Sebuah tabrakan tidak sengaja antara dua teman yang sudah tidak saling berbicara itu terjadi. Mereka tidak berkata apa-apa. Mereka hanya tertunduk sambil memandangi lantai tanpa berani menatap satu sama lain.
Bila begini terus, situasi tidak akan pernah mereda. Hal yang sama seperti yang pernah kualami akan terjadi pada mereka. Mereka akan terus bersikap seperti orang asing sampai akhir hayat mereka.
Sophia mencoba berkontak wajah dengan Moka beberapa kali, namun rasa canggungnga menahannya beberapa kali itu juga. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu pada Moka.
Aku harus melakukan sesuatu.
Sophia mencoba berdiri namun aku menahannya agar Moka tidak kabur(Posisi mereka; Sophia menindihi tubuh Moka).
"Moka... Boleh aku dengar ceritamu? Jika kau tidak mau aku mendengarnya, setidaknya biarkan Sophia tahu."
Ini bukan masalah soal tahu masa lalu seseorang, namun lebih ke masalah mental seseorang. Menurutku Moka tidak pernah memiliki teman yang bisa diajak curhat soal masalah hidupnya. Terlebih dia adalah seorang ketua kelas yang disegani. Memiliki masalah yang seperti itu bukanlah Moka banget buatku.
"Lalu, saat kalian berdua tahu, apakah kalian akan menyebarkannya ke semua lalu mengolok-ngolokku?" Suaranya penuh ringisan sedih.
"Tentu saja tidak!" Ucapan Sophia berasal dari hati, namun diterima dengan sangat sampah.
Ucapannya tadi tidak akan efektif sama sekali untuk orang yang sudah kehilangan kepercayaannya pada temannya.
"Daripada menyebarkan, aku malah sering lupa dengan masalah manusia."
Mereka berdua terkejut pelan.
"Pak Rasyid, apa yang baru saja anda katakan?!"
"Lalu apa tujuanmu membuatku bercerita?!"
Mereka berdua mencemoohku di saat yang bersamaan.
Aku menoleh ke arah Moka dengan menatapnya secara tajam. "Bercerita soal masalah hidup bisa meringankan bebanmu. Meskipun aku tidak mengingatnya, namun aku yakin kau pasti akan sedikit baikan."
Moka menatap langit-langit dengan kosong sambil memikirkan permintaanku. Dia mengangguk beberapa kali dengan pelan lalu melempar tubuh Sophia dan berdiri ke sebuah bangku di dekat kami.
"Ouch!" (Sophia)
"Tidak masalah buatku, kalian berdua berhak tahu."
***
Seorang anak perempuan berusia 4 tahun ditinggal mati oleh kedua orang tuanya. Anak itu bernama Monika Mahama atau yang sekarang dipanggil Moka. Anak perempuan itu menangis berhari-hari sampai ada seorang saudara dari ayahnya datang menemuinya. Dia datang untuk mengadopsi anak malang itu.
Moka yang masih trauma akan kejadian itu takut menemui siapapun. Dia tidak berani bertemu dengan pamannya yang siap mengadopsinya. Itu semua terus berlanjut sampa seorang anak dari pria itu membujuk Moka.
"Salam kenal, aku Farhan. Siapa namamu?" Anak berumur 10 tahun itu tersenyum lebar sambil mengulurkan tangannya ke Moka.
Moka merasa aneh. Dia yang biasanya merasa takut pada orang lain malah merasakan kehangatan dari uluran tangan anak itu.
"Moka." Moka menjawab sambil memalingkan wajahnya namun dia menggapai tangan Farhan dengan penuh banyak harapan. Sebuah janji adik-kakak terbuat.
Farhan adalah kakak yang baik. Selama Moka masih hidup dengan orang tua Farhan. Farhan selalu melindungi Moka dari segala gangguan bahkan adiknya Fajri sekalipun.
Dia yang sudah nyaman bersama kakaknya bahkan merasa dia mulai punya rasa dengannya. Moka mulai mencintai Farhan bukan sebagai kakak melainkan seorang pria. Perasaan itu mulai tumbuh semakin besar dan besar.
Tahun 2046, Farhan tiba-tiba menghilang. Keluarganya yang panik mulai melapor kemana-mana.
Moka yang saat itu menginjak umur 12 tahun kembali mengalami trauma berat. Dia kembali kehilangan orang yang dia cintai, orang yang sangat penting baginya.
Jejak-jejak lokasi dimana Farhan berada mulai ditemukan dan polisi siap mencari ke tempat dimana anak itu benar-benar berada.
Tapi, tiba-tiba~
Fenomena Musim Panas Api terjadi. Pencarian Farhan seketika dihentikan. Dengan mengetahui bahwa Farhan adalah orang yang tidak memiliki Anitya, polisi hanya bisa menyimpulkan satu hal. Farhan telah tiada karena insiden itu.
Kedua orang tua mereka yang mendengar itu langsung memeluk Moka dan Fajri secara erat-erat. Mereka(orang tua) bersumpah akan melindungi kedua anaknya yang tersisa apapun yang terjadi.
Tahun 2051, Fajri dan Moka sudah mulai tumbuh dewasa. Fajri yang saat ini menjadi guru di Sekolah Petarung Podoagung sangat tertarik pada seorang muridnya.
Sepulang sekolah Fajri meminta Moka untuk tinggal sebentar. Dia mengatakan bahwa dia menginginkan sesuatu darinya. Fajri menginginkan murid itu.
"Moka bisakah kau mengenalkan dia padaku?" Moka yang mendengar itu hanya bisa mengangguk.
Fajri kini tumbuh sebagai orang yang dewasa pasti cepat atau lambat bakal merasakan hal seperti ini(perasaan cinta).
Namun, selain rasa itu, rasa negatif dalam dirinya juga mulai tumbuh. Dia menjadi orang yang pemaksa. Dia juga sangat membenci orang-orang berdasi karena dia mengkambing hitamkan mereka(orang-orang berdasi) atas kematian kakaknya.
Moka berkali-kali memperkenalkan temannya (Sophia) ke Fajri. Namun siswi itu lama kelamaan risih dan mulai menolak ajakan bila bertemu Fajri.
Fajri yang mengetahui itu langsung datang ke Moka.
TPARRR!
Suara tamparan keras melayang ke pipi mulus Moka.
"Kenapa dia tidak mau?"
"Itu artinya kau pengecut! Dia sudah menolakmu!" Fajri yang mendengar kata-kata Moka langsung emosi dan menarik kerah adik angkatnya dan mengangkatnya ke atas. Moka kini tidak menginjak lantai lagi.
"Apa kau lupa?! Siapa yang menolongmu saat kau kecil? Apa kau lupa?! Siapa yang mencuri kakakku dariku?!" Fajri mencoba mengingatkannya apa yang telah Moka perbuat.
"Khhhhh!" Kondisinya saat ini tidak memungkinkannya untuk berbicara. Dia sadar kenapa Fajri sangat marah sekarang tapi kali ini urusannya sangat berbeda.
"Gyahh!" Fajri melempar tubuh Moka dengan kasar. "Baiklah! Aku akan melakukannya sendiri!" Fajri pergi meninggalkan Moka yang masih mengatur nafasnya di kelas.
*Duar!
Hujan yang disertai petir seketika turun menandakan adanya nasib buruk.
Beberapa hari kemudian...
Moka tidak berani menatap wajah temannya, Sophia. Wajah Sophia sangatlah kosong. Moka tidak perlu bertanya apa yang terjadi padanya. Dia tahu apa jawabannya.
Moka diam-diam melaporkan kejadian ini ke Ibu Erika. Erika mencoba banyak cara untuk mencari bukti kebersalahan Pak Fajri namun selalu gagal. Dia juga sudah bilang ke kepala sekolah. Bahar memberi intruksi untuk menggelar operasi besar. Moka yang mendengar itu merasa senang. Namun sebuah suara memori terdengar di ingatannya, 'Siapa yang mencuri kakakku dariku?!', Moka langsung merintih kesakitan. Dia langsung menolak gagasan itu. Diri Moka sekarang menjadi seperti punya 2 kepribadian. Antara dia mau temannya selamat atau kakakknya selamat.
Erika dan Bahar sudah kehabisan ide. Mereka akhirnya hanya bisa mengadakan seleksi ulang guru. Pak Fajri dan satu tumbal dari guru kelas 1 fisik 3 digunakan untuk hal itu. Ada perasaan bersalah pada guru itu. Dia tidak terlibat namun dikeluarkan tanpa alasan yang jelas.
Beberapa minggu kemudian...
Seorang guru baru menempati kelas Moka. Harapan Moka terhadap guru itu sangatlah kecil. Dia juga dengar kalau guru itu hasil orang dalam. Tapi itu tidak apa buatnya, yang terpenting bagi Moka adalah Sophia aman tanpa memerlukan keluarganya tersiksa.
Malam itu, tepat di hari pertama guru itu mengajar. Dia mendapat pesan dari Sophia.
[Keparat itu mampus. Tapi sayang sekali, guru itu tidak menghabisinya] Pesan dikirim 37 menit yang lalu.
Moka awalnya lega saat tahu kalau guru itu benar-benar memberi pelajaran berharga pada kakaknya. Tidak ada rasa curiga kalau orang itu mati. Teknologi Anitya benar-benar membuatnya berpikir seperti itu. Dia langsung mengirim pesan ke nomor guru itu yang dia dapat dari Erika untuk jaga-jaga.
Tetapi~.
Semua kebahagiaanya sirna setelah kedua orang tua angkatnya tidak bisa menelpon Fajri. Pesan baru saja dia kirim tapi Moka malah bermandikan keringat dingin. Mereka berdua mencoba menghubungi kepala sekolah. Namun jawabannya sangat tidak membantu.
Moka hanya bisa melihat kedua orang tua angkatnya yang menggila karena itu. Dia menutup kunci kamarnya rapat-rapat. Firasat buruk sudah ada di dekatnya. Moka tahu bagaimana ekspresi ibu angkatnya saat Farhan mati.
Keesokannya. Moka bersiap sarapan. Sebuah makanan porsi besar disiapkan di atas piring untuknya oleh ibunya.
"Kenapa sebanyak ini?!" Moka yang kaget dengan porsi itu melihat wajah ibu angkatnya. Ibunya menatapnya dengan tatapan kosong terpapar di wajahnya
"Tadi Fajri bilang dia buru-buru berangkat ke sekolah. Ada urusan rapat katanya. Jadi sisanya kuberikan kamu semua..." Ibunya mengatakannya dengan kalimat lembut.
Orang bodohpun tahu kalau dia sudah gila.
Moka yang mendengar itu langsung pergi ke sekolah tanpa sarapan. Dia ingin menangis, menangis sangat kencang. Namun dia tidak punya pelukan lagi. Dia hanya bisa menyalahkan seseorang.
Di kelas, Moka minta bantuan Sophia untuk mendengarkan penjelasan dari Pak Rasyid. Dia sangat ingin menghancurkan orang itu. Namun Keadaan yang Moka inginkan malah berbalik ke dirinya. Sebuah kenyataan yang tidak bisa dia jawab. Sophia hanya bisa menahan air matanya yang tidak percaya. Teman yang dia percaya adalah dalangnya.
Moka meninggalkan sekolah dan mencoba tidak berbicara pada siapapun. Di sekolah dia hanya terdiam. Saat latihan tanding polanya berantakan. Pertemanannya dengan Sophia sudah rusak sangat parah.
Cerita berakhir sampai sini.
***
Sore hari, aku, Sophia, dan Moka duduk di depan teras kelas sambil melihati siswa yang latihan tarung. Mungkin ini adalah pemandangan yang biasa Stevent lihat. Tapi bedanya aku bersama orang lain (teman?).
Aku mengalihkan pandanganku saat dia menceritakan masa lalunya. Terutama saat dia menceritakan kasih sayang kakaknya, Farhan, sampai-sampai dia mencintainya.
Di sisi lain, Sophia hanya bisa menundukkan kepalanya selama Moka bercerita. Dia tidak tahu harus bagaimana menanggapi cerita itu.
"Maafkan aku?!" kata terakhir Moka setelah bercerita.
Sophia langsung menatap Moka seperti orang terkejut setelah mendengar kalimat maaf itu.
"Kenapa kau yang meminta maaf? Bukannya kau korban di sini?!" Sophia mengeluarkan air mata. "Bila saja aku tidak meninggalkanmu saat aku mengetahui kau berpihak ke Fajri. Mungkin kau tidak akan menderita seperti saat ini" Dia menaruh kedua tangannya ke bahu Moka.
"Sophia kenapa kau?" Moka menahan air matanya.
"Ini salahku... Aku tidak mempercayaimu kalau kau sangat berutang budi pada keluarganya" Sophia mengeluarkan air mata sambil menundukkan kepalanya.
Sophia memeluk Moka dan menangis. Moka tidak bisa menjawab tangisan Sophia. Dia hanya bisa menahan erat pelukan Sophia.
"Aku hanya ingin mengulang dari awal..." Sebuah kalimat dikatakan oleh Moka dengan pelan dan penuh harap.
Sophia mengangguk dalam pelukannya itu sebagai jawaban terimanya. Sebuah retakan persahabatan kembali tertata namun tidak bisa kembali seperti sedia kala. Ini lebih baik, daripada pertemanan yang hancur lebur.
Hal seperti ini akan sangat memalukan bila dilihat oleh orang ketiga. Beruntungnya aku sudah meninggalkan mereka berdua. Akan sangat memalukan bila aku melihat dua siswi berpelukan dan menangis. Malah aku bisa kena salah paham.
"Dia pergi?" Sophia mengecek keberadaanku.
"Dia sudah tidak ada sejak kau menangis."
"Untunglah dia tidak melihatku menangis" Sophia hanya bisa menahan malu sambil mengelap air matanya.
"Terkadang aku tidak tahu dia itu misterius atau hanya pemalu(tersenyum)." Moka tersenyum ke bekas tempatku duduk.
Namun rautnya seketika murung kembali. Dia memiliki satu ketakutan yang masih mengintainya. Ketakutan itu berasal dari bagaimana tahunya dia kalau guru itu dapat menghabisi nyawa seseorang.
***
Aku meninggalkan mereka dan pergi ke ruang guru. Di sana aku membuka ponsel untuk mengecek rumah-rumah yang dijual di dekat pasar.
Dengan kuasaku sebagai guru aku bisa mengetahui semua alamat rumah muridku. Aku mencoba melihat rumahnya menggunakan Gonggle Maps. 'Rumah kecil sederhana'. Maka aku harus belikan yang sekiranya seperti itu. Tidak lebih tidak kurang.
Sebuah rumah sederhana aku temukan di sana. Tempatnya higienis, tidak kebesaran dan kekecilan untuk hidup untuk 2 orang. Tempatnya juga dengan pasar.
"Kenapa kau melihat-lihat rumah?" Xander mengintip isi ponselku. Aku reflek menutup layar.
"Hmmm(menatal dengan datar)... Bukannya tidak baik mengintip privasi orang?"
"Privasimu terlalu terbuka bodoh. Lagipula aku bukan ingin membicarakan soal privasi. Namun(temponya mulai serius)... Hanya saja... Tidak baik bila kau memanjakan murid-muridmu." Dia duduk di kursinya.
"Anggap ini sebagai santunan." Aku mengelaknya.
"Kalau santunan maka aku akan ikut." Xander mengeluarkan kartu kreditnya dan tersenyum memamerkan gigi putihnya. Tidak perlu ditanya berapa isinya. Dia seorang pangeran sama seperti Stevent.
"Apa itu tidak apa-apa?"
"Tenanglah.... Aku sebenarnya butuh sesuatu dari anak itu"
"Kau tahu?"
"Tentu saja, anak itu tinggal bersama adiknya dan bekerja sendirian mencukupi hidupnya dan adiknya."
"Apa rencamu?"
Perasaan curiga muncul dalam diriku.
"Dia butuh kerjakaan, bukan santunan."
"Mungkin..."
"Beri dia ini." Sebuah sobekan koran berisikan lowongan kerja di keraton. Sebagai pembantu part-time pangeran Stevent.
"Aku sedih karena adikku tidak punya teman di sekolah. Mungkin saja, jika aku membawa satu temannya di kelas, dia akan berteman dengan baik."
"Apa kau yakin? Kau tahukan bagaimana sifat Pangeran Stevent?"
"Aku yakin itu. Stevent hanya pemalu."
"Terkadang kita tidak tahu apa-apa."
"Itu bagimu..... yang penting kau coba bujuk Anak Itu dulu."
"Hmmm(aku mengangguk)!"
Memberi Hakam sebuah tempat tinggal baru tanpa tempat kerja yang baru akan menyulitkannya. Memberi kerjaan lebih baik daripada memberi santunan. Itu yang ingin disampaikan oleh Xander.
Sebaiknya akan kutanyakan Hakam saja besok.
Aku sedikit belajar dari orang ini. Terima kasih banyak, Xander.
Ngomong-ngomong, apakah orang-orang di sini punya telepathy? Kenapa mereka bisa tahu masalah apa yang sedang kuhadapi sekarang?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments