Point of View: Rasyid Londerik
Suara tepuk tangan terdengar dari atas podium. Saiful sang kepala sekolah melangkah ke bawah dari podium itu.
Kumis, jenggot, dan Badannya yang besar memberi perasaan menakutkan saat dia datang menghampiriku.
Saat jarakku dengannya sudah dekat, dia memberi salam hangat padaku.
Tanganku kanannya dengan ikhlas diulurkan ke arahku.
"Selamat kau lulus ujian. Aku minta maaf karena meragukan pilihan Wakil Bupati. Kau sangat hebat!"
"Terima kasih banyak Pak Saiful" Tanganku menggapai uluran tangannya.
"Panggil aku Bahar saja. Itu lebih enak didengar" Senyum Pak Bahar terlihat cerah di mukanya.
Tak lama setelah itu, pandangannya dialihkan ke Erika.
"Erika! Mulai sekarang kau benar-benar menjadi pengawasnya...hahaha" Bahar tertawa ganas sambil menepuk-nepuk pundakku.
"Apa?! Bukannya anda bi-" (Erika)
"Itukan tadi, Tapi sekarang lihatlah! Dia benar-benar orang yang cocok bukan? Dia bahkan bisa mengalahkanmu tanpa kesulitan" (Bahar)
Aku hanya bisa tersenyum kecut melihat tingkah mereka berdua. Wajah terkejut akan tak percaya yang dipasang Erika memberi kesan lucu padanya.
"Ya sudah, semuanya akan kuserahkan pada Erika! hahahahaha!" Dengan begitu kepala sekolah aneh itu meninggalkanku dan Erika yang masih menganga tak percaya.
"Ahh dasar pria sialan!" Erika menggenggam tangannya dan ditinjukan kearahkan tempat Pak Bahar pergi.
"Anu.. Sekarang apa?"
"Sekarang pergilah ke kelas 10 Fisik 1! Jika sudah melihat-lihatnya, kembali ke ruang guru!" (Erika)
Dia tidak mempedulikanku dan pergi dengan keadaan marah.
Aku mencoba pergi ke kelas yang dimaksud. Letaknya ada di lantai 2 dekat kantor hanya dipisahkan oleh jalan keluar murid dari parkiran sepeda mereka. Aku mencoba masuk dan melihat-lihat isi kelas. Layaknya kelas biasa hanya ada kursi berdempet dan 2 komputer di setiap meja. Satu meja untuk 2 murid. Papan digital yang sudah menggunakan teknologi layar sentuh tertempel di depan kelas.
Aku keluar dan melihat-lihat sekeliling sekolah. Kelas dibagi menjadi 2. Tingkat sihir dan fisik. Ada 5 kelas fisik dan 4 kelas sihir untuk setiap tahun ajarannya. Di tengah sekolah terdapat 2 lapangan. Lapangan yang pertama ada di depan kelas yang kuajar adalah untuk upacara dan kegiatan formal lainnya dan lapangan kedua berada di barat kelasku digunakan sebagai arena bertanding. Tempatku bertarung dengan Erika tadi. Ke baratnya lagi adalah taman. Tempat murid-murid menghabiskan waktu istirahat mereka. Berada di paling baratnya lagi adalah kantin sekolah. Sekolah ini bentuknya hanya persegi panjang. Aku tidak akan tersesat.
Tidak ada aktivitas lagi, aku mencoba ke ruang guru. Murid-murid sudah mulai berdatangan. Mereka membawa berbagai macam Pageblug. Tapi bisa ku nilai senjata mereka mudah rusak oleh serangan sihir tingkat tinggi. Para murid sepertinya sadar kalau aku adalah orang asing jadi mereka seperti kebingungan saat melihatku berkeluyuran di sekolah ini.
Di depan ruang guru, aku bertemu seorang pria muda yang seakan menunggu sesuatu.
Saat aku mendekatinya, dia menoleh ke arahku dengan senyum yang menjengkelkan.
"Apa kabar Pak Rasyid!" Ujar pria misterius itu.
"Baik"
"Jadi anda ya...(sambil memegang dagunya). Aku harap anda betah." Dia keluar dengan masih memasang senyum itu dan pergi meninggalkan sekolah.
Firasat buruk apa ini? Aku membuka pintu ruang guru. Aku melihat Erika sedang ngerumpi dengan dengan guru wanita lainnya. Aku melihati nama di meja-meja mencari namaku. Mejaku ada di paling depan pojok kiri dari papan digital. Apa yang akan terjadi sekarang. Sambil mengisi waktu luang aku membuka ponselku.
Suara langkah kaki mendekat ke arahku. Salah seorang guru datang menyapaku.
"Apakah anda guru baru juga disini?" Wanita pendek berambut pirang twintail menyapaku.
"Ya, apakah anda juga"
"Tepat sekali! Aku dan kau adalah orang yang terpilih menjadi guru di sini" Sambil menjentikkan jarinya dia terlihat bangga atas pencapaiannya.
"Bukankah itu hebat?! Kita terpilih dari 100 guru yang melamar," Ucapnya dengan energik.
"Ngomong-ngomong aku Tasya. Tidak enak kalau hanya aku yang tahu namamu, Rasyid"
Mukanya mendekati mukaku sambil tersenyum. Aku refleks memundurkan mukaku. Perasaan kesal dengan aneh tiba-tiba muncul dalam diriku.
"Kau tahu namaku?"
"Namamu tertulis di sini(sambil menunjuk mejaku)."
"Maaf aku lupa."
"Hahaha...mukamu datar sekali ya, Pak Rasyid. Semoga kita bisa kerasan mengajar disini!" Tasya meninggalkanku dengan senyum bahagia dan menyapa guru lainnya. Dia kebalikan dariku.
Bel sekolah berbunyi menandakan jam pelajaran dimulai. Saat aku keluar aku melihat Erika menungguku.
"Ingat aku melakukan ini hanya karena tugasku" Sambil menyilangkan tangannya dan mukanya berpaling dariku.
"Tsundere?!'
Aku lupa kalau dia menjadi pengawasku. Tapi biarkanlah, aku pergi ke ruang kelas 10 fisik 1 mendului Erika. Dia pun sontak membuka matanya dan terkejut. Apakah dia sedih?
"Hey! Kau jangan meninggalkan begitu saja!"
"Bukannya kau yang menyuruhku duluan?"
"Haaa?! Hei awas kau ya! akan kubalas nanti"
Aku berjalan tanpa menghiraukannya. Namun Erika tetap mencoba berjalan di sampingku dengan memasang wajah kesal. Perasaan nostalgia yang pernah kuingat membuatku tersenyum.
......................
Aku dan Erika menggerakkan kaki kami berjajar menuju kelas 10 fisik 1.
Gemetar di kakiku tidak dapat kulawan dalam setiap langkahnya, mungkin karena di arena pertarungan daku tidak perlu menjelaskan bagaimana cara mereka meraih kemenangan.
Tapi saat menjadi guru, semua itu harus bisa daku jelaskan di depan umum.
Diriku harus memperlihatkan kepada mereka dengan sebuah kalimat tentang apa yang telah kupelajari selama ini.
......................
Saat kedua langkah kami berhenti di depan pintu, pintu itu seperti telah berubah menjadi pintu menuju neraka.
Bahkan saat menyentuh gagang pintunya saja, sebuah kedinginan yang luar biasa menggetarkan tanganku.
'A-aku belum siap!'
Tapi tak lama setelah itu, sebuah kelembutan kulit dari telapak tangan seseorang mengelus tanganku yang dingin.
Wanita yang tadi memasang wajah cemberut kini telah mengubahnya menjadi layaknya orang yang sedang melihat anaknya tumbuh dewasa.
"Tidak apa-apa jangan khawatir. Bila anda kesulitan menjelaskan, maka aku akan membantumu"
Dinginnya api gagang pintu neraka seakan lenyap begitu saja setelah melihat senyuman itu. Kini gemuruh di tanganku telah tenang dan digantikan oleh keoptimisan.
Pintu neraka itu telah kembali berubah menjadi pintu biasa, ketakutanku pun juga lenyap bersama dengan neraka itu.
Sebuah gaya dorong kuberikan pada pintu itu dan melangkah masuk sambil memberi tatapan hangat yang palsu kepada mereka semua.
"Selamat pagi anak-anak. Bagaimana kabar kalian?!" Sambil basa-basi aku menatapi murid-muridku.
'Aku kehilangan percakapanku!'
Tatapanku yang membeku seakan memberi isyarat pada Erika untuk dengan segera membantuku.
"Anak-anak, ini adalah Pak Rasyid. Guru baru yang akan menggantikan Pak Fajri. Soal kemampuannya jangan dipertanyakan lagi"
"Tapi dia tidak terlihat seperti seorang profesional. Apakah mungkin... Dia masuk lewat orang dalam?!" Seorang murid berkacamata memamerkan giginya kepadaku dan menatapku dengan rendah.
'Dia tepat sekali kalau ngomong!'
"Hahahahha"
Seisi kelas mulai mengikuti tawa laki-laki itu yang terdengar merendahkan.
Perasaan canggung semakin mengisi kekhawatiranku.
Dan kecanggungan itu malah membuatku terkunci pada salah satu siswi yang tidak ikut tertawa dengan mereka.
Mataku seakan digembok oleh keadaan gadis itu.
Siswi itu... Terlihat habis di- lupakan saja!
Dibantu Erika, aku mencoba berbicara di depan kelas dengan kondisi tubuhku yang bergetar-getar ini.
Perasaan berat masih terasa saat ingin menunjukkan setiap gerakan pertarungan kepada mereka dengan sebuah ucapan.
Dan tidak jarang pula, terkadang aku lupa nama-nama tingkatan sihir.
Sampai bel terakhir kelas, otot-otot di dalam tubuhku masih belum mengendur karena bekas mengajar tadi.
'Perasaan gugup selalu menghantuiku!'
"Bagaimana pengalaman pertama mengajar di sekolah ini, Pak Rasyid?!"
"Kacau... Aku masih tidak bisa rileks saat menjelaskan pelajaran"
"Hahaha... Aku melihat tanganmu bergetar sepanjang pelajaran"
"Benarkah?"
Saat di tengah-tengah pembicaraan, seorang siswi berambut hijau pendek mendatangi kami berdua. Erika yang sadar kedatangannya dengan segera langsung menghentikan obrolan.
Aku menengok ke arah yang sama seperti Erika lihat.
'Dilihat dari senjatanya, dia adalah pengguna dual knife.'
"Ada apa Moka? Kau terlihat gelisah"
"Itu... Apakah ini yang terbaik?" Mendengar kata-kata itu, wajah Erika menjadi serius. "Ya, ini yang terbaik!".
Ada masalah apa? Apa yang telah terjadi pada kelas ini saat aku belum mengajar disini?
"Kalau begitu, saya pamit!" Wajah Moka terlihat murung saat meninggalkan kami berdua.
Tatapanku langsung mengarah ke Erika. "Apa yang terjadi?"
"Ada sesuatu yang terjadi pada kelas ini! Aku harus tahu itu!" Tambahku dengan mengintimidasinya.
Erika menghela nafasnya setelah mendengar intimidasiku.
Seakan jenuh, dia memutarkan badannya dariku dan menatap ke arah tempat Moka keluar.
Meja yang kugunakan untuk menyantaikan tanganku kini malah disendeni oleh punggungnya.
"Dulu saat sebelum kau mengajar ada guru yang melakukan pelecehan seksual terhadap kelas ini. Moka yang pertama kali mengetahui kejadian melapor ke aku dan Pak Bahar. Seketika kami berdua mencoba mencari bukti tersebut. Saat kami mencoba memperluas kejadian Moka menghentikan kami. Dia tidak mau masalah ini menyebar. Korban dari kasus itu masih trauma dan mungkin akan mengakhiri hidupnya. Sayangnya kami tidak bisa mendapatkan bukti dari peristiwa itu. Yang bisa kami lakukan adalah melakukan PHK terhadap guru tersebut dengan alasan perekrutan guru baru. Moka tidak memberitahu kami siapa korban tapi tanpa itu kita tahu siapa korbannya. Dan kau pasti juga langsung tahukan?" Muka siswi yang bengong saat perkenalan tadi adalah hal yang terpikirkan dariku.
"Pantas saja, Pak Fajri kulihat sangat senang saat dia keluar sekolah"
"Kau bertemu dengannya!" Erika langsung kaget mendengarnya.
"Kapan?! dimana?!" Erika langsung menarik bahuku dengan kedua tangannya. Muka melototnya memaksaku menjawab
"Tadi pagi sebelum aku masuk ruang guru"
Erika melepaskan bahuku dan mundur seakan tidak percaya. Kedua tangannya memegang kepala. "Aku terlambat...."
"Apa yang terjadi"
"Kita harus mencari Sophia!"
Erika yang masih syok langsung meneriakiku. "Cari di setiap atap atau lorong!" Erika langsung pergi dengan cepat.
Aku yang mendengarnya teriakan dari wanita yang menjauh itu, terpaksa juga ikut mencarinya.
Aku bingung... Bukankah kematian adalah hal yang tidak lumrah saat ini?
Sophia nama orang yang tak kukenal. Tapi berdasarkan cerita Erika, Sophia pasti siswi yang tadi.
Aku berlari sambil memikirkan dimana spot terbaik untuk bunuh diri. 'Atap? Jalan yang ramai? Dengan Pageblug?' Semua kemungkinan cara orang bunuh diri ada dipikiranku.
Untuk seorang pendiam dan hidupnya yang sudah hancur dia pasti lebih memilih sendirian. Tapi jika aku menyatukan semua hal yang terjadi hanya ada satu hal.
Aku akan menuju tempat itu.
Lorong pinggir sekolah. Seorang siswi berambut hitam sedang menodongkan kipas yang diselimuti kekuatan es. Di lain sisi terdapat seorang pria muda memasukkan tangannya di saku. Dia tidak melihat siswi itu bagaikan sebuah ancaman.
"Aku hanya punya satu tujuan sekarang" Dengan mata yang kosong siswi itu membuka lipatan kipasnya.
Dia siap melakukan apapun bahkan nyawanya hanya untuk melenyapkan pria di depannya.
Siswi itu melempar kipasnya yang diselimuti es. Ketika kipasnya mendekati pria itu, benda tersebut seketika meledak dan membekukan area sekitar.
Orang biasa pasti akan langsung terkena frostbite dan mati bila mengenai itu. Namun pria itu hanya tertawa dan melihat betapa lemahnya sihir siswi itu.
Dia mencoba mengeluarkan sihir yang sama seperti yang siswi itu keluarkan, dan melepaskannya di dekat siswi itu.
Kipas yang baru saja kembali langsung ditangkap dan dikepaskan bersamaan dengan sihir angin ke arah serangan pria itu.
Tidak seperti Sophia, Fajri memiliki energi lebih banyak.
Dia masih bisa mengeluarkan kekuatannya beberapa kali lagi.
Sayangnya, di tengah jalannya pertarungan. Sophia mulai mengatur nafasnya yang mulai sesak karena kehabisan energi.
Kipas yang ia pegang kini hanya menjadi satu-satunya yang ia bisa andalkan.
Pria brengsek itu terpaku dan mulai menatapi siswi itu, sampai akhirnya, tersadar kalau lawannya telah kehabisan energinya.
Siswi itu tidak mau lawannya melihat kesempatan itu. Dia seketika lari secepat mungkin dan menebas leher Fajri.
Fajri mencoba bermain defend dengan mengeluarkan barrier es namun Sophia menghindarinya dengan mudah karena itu adalah serangan dasar.
"Matilah kau bangsat!"
Dengan jarak selebar meja, Sophia menebas pria itu dengan kipasnya.
CKRASS
Namun suatu kejadian mengejutkan terjadi, kipas yang ia pakai untuk membelah semangka itu malah terhalang oleh tangan yang berubah menjadi es.
Sophia yang terkejut langsung memberi celah pada musuhnya dan membiarkan dirinya tertinju oleh tinjuan yang sangat keras sampai membuatnya terhempas.
BRAKK!
Tubuh siswi itu menghantam keras tembok di lorong itu, seketika Sophia yang mencium semen langsung pingsan dibuatnya.
"Sampai sini saja, Sophia sayang!" Fajri berjalan mendekat dan membopong tubuh ringan siswi itu.
"Kau selalu enteng seperti biasa, Sophia. Dengan begini kenikmatan tanpa akhir akan menjemputmu" Senyum mesum pria itu seakan merasakan kenikmatan tubuh Sophia tiada tara.
Tidak lama kemudian, suara kobaran api dari firebolt yang dilemparkan ke arahnya terdengar olehnya.
Dengan cekatan, dia memiringkan badannya dan membiarkan firebolt tersebut melesat melewatinya.
"Kalau mau main-main cari saja orang la-"(Tertusuk)
Orang yang sudah mengalami kemenangan akan kehilangan kewaspadaanya. Begitulah aku membaca Fajri yang daritadi bertarung dengan Sophia.
Aku langsung melompat ke dinding dan berlari di atas semen itu untuk melakukan charge attack.
SLURP!
Tubuh Fajri seketika tertembus oleh sebuah pedang.
'Aku tidak boleh membunuhnya! Aku adalah guru sekarang!'
Membuat muridku melihat ini akan tidak baik bagiku.
Tubuh Fajri langsung tumbang dengan Rusted Sword yang masih tertancap di tubuhnya.
Di saat yang sama, tubub Sophia terjatuh dari cengrakaman orang itu.
Dengan lihai, aku menangkap tubuh Sophia yang ringan dan menyendenkan ke semen yang ada di dekatnya.
Suara gema orang-orang menandakan senja. Aku mencoba menelpon Erika. Erika yang terkejut langsung jalan ke lokasi.
Aku melihat ke arah tubuh Fajri yang tergeletak. Wajahnya mengingatkanku pada seseorang. Wajah yang kubenci namun tidak mungkin kutemui lagi.
Sambil menatapi mereka berdua aku menunggu kedatangan Erika.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments
R AN L
cerita nya menarik, cuma mau tanya walaupun agak aneh, apakah setiap cewek di novel ini perawan semua kerna luka fisik bisa di sembuhkan
2024-01-11
0
Kaisar Tampan
Salam kenal kak.
bantu dukung juga karyaku.
Simpanan Brondong tampan
terima kasih
2022-07-08
1