Siang hari saat istirahat sekolah, aku duduk di kursi taman yang ada di depan ruang guru. Kedua tanganku menahan kepalaku yang menunduk. Sebuah kesalahan tadi malam kuperbuat, aku tidak seharusnya membuat muridku terlibat. Aku terus memukul-mukul kepalaku.
Seseorang berjalan mendekatiku. Mungkin itu Sophia, aku mengabaikannya karena belum berani melihatnya.
"Anu..." Suara lirih tapi keras.
Aku melihat orang itu, tubuh pendeknya membuatku hanya melihat secara datar tanpa perlu mendangak. Seseorang yang tidak kusangka malah datang dihadapanku.
"Tasya?"
"Apakah terjadi sesuatu?" Tasya menanyaiku sambil mendekatkan mukanya.
"Tidak... tidak ada."
"Kau bohong... Kau kelihatan sangat tertekan."
"Mungkinkah yang kemarin masih sakit?"
Tasya salah paham soal yang kupikirkan.
"Ti-" Aku menghentikan kataku.
Jika aku jujur dan menjawab tidak sakit, maka dia akan menanyaiku lebih panjang, tapi jika aku berbohong dan menjawab iya, maka Tasya akan menegur Erika karena sudah memukulku.
Ini pilihan yang sulit. Sebaiknya aku tidak melibatkan orang lain.
".................Aku sebenarnya-"
Teng Teng Teng
Bel masuk berbunyi. Untunglah aku berhasil mengecohnya dengan memperlambat waktu.
"Sudah masuk, sebaiknya aku pergi ke kelas."
Aku berdiri dan salam pergi dengan memberinya senyum palsu. Ini hal yang tidak terpuji, karena meninggalkan orang yang peduli padaku, membuatku merasa tidak nyaman.
Aneh sekali, biasanya aku tidak peduli pada orang yang kutemui bahkan Kakakku sendiri. Tapi, rasanya sekarang aku tidak mau ditinggalkan sendiri. Perasaan kesal dan sedih bercampur dalam pikiranku.
Istirahat ke dua, aku memakan bekalku sendirian, karena hari ini Samuel sibuk untuk latihan penilaian guru dia absen dan untuk Pak Xander, dia pergi ke ruang kepala sekolah karena dipanggil oleh Bahar untuk membahas sesuatu.
Saat aku baru membuka kresek bekalku, dua orang wanita menghampiriku sambil membawa bekal mereka. Mereka langsung meletakkan bekal mereka di atas mejaku.
"Mau makan bersama?"
Senyum lebar Tasya menambah atmosfir beratku.
Tapi ya sudahlah, aku mengangguk. Ada baiknya kalau aku tidak membebani pikiranku dengan masalah ini.
Kami bertiga makan bersama di mejaku. Mereka berdua membuka bekal mereka. Bekal Tasya berisikan makanan sederhana, hanya nasi dan tempe dikasih sambel lalu bekal Erika...
Mataku terbelalak saat melihatnya.
"Itu hanya sayur?"
"Mau bagaimana lagi... Aku sedang diet."
"Kenapa?"
"Kau tahukan, Pak Rasyid?..... Dia mau cari perhatian seseorang."
Tasya membeberkan rahasia Erika dengan gamblang.
"Oy Tasya jangan berkata yang tidak-tidak!"
Erika memerah saat menegur Tasya. Aku berpura-pura tidak melihat perselisihan mereka. Terlalu wow untuk kulihat, mereka tidak sadar kalau mereka saling menekan...
"Hmmmm."
Pikiranku sedang kacau untuk mengerti apa yang dia maksud.
"Begitu saja." Muka Erika pucat dan kecewa.
"E.....Hehehhe....Itu... Pak Rasyid sebenarnya.....Sedang kesakitan karena kau memukulnya kemarin." Tasya menyimpulkan dengan paksa.
Geh! Seperti biasa dia seenaknya saja. Aku mengalihkan pandanganku ke Erika, tatapannya yang kasihan kepadaku membuatku tambah tidak nyaman.
"Apakah itu benar, Syid?" Dia menundukkan kepalanya dengan perasaan bersalah.
"Hah......Iya..."
Menyerah saja, opsi ini akan kupilih. Aku tidak peduli lagi.
"Maaf..." Erika memalingkan wajahnya.
"Karena sekarang Pak Rasyid sedang kesakitan. Sebaiknya kau mengurusnya, Erika." Tasya mendekatkan mukanya ke Erika sambil menekan-nekan pipi Erika.
Ini masalah menjadi semakin panjang. Aku hanya bisa memegangi keningku, pasrah akan takdirku.
Pulang sekolah seperti biasa, Sophia mengajariku seperti biasa. Tapi aku bisa melihatnya, dia seperti menahan sesuatu. Dia ingin menanyakan hal kemarin, tapi tidak bisa. Mungkin karena akan tidak sopan bila dia menanyakan hal itu.
Saat pelajaran dari Sophia selesai, Aku mau secepatnya meninggalkan kelas ini. Tas kerja kuangkat dan akan berjalan ke arah pintu, sebuah tangan menahan bajuku dari belakang dan menghentikan langkahku.
"Apa yang terjadi kemarin? Kenapa Kakakmu sangat khawatir saat mencarimu?
Aku memutarkan kepalaku ke samping dengan gugup. "Aku kemarin berbohong kalau aku sedang melatihmu."
"Kenapa bisa begitu?!" Sophia memegangi pinggangnya dan menghentak-hentakan kakinya.
Aku terdiam Misiku dari Nova sebaiknya tidak boleh ada yang tahu, apalagi oleh muridku.
Aku melepaskan tangannya yang menahanku dan berbalik menghadapnya. "Maaf, tidak semua bisa kukatan." Aku tidak bisa berkata banyak.
"Tidak! Aku memaksa!"
Bila begini terus malah jadi ruyam. Sophia tidak lebih dari anak-anak yang tidak mengerti kehidupan orang-orang dewasa, meskipun dia pernah mengalami trauma berat itu.
Aku menepuk pundaknya. "Maaf." Sekali lagi aku meminta maaf dengan menundukkan kepalaku.
"Aku ingin tahu! Kau sudah membawaku dalam masalahmu! Jadi biarkan aku tahu!"
Sophia mendorongku sampai jatuh, saat ini Sophia berada di atasku. Posisi ini akan sangat membuat orang salah paham bila mereka melihatnya. Aku mencoba mengeluarkan pageblug-ku.
Crasss!
Pergelangan tanganku ia bekukan, aku serasa diborgol saat ini. "Kau kira bisa lepas?"
Kekuatan tanahku seharusnya bisa menghancurkan es ini. Aku mencoba sedikit sihir, tapi borgol es ini tidak kian hancur, malah semakin besar.
Apakah aku harus menggunakan sihir api? Tapi aku sedang dalam sekolah. Lebih lagi di depan muridku. Aku tidak boleh menunjukkan kekuatanku lebih dari ini. Akan sangat beresiko jika aku mengeluarkannya sekarang.
Tak......Tak.....Tak.....
Suara hentakan sepatu mendekat. Aku lupa kalau Erika akan kesini. Dia tidak boleh melihatku di posisi seperti ini.
Mau tidak mau, aku membakar kedua tanganku dan melelehkan borgol itu. Sophia tiba-tiba terkejut dan melepaskan cengkramannya saat aku mengeluarkan sihir yang tidak kucantumkan di profilku.
Aku sebenarnya menulis kalau aku adalah pengguna elemen tanah dan air di lamaranku. Mustahil bagi manusia biasa punya lebih dari 2 elemen. Banyak yang bilang itu adalah hukum Nova.
Aku langsung berdiri dari posisi memalukan itu. Tepat setelah itu, pintu terbuka. Erika melihati kami berdua dengan tatapan bingung. Aku melambaikan tanganku dengan datar seperti tidak terjadi apa-apa.
Sophia langsung mengambil tasnya dan pergi dari kelas. "Selamat sore pak, bu" Dia bersalaman dengan tergesa-gesa. Dia tutup mulut soal itu.
"Kenapa dia?" Tanya Erika.
"Mungkin tidak enak mengganggu."
Aku menjawab dengan pilihan paling aman. Erika hanya bisa menunduk malu. Kami bagaikan 2 orang bodoh karena mencoba mengobrol tapi tidak bisa. Pada akhirnya kami tidak berkata apa-apa sampai matahari terbenam.
Aku pulang ke rumah dan baring di kasurku. Layar ponsel kutatapi sejak tadi. Pesanku dengan Sophia terus berlanjut.
(Aku tdk tahu apa yg terjadi, tapi kalo yg tad afalah rahasia yg harus bpk sembunyikan-, Kanda Sophia)
(Maka aku akan diam)
(Sepertinya aku mndptkn rahasia penting dari bpk ;D)
(Kita saling berbagi rahasia d:)
Untunglah dia mudah teralihkan. Masalah ini tidak menjadi berlarut-larut.
Aku mematikan layar ponselku dan memijat bagian sela-sela kedua mata. Kantuk mulai menyerangku. Aku harus tetap terjaga. Kakakku belum pulang sama sekali. Dia tidak mengirimiku pesan kalau dia akan telat.
Aku tidak bisa melawan. Aku mulai menutup mata.
Ting!
Aku membuka mataku. Notifikasi ponselku berbunyi. Sebuah pesan tertulis di layar.
"Bahar?"
Sejak kapan dia punya nomorku? Butuh apa dia malam-malam?
(Hoi...hoi...hoi... Selamat malam Pak Rasyid. Apa anda besok kosong? Aku butuh 1 perwakilan dari setiap angkatan kelas. Aku sudah mencoba hubungi Xander, tapi dia bilang sibuk. Aku coba hubungi Erika. Dia bilang "tidak mau berurusan lagi denganku" T-T. Jadi sekarang kau yang paling bisa kuharapkan datang, Saiful Bahar)
Pesan panjang dia tuliskan. Aku sebenarnya besok mau melihat bagaimana Hakam mengurus Stevent. Tapi Xander bilang dia bisa mengatasinya sendiri.
Apa jangan-jangan dia memaksaku tidak datang agar aku yang pergi ke sekolah untuk membantu?
Aku menatapi langit-langit dengan bodoh.
Aku dibodohi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments