"Manusia adalah makhluk yang lemah. Mereka sangatlah rapuh."
"Kapan saja, dan dimana saja, mereka bisa mati."
"Cukup dengan hanya goresan kecil saja di bagian vital, maka sebuah nyawa bisa melayang."
"Oleh karena itu, mereka menciptakan sebuah teknologi. Teknologi yang bisa mematahkan semua logika bodoh itu. Teknologi yang dapat melindungi nyawa dari segala goresan fatal, bahkan sampai seratus goresan sekalipun."
"Teknologi itu disebut Anitya."
"Bagaimana hal sehebat itu bisa tercapai? Itu semua dimulai sekitar 10 tahun yang lalu atau kurang."
Seorang wanita berumur kepala empat menatapi tabung-tabung kaca yang berisi manusia uji coba. Mereka dimasukkan tabung untuk diuji seberapa kuat mereka tahan dari segala rasa sakit dan goresan dengan bantuan Anitya. Lebih jelasnya, mereka adalah kelinci percobaan untuk Anitya.
Hasilnya, 80% dari mereka selamat, sisanya mati.
Meskipun begitu, itu masih belum berakhir. Para kelinci percobaan masih harus menghadapi beberapa percobaan lain untuk benar-benar dinyatakan lulus.
Percobaan itu dilakukan terus-menerus sampai hanya tersisa 30% kelinci percobaan yang selamat dari awal test.
Mereka yang selamat hanya bisa menatap kosong lantai yang penuh dengan warna merah karena dibasahi tubuh rekan-rekan mereka yang tidak selamat. Mereka hanya bisa berlutut lemah pada takdir dan berterima kasih pada Tuhan karena masih diberikan selamat.
Mulai dari fisik sampaj kejiwaan mereka telah dipertaruhkan di percobaan ini.
Sementara itu, di balik kaca yang hanya bisa dilihat dari luar. Wanita itu berdiri tanpa berkedip dan merasakan semua penderitaan dari kematian orang-orang yang menjadi kelinci percobaan itu.
Tanpa perlu menutup mata, wanita itu sudah siap untuk menerima balasan atas apa yang dia lakukan. Selagi umat manusia belum bisa berevolusi. Dia tidak akan berhenti.
......................
Di kelas, aku berjalan mondar-mandir di depan sambil membacakan sejarah awal terbentuknya mahakarya Anitya kepada para murid.
"Jadi begitulah bagaimana teknologi Anitya yang kita pakai saat ini bisa melindungi kita."
"Ada perlu banyak pengorbanan hanya untuk benda sekecil ini," ucapku sambil memperlihatkan tabung kecil yang berisi Anitya yang belum diinfus kedalam tubuh manusia kepada mereka.
Tabung ini berisi cairan yang merupakan cikal bakal keabadian manusia. Cairan ini juga sudah tertanam hampir di seluruh umat manusia.
Ting-Tong
Bel berbunyi menandakan pelajaran berakhir.
Aku mengakhiri kelas dan menyuruh ketua kelas untuk menyiapkan kelas.
"Moka..."
"Hmm(mengangguk), sebelum kita pulang ke rumah masing-masing, marilah kita berdoa kepada Tuhan yang Maha Esa agar diberikan keselamatan di perjalanan pulang, berdoa menurut kepercayaan masing-masing, mulai!" (Moka)
.....
...
..
"Berdoa selesai!" (Moka)
Para murid satu-persatu mulai meninggalkan kelas sambil bersalaman denganku.
Sampai pada akhirnya, tanpa disadari di kelas hanya tersisa aku, Moka, dan Sophia.
Aku sedikit memiringkan kepalaku.
Namun, dari cara mereka memandangku dengan tatapan dingin itu. Aku tahu target mereka adalah aku.
Apa yang mereka coba tanyakan?
Ah, masalah lagi. Aku merasakan kalau aku akan pulang telat karena ini.
Nafasku mulai kuatur untuk bersiap menghadapi masalah ini.
"Pak Rasyid bisa bicara sebentar?" Pembicaraan ini pasti ada hubungannya dengan Sophia.
Sophia menutup pintu kelas dan semua lampu di meja dimatikan. Papan yang tadi berisi dengan wajah seorang wanita yang berubah menjadi nenek-nenek kini juga telah menjadi hitam.
Keheningan kelas terasa mengerikan, suara di dalam tidak akan terdengar ke luar. Sebaliknya, suara sekecil apapun di tempat ini akan terdengar jelas dari luar.
"Apakah benar anda membiarkan Pak Fajri kabur begitu saja?" Moka menatap tajam ke arahku sambil menyilangkan tangannya.
"Ya" Aku menganggukkan dengan santai.
"Itu bohongkan?" Matanya membelalak lebar. "Keluarga Pak Fajri adalah keluargaku juga, dan kini statusnya hilang!"
Aura membunuhnya terasa kental di dalam tubuhnya. Dia sangat kesal bahkan mungkin ingin menghabisiku.
Sophia terkejut setelah mendengar penjelasan Moka. Kelihatannya Sophia tidak tahu apa yang ingin dibicarakan Moka, dan dia melakukan ini karena dipaksa olehnya.
Moka berencana menggunakan Sophia untuk menarikku, namun dia bahkan tidak memberikan keyakinan yang pasti pada anak itu.
Melihat ekspresi Moka, mungkin ini saat yang tepat untuk melakukannya. Trik kecilku...
"Kau lebih peduli pada Fajri, ketimbang Sophia?"
"Kenapa seperti itu?!"
"Saat itu, kau meminta Bu Erika dan Pak Bahar untuk tidak membesar-besarkan masalah, bukan? Itu bukan karena kau peduli terhadap Sophia, tapi karena orang tua Pak Fajri sudah kau anggap seperti orang tuamu sendiri. Alias, mereka jugalah orang tuamu, kan?"
Semua yang kuucapkan hanyalah arangan saja, namun tidak menutup kemungkinan kalau itu adalah fakta.
Seketika raut muka gadis itu berubah mengerikan. Tangannya dengan gesit menarik kerahku sampai aku yang tadinya sedang duduk tiba-tiba terangkat.
"Berani-beraninya kau!"
Sophia yang melihat itu langsung berjalan mendekati kami berdua. Wajahnya terlihat kosong dan bingung bercampur dengan rasa kesal.
TPARRRR!
Tamparan keras mengenai pipi Moka.
Nafas Sophia kini tidak teratur. Sekarang keadaan berbalik, kini Moka-lah yang terdiam sambil menatapi Sophia.
Trik berhasil kulancarkan. Kesenangan terlihat di wajahku. Mungkin tanpa sadar ujung bibirku terangkat.
"Ka-kau?! Ka-kau?!" (Sophia)
"Sophia, tunggu dulu! Ini cuman akal-akalannya saja!" (Moka)
"Aku punya bukti, jika mau, ayo kita ke ruang kepala sekolah SEKARANG juga."
Tentu saja perkataanku itu bohong, namun dengan kondisi Moka yang sedang kalang-kabut seperti sekarang. Dia tidak mungkin mengambil resiko lebih jauh.
Bagaimanapun, sepertinya omong kosongku itu adalah kebenaran.
"Itu pasti bukti palsukan?! Jika lewat kepala sekolah saja, mungkin kau bisa dengan mudah memanipulasinya!" (Moka)
"Diamlah kau, penghianat!"
Teriak Sophia langsung membekukan mulut Moka yang daritadi mengoceh.
Moka tak berani menatap wajah Sophia lagi. Dia kehabisan kata-kata untuk mengelak sekarang.
Ini adalah skak mat buatnya.
Emosi kuat mereka masih terbawa, namun Sophia mencoba menenangkan amarahnya. Dia mencoba pergi dari ruangan yang gelap itu sendirian.
Namun,
*Plak~... (Tangan tak berdaya itu menahan tangan panas temannya)
"Kumohon..... Aku juga... Tidak tahu harus berbuat apa!"
Air mata mulai turun dari mata Moka.
"Di sisimu aku harus melindungimu. Di sisi lain, orang tua Pak Fajri sudah seperti orang tuaku sendiri. Mereka sudah merawatku sejak kecil bahkan sampai merawat sebesar ini, tidak mungkin kan bila aku tiba-tiba membuat mereka semakin sedih setelah tahu perbuatan anak kandung mereka?!
Pernyataan itu terdengar egois namun masuk akal. Balas budi adalah wujud harga diri manusia. Bila mereka menghianati balas budi itu, maka mereka akan dicap lebih rendah daripada binatang.
"Sisi mana yang harus ku pilih?... Aku bingung!"
Moka mencoba menahan kepergian Sophia, namun Sophia melawan dan tetap pergi.
Sophia membalikan badannya.
Dia memberikan tatapan dingin pada seseorang. Seseorang itu bukanlah Moka. Melainkan orang lain yang berada di sini. Orang itu adalah aku.
Tatapan itu seakan memberikan isyarat bila dia ingin bicara padaku.
Namun dia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Dia pergi begitu saja.
Aku yang awalnya harus diadili kini malah berbalik mengadili. Moka yang awalnya ingin menghakimiku kini hanya bisa menangis karena dihakimi.
"Maaf karena aku..." Moka tertunduk tak berdaya sambil menangis melihat pundak temannya yang tak lagi terlihat.
Tangannya mengepal kuat dan bibirnya berdecik kesal. Dia membalikkan tubuhnya dan melihat ke arahku dengan dingin. Moka hanya bisa melototiku tanpa bisa melawan.
Dia hanya berbalik dan pergi dengan perasaan kesal itu.
Sepertinya trik kecil tadi cukup berlebihan.
Ngomong-ngomong Sophia sepertinya juga ingin membicarakan sesuatu padaku.
Meskipun tidak yakin bila isyarat itu benar, tapi sebagai guru aku tetap harus mengiyakan permintaan muridku.
***
Saat berjalan di teras kelas. Aku melihat pemandangan yang tak terduga.
Seorang pria sendirian menatap orang-orang yang berlatih tanding dengan temannya di lapangan. Kesepian terlihat di raut wajahnya.
'Stevent, apakah kau membutuhkan seorang teman?' Pikirku dalam hati sambil berjalan mendekatinya.
"Hah?!"
Namun dia seketika sadar dengan kedatanganku dan membuatnya langsung meninggalkan tempat tersebut.
Apakah aku melakukan hal aneh? Pasti ada kesalahan yang kulakukan saat mencoba mendekatinya tadi.
Aku mencoba berdiri di tempat Stevent berdiri.
Dari sini aku bisa melihat pemandangan murid-murid yang sedang ikut kegiatan tambahan sepulang sekolah mereka. Sayangnya untuk club khusus putri di tempatkan di tempat berteknologi tinggi sehingga mata-mata mesum tidak bisa melihat.
Merasa membuang-buang waktu lebih banyak, aku akhirnya melanjutkan perjalananku ke tempat Sophia menungguku.
***
"Tak kusangkan ternyata bapak benar-benar tahu dan datang!"
Saat aku sampai, Dia sedang berdiri sendirian di lorong itu. Lorong yang sama saat aku mengalahkan Fajri dan menyelamatkannya.
"Bapak memanglah orang yang cepat mengerti pada hal seperti itu... (rautnya tiba-tiba suram) tapi!"
Dia berjalan mendekat.
PAAARRR!
Tamparan keras mengenai pipiku. Aku terdiam menatapnya sambil menyentuh bekas tamparannya.
"Apakah bapak gak tahu sesuatu yang disebut privasi?!" Teriakannya membekukanku. "Aku tahu apa yang anda katakan tadi adalah kebenaran, tapi anda terlalu kelewatan tadi!"
"Kenapa anda bisa setenang itu saat mengucapkannya?!" Kini air mata Sophia yang keluar. "Seperti... Itu adalah hal yang sudah biasa anda lakukan!"
Dia mencoba membersihkan air matanya dengan tangannya. "Kau memang tak sekejam Pak Fajri, namun kau itu SANGATLAH licik! Lebih licik dari siapapun."
Aku membuka mulutku dengan pelan. Bibirku terasa berat saat ingin membukanya.
"Maaf(menundukkan kepala)..."
Aku tak tahu apa yang harus kukatakan saat ini.
Kenapa, kenapa sulit sekali? Biasanya ini adalah hal yang mudah bagiku, tapi kenapa terasa berat sekarang? Ada sesuatu yang tidak kupahami dalam diriku.
"Apakah itu adalah permintaan maaf dari hatimu, atau malah hanyalah ucapan saja?"
Saat ditanyai seperti itu, aku tidak tahu mana yang benar.
Aku memang ingin minta maaf, namun itu semua karena aku terkejut saja. Aku tidak benar-benar mengatakannya. Seakan kata 'maaf' palsu itu sudah bagaikan kamus utamaku.
"..." Aku terdiam dan menutup mataku secara pelan, seakan sekarang sedang memberi isyarat pada Sophia, bahwa aku juga tidak tahu.
Sophia kecewa dengan jawabanku, namun dia tidak terlihat marah lagi. Dia seperti tahu masalahku.
"Diamnya anda memberikan jawaban kalau tadi itu abu-abu, kan?"
Dia menatap rendah diriku.
"Kalau begitu, sebagai permintaan maaf. Bolehkah aku meminta satu hal pada anda?"
Aku terkejut dan menatapnya dengan mataku yang lebar.
Gadis ini benar-benar di luar nalar. Dia bisa dengan mudah mengganti topik.
"Kau tahu... Saat pertama kali aku bertemu denganmu, saat itu kau sedang menyelamatkanku darinya."
"Seketika, aku sadar akan sesuatu. Aku masih lemah dan tak berdaya, bahkan kemarin saja aku tidak berkutik sama sekali."
"Saat itu juga, aku juga merasa kalau anda yang datang menolongku adalah orang yang patut dihormati oleh mereka semua."
"Tapi, hari ini, tepat di depan mataku, anda melakukannya... Anda memecahkan semua kepercayaanku kepada anda!"
Ucapannya nyelekit sekali, seandainya ini masihlah aku yang dulu. Mungkin dia sudah tidak akan ada di depan mataku sekarang.
Meskipun begitu, kalimatnya mungkin ada benarnya. Aku sebaiknya mengatur bagaimana mulutku berkata. Mulutku ini sudah banyak mengiris kulit, sebaiknya aku harus menumpulkannya agar tidak ada kejadian seperti ini lagi.
*Wush!
Sophia menunjuk ke arahku.
"Aku minta bapak memperbaiki sifat bapak terlebih dahulu!"
Heh?
Aku bingung dengan perubahan moodnya.
"..." Lagi-lagi aku terdiam tanpa sadar.
"Diamnya anda berarti adalah iya! Kalau begitu biarkan aku yang melakukannya! Dan sebagai imbalannya! Aku minta anda mengajari saya menjadi lebih kuat!"
Wajahnya penuh dengan kepercayaan diri.
"Heh(memasang wajah overproud)!"
Atau malah terlalu percaya.
Aku tidak bisa menjawab sepatah katapun.
Yang bisa kulakkukan hanyalah mengangguk setuju.
Angin entah dari mana mulai meniup rambut hitamnya yang terurai. Sophia menaruh kedua tangannya di dadanya. Air mata kembali keluar, namun kini Senyum juga menyertainya.
"Terima kasih sudah menerimaku." Dia menangis bahagia.
Banyak hal yang membuatku bingung.
Tapi, itu akan kumintai penjelasan nanti saja.
Moodnya sedang tidak jelas sekarang masalahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments