“Baiklah, katakan padaku apa syaratnya. Semua yang kau inginkan akan kuturuti,” sahut Duke Valcke. Wajahnya begitu semringah saat aku memanggilnya dengan sebutan Ayah.
“Aku ingin, Kak Penny juga bersekolah di tempat yang sama denganku. Berikan rekomendasi dan sponsor penuh padanya, atas nama Dukedom Valcke.”
Duke Valcke tampak begitu terkejut ketika mendengar permintaan tersebut. Terlebih lagi keluarga Bibi Edma, terutama Penny sendiri.
“Aku … akan bersekolah di ibukota juga?” tanya Penny ragu. Aku mengangguk.
“Aku ingin Kakak mendapatkan ilmu yang sama denganku. Selama di sekolah, kita bisa selalu bersama!” sahutku. “Permintaanku akan dituruti, kan?”
Aku kembali beralih pada Duke Valcke. Beliau pun mengangguk. “Baiklah, tak masalah.”
“Alissa, kamu tidak perlu melakukan hal itu, Nak,” kata Bibi Edma, akhirnya ikut bersuara.
“Tidak apa-apa, karena aku memang tidak bisa jauh dari kalian, kan? Hehehe!”
“Hmmm, aku tidak menyangka, Alissa bisa tumbuh secerdas ini.” Duke Valcke mengusap kepalaku. “Padahal usianya baru lima tahun, tapi gaya bicaranya sudah seperti orang dewasa saja.”
Eh, apa cara bicaraku masih terbawa-bawa dari usiaku yang 25 tahun? Ini tidak boleh terjadi! Jangan sampai mereka tahu kalau aku adalah orang dewasa yang terperangkap dalam tubuh anak kecil.
“A-aku masih kecil! Aku juga masih suka boneka dan permen!” Aku merajuk. Duke Valcke tertawa melihat tingkahku. Syukurlah, dia tidak menganggap serius tingkah lakuku yang dewasa.
“Baiklah, mari kita bersiap-siap. Alissa, kemasi barang-barangmu, kamu akan ikut perjalanan naik kereta kuda bersamaku selama berhari-hari. Kuharap kamu siap melakukannya,” ucap Duke Valcke, yang mulai sekarang akan kupanggil Ayah.
“Baik, Ayah!”
***
Meskipun Ayah mengatakan bahwa perjalanan akan memakan waktu selama berhari-hari, tetapi pada kenyataannya, kami sampai hanya dalam waktu dua hari saja. Padahal, jarak dari Desa Virindan sampai ke ibukota cukup jauh, setara dari Jakarta ke Surabaya. Akan tetapi, kecepatan kereta kudanya seperti laju mobil modern.
Seseorang dalam rombongan Valcke memiliki hewan mistis berelemen angin yang dapat membantu mempercepat laju lari para kuda melalui tekanan udara dari belakang. Kemudian, ada juga yang memiliki hewan mistis berelemen api, lalu kuda-kuda tersebut dibakar oleh api sucinya yang ternyata memulihkan stamina selama perjalanan dalam jangka waktu lama.
Rombongan yang dibawa Ayah ini memiliki kekuatan hewan mistis yang berbeda-beda dnegan elemen yang bervariasi pula. Melihat para hewan mistis itu, aku jadi merindukan Kyu. Dia pasti kesepian di dunia arwah sana.
“Alissa, kita sudah sampai. Lihatlah, itu rumah barumu.”
Kualihkan pandangan pada arah yang ditunjuk oleh Ayah. Kereta kuda yang kunaiki memasuki gerbang. Perlahan, wujud tempat tinggal Duke Valcke beserta keluarganya mulai terlihat.
Wah … ini yang akan jadi rumahku? Hebat … aku tidak menyangka hasil imajinasiku bisa sampai seperti ini. Keluarga Valcke tinggal di sebuah mansion besar berlantai dua. Pekarangannya begitu luas hingga berlari keliling satu putaran saja akan membuatku kelelahan. Di halaman depan ada taman bunga mawar yang harus dikelelilingi oleh si kereta kuda sebelum kami bisa sampai ke pintu depan rumah.
Hebat, padahal aku menuliskan deskripsi mansion ini hanya berdasarkan pada serial drama kerajaan yang kutonton secara streaming di Netflix. Ternyata, bisa sangat mirip sekali dengan setting lokasi di serial tersebut.
“Apa rumah ini cukup baik untukmu?” tanya Duke Valcke sambil tersenyum. Ini, sih, bukan cukup baik lagi, tapi terlalu besar! Bahkan, ini baru rumah di ibukota. Setiap bangsawan memiliki kastil di salah satu wilayah kekuasaan mereka masing-masing. Kastil seorang duke pasti akan sangat besar sekali dibandingkan para bangsawan lainnya.
Begitu kami keluar dari kabin, para pelayan berderet menyambut kami, dengan seorang butler beridiri paling depan. Mereka semua menundukkan pandangan di hadapan Ayah.
“Selamat datang kembali, Tuan Duke Alfred.” Butler memberikan salam.
Ayah menggendongku begitu aku memijakkan kaki ke tanah. Para pelayan menegakkan tubuh begitu Ayah memberi perintah.
“Ini adalah Alissa, putriku. Aku ingin kalian semua menjaganya dengan sangat baik, ya,” titah sang duke. Kemudian, beliau berpaling padaku.
“Alissa, ini adalah Andy. Dia adalah butler kita. Kamu boleh bertanya atau meminta tolong apa saja padanya.”
“Halo, Paman,” sapaku. Sang butler tersenyum hangat. “Halo, Nona Alissa. Selamat datang di mansion Valcke.”
“Baiklah, sekarang kita masuk ke dalam, ya. Akan kutunjukkan kamarmu,” kata Ayah. Beliau berkata seolah semuanya akan berjalan lancer hari ini. Akan tetapi, aku tahu apa yang akan terjadi, tepat setelah aku memasuki mansion ini.
Benar prediksiku. Begitu aku dan Ayah berada di lobi utama, tiga karakter utama yang akan berperan dalam pengembangan tokoh Alissa Valcke telah berdiri di sana.
Pertama adalah seorang wanita yang umurnya hampir sama seperti Ayah. Rambutnya yang pirang ditata ke atas. Kedua matanya yang berwarna hijau menatapku tajam seolah ingin menusukku. Pakaiannya tentu saja mewah, gaun biru berbahan satin dengan dekorasi renda di bagian pergelangan dan bawah rok. Dia adalah sang nyonya rumah, alias Duchess Valcke, istri Ayah.
Deskripsi tentang rambut yang ditata ke atas dan tatapannya yang tajam itu terinspirasi dari seorang ibu-ibu tetangga di komplek perumahanku. Entah mengapa, hidupnya seperti tidak ada pekerjaan lain, selain menyinyiri aku dan Mas Dion yang bertukar peran dalam mencari nafkah dan mengurus rumah tangga.
Kedua adalah si putra sulung yang bernama Theo. Usianya sepuluh tahun. Dia adalah penerus keluaraga Valcke. Warna rambutnya mengikuti ibunya yaitu pirang, dan warna matanya biru menurun dari Ayah. Calon idola di masa depan, karena kugambarkan ketampanannya telah terlihat sejak dini. Aku bisa saja tertarik padanya, kalau saja aku bukan penulis novel ini. Kalau aku juga sedang tidak ditatap olehnya seperti sekarang ini, tentu saja. Jelas sekali terpancar di matanya kalau dia membenci keberadaanku dalam gendongan Ayah.
Ketiga adalah putra kedua bernama Cass. Kugambarkan, sifatnya lebih kekanakan dibanding Theo. Warna rambutnya sama denganku dan Ayah yaitu cokelat tua, tetapi matanya mengikuti sang ibu yaitu hijau. Di keluarga ini, tidak ada yang bermata cokelat seperti Alissa Valcke.
Tentu saja, karena Alissa adalah putri ilegal. Itu sebabnya mereka bertiga di hadapanku ini menatapku tajam, benar-benar tidak menerima kehadiranku di sini. Cass yang berusia tujuh tahun bahkan menampilkan giginya, seperti ingin menggigitku. Aku jadi teringat seekor kucing kecil yang mendesis marah kalau didekati. Menyamakan wajah Cass dnegan kucing kecil membuatku menahan tawa saat ini.
Ayah menurunkan gendongannya padaku di hadapan mereka. Aku jadi merasa sedang dilepas di kandang singa buas dan kedua anaknya yang kelaparan. Rasanya ingin kabur, kalau saja aku tidak ingat bahwa berkenalan dengan ibu dan kedua anak bangsawan ini penting bagi alur cerita Alissa Valcke.
“Alissa, yang ini namanya Theo, dan ini Cass. Mereka berdua ini adalah kedua kakakmu.” Ayah menunjuk kedua anak lelaki yang namanya sudah kuketahui.
“Salam kenal, namaku Alissa.” Aku tetap berusaha tersenyum manis di hadapan Theo dan Cass. Namun, jangankan membalas ucapan salamku, mereka berdua bahkan membuang mukanya hampir bersamaan.
“Nah, yang ini adalah istriku, Rinia. Mulai sekarang, dia adalah ibumu, ya!” ucap Ayah, yang langsung ditentang oleh si nyonya rumah.
Duchess Rinia memandangku keji dan menepis kasar tanganku yang ingin bersalaman dengannya. Rasanya sakit sekali dipukul pakai ujung pegangan kipas tangan seperti itu.
“Anakku hanya dua, yaitu Theo dan Cass. Seumur-umur, aku tidak akan menerima keberadaan anak haram ini!”
***
...\=\= original writing by Ryby \=\=...
...\=\= ikuti karya Ryby lainnya dengan follow Instagram @author_ryby \=\=...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Wiji NurQoma Riyah
aku mengerti perasaan duccess pasti sulit menerima anak lain suaminya dari wanita lain,kasian duccess
2023-09-22
0
AdindaRa
Aku mampir lagi 😍
2022-05-05
2
S_
lanjut thor, semangat!
2022-04-28
3