Beberapa minggu kemudian.
“Tch, sial … aku kena lagi … ,” umpatku, begitu menyadari gaunku lengket di bangku taman rumah Valcke. Saat aku mencoba berdiri, dekorasi rendanya jadi robek, tertahan oleh lem yang dioleskan di bangku tersebut.
Dari kejauhan aku mendengar tawa melengking milik seseorang, yakni Cass, si putra kedua. Aku menoleh ke arah sumber suara. Kepala Cass menyembul dari balik pohon, untuk menertawakanku lebih jelas.
“Kena kau! Dasar kucing liar! Bodoh sekali dia, bisa terjebak perangkapku berkali-kali, hahaha!”
Anak kurang ajar. Berani sekali dia, memperlakukan penciptanya seperti ini. Aku menyesal, mengapa dulu setiap kenakalan Cass pada Alissa tidak kutuliskan secara rinci. Aku hanya menulis bahwa Cass adalah putra Duke Valcke yang sangat jahil pada Alissa hingga membuat gadis itu terus menangis.
Karena tidak kutuliskan secara rinci, alhasil aku tidak tahu kapan Cass akan memasang perangkap padaku dan dimana dia akan menjebakku. Sudah beberapa minggu ini, aku selalu berhasil menjadi target kejahilannya, lagi dan lagi.
Aku mencoba menarik dekorasi renda di gaunku yang lengket itu. Percuma saja. Benar-benar tidak bisa kucabut sama sekali. Akan tetapi, aku juga tidak mungkin berada di taman ini selamanya. Secara nekat, kutarik paksa renda tersebut. Apa yang kutakutkan pun terjadi. Suara 'brekk' yang keras terdengar. Gaun bagian belakangku robek hingga paha.
“Hahaha!!” Suara tawa Cass pun semakin kencang terdengar. Benar-benar menjengkelkan. Namun, aku tidak bisa membalasnya seperti apa yang kulakukan pada Dea sebelumnya. Cass adalah putra Duke Valcke. Akan sangat mencurigakan apabila mentalnya kubuat berubah seperti yang dialami Dea saat ini.
Lagipula, keberadaan Duchess Rinia, Theo, dan Cass akan sangat berperan penting bagiku untuk menjalani kehidupan selama di rumah Valcke ini. Aku harus bisa mengambil hati mereka satu per satu.
“Wah, aku senang Kakak Cass mengajakku bermain seperti biasanya. Terima kasih, Kakak!” Aku membalas tawa ejekannya dengan senyuman.
Cass mendelik ketika melihatku malah tersenyum setelah diganggu olehnya. “Aku sedang tidak mengajakmu bermain!”
Aku jadi ingin tertawa rasanya. Cass pasti sebal sekali. Biasalah anak kecil, kalau yang diganggu tidak merasa terganggu, dia malah akan makin emosi.
Cass melangkah ke arahku dengan kedua kaki yang dihentakkan keras-keras. Jelas sekali kalau dia sangat marah atas tingkahku. Begitu tiba di hadapanku, dia mengangkat satu tangan tinggi-tinggi, bersiap untuk memukulku. Akan tetapi, aku sudah berantisipasi dengan hal ini.
Ketika tangan kanannya ingin menjitakku dari samping, aku langsung merunduk. Begitu tangan kiri Cass yang bergerak, aku menghindar ke belakang. Saat dia ingin menendang perutku, aku bergerak ke sisinya. Aku tidak membalas semua serangannya sama sekali, cukup menghindar saja sampai dia kelelahan.
Benar saja, setelah berbagai serangan tidak ada yang kena sama sekali padaku, Cass mulai ngos-ngosan. Anak lelaki itu memandangku tajam, terlihat kalau dia makin kesal. Kubalas dia hanya dengan senyuman, seperti biasa.
Cass adalah target pertamaku. Usianya yang masih tujuh tahun membuatku berpikir dia masih gampang dipengaruhi. Anak ini masih mudah untuk ‘dibentuk’ kepribadiannya. Terlebih lagi, aku tahu benda-benda apa yang menjadi kesukaannya. Aku sudah meminta Dea untuk menyelidiki hal satu ini.
“Kakak,” panggilku pada Cass yang masih kelelahan. Kugamit lengannya dan bergelayut manja, sampai dia mengibaskan lengannya itu karena risi padaku.
“Jangan sentuh-sentuh!” teriak Cass. Akan tetapi, setelah berlatih bela diri bersama Kyu bertahun-tahun, aku tahu caranya mempertahankan posisi supaya tidak oleng ketika Cass mendorongku.
“Kak, coba lihat!” Aku mengeluarkan bungkusan permen cokelat dari dalam saku gaun. “Lihat, aku punya permen! Kemarin aku minta Dea, pelayanku, untuk membelikan permen ini di pasar!”
Kedua mata Cass langsung terbelalak begitu melihat permen tersebut. Sebenarnya itu hanya permen biasa, berisikan cokelat meleleh di dalamnya. Di bumi banyak permen seperti ini. Cass sangat menyukainya. Namun, karena permen ini adalah jajanan pasar, Duchess Rinia tidak membolehkan Cass mengonsumsi permen ini banyak-banyak.
Makanan para anak bangsawan memang dikontrol cukup ketat. Akibatnya, Cass sering diam-diam menitip pelayan yang berbelanja, membelikan permen cokelat ini untuknya. Tentu saja, hal itu juga sering sekali ketahuan oleh sang nyonya rumah.
“Permen ini! Kau punya??” tanya Cass. Matanya begitu berbinar. Sekarang, siapa yang kucing liar di sini? Dipancing pakai makanan saja langsung mendekat!
“Tentu, aku punya banyak! Kak Cass mau?” tanyaku, sengaja memancing.
“Ti … tidak! Tidak perlu! Aku tidak butuh apa pun darimu!” ucapnya tegas.
“Ah, sayang sekali … padahal, aku masih punya banyak. Tapi, aku sudah kenyang … sedangkan aku takut ketahuan Ayah kalau makan permen banyak-banyak.” Wajahku menampilkan kesedihan saat mengatakan hal ini. Tentu saja aku tidak mungkin sedih pada aslinya. Mana mungkin wanita berusia 25 tahun menangis karena permen.
“Apa aku buang saja, ya?” tanyaku sambil menunduk menatap permen di tanganku. Kulirik sekilas wajah Cass. Dia tampak menelan liurnya.
“Se-sebanyak apa yang kamu punya?” tanya Cass. Dia mulai terpancing!
Kukeluarkan sekantung kain dari saku gaunku. Kubuka tali serutnya, sengaja kulakukan di depan Cass agar timbul rasa penasarannya untuk melihat.
“Satu … dua … tiga … .” Kuhitung pelan-pelan isi kantung kain itu, layaknya anak kecil. Makin kuhitung, Cass makin ingin mengambil salah satu permen tersebut.
“Ada sepuluh, Kak! Kakak mau?”
“Mau!! E-eh, maksudku … .” Dia mulai kebingungan harus bersikap apa di depanku. Aku tersenyum dan memberikan sebungkus permen ke tangannya.
“Ini kuberi satu!” Tampang Cass sangat antusias, padahal aku hanya memberi sebungkus. Dengan cepat, Cass membuka bungkus permen tersebut dan memakannya lahap.
“Mau lagi?” tanyaku lagi. Cass mengangguk cepat, seperti lumba-lumba atraksi yang diberi ikan. Kuberi dia sebungkus lagi. Senang sekali rasanya, seperti punya hewan peliharaan baru.
Sekarang, aku punya umpan untuk Cass. Aku tidak tahu akan sampai kapan cara ini bisa berhasil. Makin besar, hobi dan kesukaan anak kecil biasanya makin berubah. Aku harus berjaga-jaga dan terus melakukan riset, apa saja yang disukai oleh para anggota keluarga Valcke.
“Cass, sedang apa kamu!”
Ada suara anak kecil lain, tetapi lebih dewasa dan tegas. Aku menoleh, tampak Theo datang dengan pedang kayu di tangan. Theo si putra sulung menatap tajam ke arah Cass yang ada di taman.
Cass begitu terlonjak, hingga tak sengaja menelan bulat-bulat permen yang belum sempat dia kunyah. “*uhuk!* Kakak!”
“Ayah mencarimu dari tadi! Sudah waktunya latihan pedang, ayo!” seru Theo, lalu menarik tangan Cass.
“Ta-tapi, aku … .“ Cass berusaha bertahan di tempat ini bersamaku. Aku tahu, Cass sebenarnya tidak begitu tertarik pada latihan pedang keluarga Valcke. Sekian minggu aku telah tinggal di rumah ini, aku sering melihatnya bolos dan malah bermain di taman. Akan tetapi, Theo selalu saja bisa menyeretnya kembali ke area latihan.
“Untuk apa kamu di sini? Jangan mangkir dari latihan!”
“Ah, ini … si kucing liar ini … dia … .” Cass menunjuk ke arahku. Theo menatapku dan kubalas dengan senyuman. Sesaat kemudian, dia membuang arah pandangannya.
“Jangan bermain dengan hewan kotor. Ayo!”
Theo kembali menarik tangan Cass, menjauh dari hadapanku. Berbeda dengan Cass, sifat Theo jauh lebih dewasa. Sikapnya selalu dingin. Dia tidak pernah ingin berurusan denganku. Bahkan dia tidak pernah memandangku lebih dari tiga detik. Aku dianggapnya bagai hantu saja di rumah ini.
Menaklukkan Theo itu jauh lebih sulit ketimbang Cass. Aku harus mencari tahu dulu apa kelemahannya. Akan tetapi, si putra sulung itu seperti tidak punya kekurangan sama sekali. Nilai akademisnya di sekolah selalu baik. Begitu pula dengan nilai olahraga dan ilmu berpedangnya. Anak itu juga rajin belajar dan selalu menuruti kata orang tua, terutama ibunya.
Dari mana aku harus mencari tahu kelemahan Theo? Tentunya, dengan mengorek informasi dari hewan peliharaan baruku, Cass. Maka dari itu, penting bagiku untuk bisa mengambil hati Cass terlebih dahulu.
Pada malam hari, sebelum tidur aku sengaja singgah diam-diam ke kamar Cass. Kuketuk pintu kamarnya dan setelah berkali-kali, akhirnya Cass membukakan pintu malas-malasan.
“Mau apa kamu ke kamarku! Eh, itu … mau!” teriak Cass, ketika kuangkat sebungkus permen ke depan matanya. Dia langsung batal mengomeliku.
Aku menempelkan jari telunjuk ke bibir. “Ssttt! Jangan berisik, Kak! Nanti Kak Cass bisa dimarahi kalau memakan cokelat ini malam-malam!”
“Oh, iya, iya!” jawabnya cepat. Namun, ketika Cass ingin menyambar permen itu, aku langsung menghindar.
“Aku punya syarat!”
“Apa?” tanya Cass tidak sabar.
Aku berpikir sejenak, lalu bertanya, “Apa Kak Cass tahu, apa yang disukai oleh Kak Theo?”
“Hmmm, tidak tahu! Kak Theo itu tidak pernah memiliki hal apa pun yang menjadi favoritnya!” jawab Cass sambil menerawang.
Tidak punya kesukaan apa pun? Ah, bisa susah ini! Dengan cara apa aku harus mendekati Theo? Sedangkan aku sendiri pun tidak pernah menuliskan hal-hal rinci tentangnya, kecuali sikapnya yang cuek dan dingin saat dewasa.
“Sudah kujawab, kan? Sekarang berikan permennya!” Cass kembali menyambar permen di tanganku. Lagi-lagi aku menghindar.
“Tunggu dulu! Bagaimana kalau hal yang dibenci Kak Theo, apa ada?”
“Hmmm, tidak juga!” jawab Cass cepat. “Kakak itu orang yang sangat netral pada apa pun! Aku cuma tahu dia benci padamu."
“Hmmm … .” Aku kembali berpikir. Kebencian Theo padaku itu bukanlah hal baru. Apa benar-benar tidak ada cara lain?
"Apa Kak Theo tidak punya hal yang menjadi beban pikirannya akhir-akhir ini?" tanyaku lagi, masih terus berusaha.
“Oh, aku ingat sesuatu!" seru Cass. "Akhir-akhir ini dia tampak murung, sih! Tapi aku tidak tahu kenapa!” sahut Cass lagi.
“Oh, ya? Murung yang bagaimana?
***
...\=\= Follow IG @author_ryby untuk baca karya-karya Ryby yang lain \=\=...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
eva
mantuuullll
2022-05-04
0
yumin kwan
lanjut....
2022-05-02
1
Desilia Chisfia Lina
dasar anak kecil disogok premen langsung nempel
2022-05-01
2