-tanya pada Cass mengenai apa kelebihan dan kelemahan Theo, si putra sulung keluarga Valcke. Jawabannya tidak begitu memuaskan, karena menurut Cass, Theo tidak memiliki hal yang disukai maupun dibenci. Dia juga tidak memiliki kelebihan dan kekurangan. Benar-benar anak yang netral dan tanpa cela.
“Nona Alissa, saya sudah selesai menjalankan tugas.” Terdengar suara Dea dari balik pintu kamar. Aku langsung mempersilakannya masuk.
“Ada kabar apa?” tanyaku tanpa basa-basi. Dea menundukkan kepala, mengeluarkan secarik kertas dari saku celemeknya.
“Ini mengenai Tuan Theo, Nona. Saya mendapatkan informasi dari pelayan pribadi Tuan Muda,” jawab Dea, si pelayan pribadiku yang sekarang sudah jadi sangat penurut.
Setelah kemarin mendapatkan petunjuk dari Cass, aku meminta Dea untuk menyelidiki Theo dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya. Para pelayan pribadi si tuan muda satu itu pasti tahu bila ada gerak-gerik berbeda dari majikannya. Sesama pelayan biasanya saling berbagi gosip. Kuminta Dea untuk mendekati pelayan Theo untuk dikorek informasinya.
“Baiklah, apa yang kamu ketahui, Dea?”
“Ummm, menurut yang saya dengar, Tuan Muda menjadi murung karena dia belum bisa summon hewan mistis miliknya sendiri,” jelas Dea.
Aku mengernyitkan dahi. “Kenapa memangnya? Bukankah anak sepuluh tahun itu wajar kalau belum bisa melakukan summon? Biasanya, kan, orang bisa summon di usia yang kesebelas!”
“Ah, tapi Anda tidak begitu, Nona … .” sahut Dea. Aku lupa kalau dia sering bertemu Kyu, hewan mistisku.
“Aku adalah pengecualian,” kujawab seraya mengibaskan tangan. “Oke, lalu kenapa Theo jadi murung, padahal itu hal yang wajar?”
“Oh, itu … ,” Dea kembali mengecek kertas catatannya, lalu berkata, “karena rivalnya, yaitu Tuan Muda Duke Hast sudah bisa summon, Nona.”
Ah, aku ingat dengan karakter itu. Putra dari Duke Hast bernama Leon, adalah rival dari Theo Valcke. Mereka berdua saling bersaing dalam segala hal, mulai dari nilai akademis, olahraga, dan berpedang.
Sebenarnya, kubuat karakter Theo sebagai orang yang tidak pernah menaruh perhatian pada persaingan semacam itu. Akan tetapi, Leon Hast ini memang orang yang menyebalkan. Dia suka merundung para siswa yang lebih lemah darinya. Karena dia adalah putra duke yang memiliki hubungan darah langsung dengan ratu, Leon jadi besar kepala.
Aku mengetahui hal ini karena Leon adalah salah satu figuran yang kutuliskan adegan kilas baliknya ketika bertemu Theo. Aku memang tidak tahu secara rinci apa yang terjadi di sekolah Theo, tetapi aku berani bertaruh kalau tidak ada yang berani menentang kenakalan Leon dikarenakan latar belakangnya itu.
“Kenapa Theo harus murung karena hal itu?” tanyaku lagi.
“Itu karena Tuan Muda tidak bisa lagi mencegah perundungan yang dilakukan Tuan Leon, karena keberadaan hewan mistisnya itu menjadikan dia lebih kuat dari sebelumnya. Terlebih lagi, Tuan Muda adalah ketua organisasi siswa untuk tingkat akademi dasar, jadi … .”
“Ah, begitu. Aku mengerti,” ucapku, tak membiarkan Dea menyelesaikan kalimatnya.
Organisasi siswa akademi memiliki tujuan untuk mengatur kesejahteraan para siswa. Wewenangnya langsung di bawah kepala sekolah. Tanggung jawab Theo begitu besar, meski dia hanya menjabat untuk tingkat akademi dasar.
Aku heran, kenapa Theo tidak melapor saja pada Ayah untuk membereskan masalah Leon Hast ini---
Oh iya, aku lupa. Dengan sifat yang selalu ingin diandalkan sebagai putra tertua, mana mungkin Theo mengadu apa yang terjadi di sekolahnya pada Duke Valcke.
Hmmm, ini bisa jadi kesempatanku. Meskipun sebenarnya aku tidak usah membantu Theo mendapatkan hewan mistis, karena di usianya yang kesebelas nanti, dia sudah bisa melakukannya.
Akan tetapi, dengan cara ini aku bisa mengambil hati si Tuan Muda angkuh itu.
“Kalau begitu, Dea, kapan Theo akan pulang sekolah?”
“Ah, sebentar lagi Nona, kira-kira pukul tiga sore.”
Dea melipat kembali kertas catatan di tangan dan memasukkannya ke saku celemek. Dia berjalan mundur sambil menunduk. Kutatap dia lekat-lekat. Dea sama sekali tidak mau membalas tatapanku. Sepertinya dia sudah trauma pada apa yang kulakukan dulu.
Aku beranjak menghampiri meja rias dan menarik laci perhiasan. Di dalamnya, terdapat berbagai anting, gelang dan hiasan kepala terbuat dari satin yang dibelikan Duke Valcke untukku. Kuambil sepasang anting berhiaskan batu ruby.
Untuk membentuk kepribadian seseorang, ada metode yang namanya carrot and stick, atau wortel dan tongkat. Bila diartikan, yaitu hadiah dan hukuman. Apa yang kulakukan pada Cass dengan memberinya permen cokelat adalah carrot, alias hadiah. Dengan memberikan hadiah, Cass dapat kuambil hatinya secara mudah. Apa yang kulakukan pada Dea sampai dia trauma itu adalah stick, alias hukuman. Sekarang Dea menjadi sangat penurut pada apa yang kuperintahkan.
Karena hukumannya sudah pernah diberikan, saatnya mengeluarkan carrot sekarang, karena Dea berhasil menjalankan tugasnya dengan baik. Aku berjalan menghampiri Dea dan menyerahkan sepasang anting ruby itu di tangannya.
“I-ini apa, Nona?” tanya Dea gugup. Matanya tak bisa lepas menatap perhiasan telinga yang berkilau tersebut.
“Hadiah untukmu, karena kamu sudah berhasil membawakan informasi penting untukku. Terima kasih, ya!” sahutku sambil tersenyum. Betapa Dea begitu berbinar-binar mendengar pernyataanku.
“Ini ... benar untukku?!” Dea bertanya sekali lagi. Aku mengangguk. “Simpan baik-baik, ya!”
Dea mengucapkan rasa terima kasihnya berkali-kali sebelum kupersilakan keluar dari kamar. Kenapa harus memberikan hadiah? Kalau aku selalu mengeluarkan stick, nantinya Dea bisa mengkhianatiku, menusukku dari belakang. Aku harus menunjukkan padanya kalau aku adalah orang yang pantas baginya untuk setia.
Kini, kutunggu pukul tiga sore dengan sabar. Berkali-kali aku keluar dari kamarku di lantai dua untuk mengintip ke bawah tangga, apakah Theo sudah memasuki rumah atau belum. Namun, hingga pukul empat sore, Theo tidak juga menampakkan batang hidungnya.
Kemana si Tuan Muda itu? Apa jangan-jangan Dea berbohong padaku?
Aku menelusuri halaman di sekitar kediaman Valcke. Aku juga sempat pergi ke area latihan, barangkali Theo langsung menuju ke sana tanpa memasuki rumah terlebih dahulu. Namun, hasilnya nihil. Theo tidak dapat ditemukan di tempat maupun ruangan yang biasa dia kunjungi. Kediaman Valcke ini sangat luas dan membuatku kelelahan untuk dikelilingi dengan kakiku yang masih gadis kecil berumur lima tahun.
Sampai akhirnya, aku bisa menemukan sosok si putra sulung, duduk di bawah pohon rindang di taman. Theo tampak menelungkupkan wajah di antara kedua lutut yang ditekuk. Apakah dia menangis? Rasanya tidak mungkin. Akan tetapi, bisa saja, karena Theo adalah orang yang penuh rasa tanggung jawab besar. Bisa jadi, dia sedang frustasi saat ini.
Aku menghampiri tubuh si Tuan Muda itu. Theo bahkan tidak menyadari aku telah berada di hadapannya, sampai aku memanggilnya keras.
“Kak Theo!”
Tubuh Theo terlonjak karena kaget. Dia menengadah dan mendapati tubuh kecilku berkacak pinggang di hadapannya. Theo menatapku selama tiga detik, lalu membuang pandangan, seperti biasa. Dia tidak membalas apa pun pada panggilanku barusan.
Aku tahu dia tidak akan menanggapiku bila terus begini. Aku memutuskan untuk menarik tangannya.
“Ikut denganku!”
***
...\=\= IG @author_ryby \=\=...
...\=\= Telegram @author_ryby \=\=...
(Ryby: Kalau suka ceritanya, jangan lupa likenya tiap chapter ya gaes. Terima kasih banyak sudah menemani sampai sini. Tak lupa pula, minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir batin 🙏🏽 Selamat Hari Raya Idul Fitri, reader gengs!)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
eva
suka suka suka Kak...
ditunggu selalu kelanjutannya... ☺️
2022-05-04
2
yumin kwan
lanjut....
2022-05-04
0
S_
Banyakin up kak, semangat!
2022-05-03
3