Malam hari secara tiba-tiba kakakku tiba-tiba mengajakku bermain video game dengannya di ruang keluarga yang sempit. Aku tak tahu apa niatannya, tapi pasti ada maksud dibaliknya.
“YOU LOSE!”
Layar TV itu mengejekku dengan tulisan merah yang memenuhi layar.
*prak!(membanting stik)
Game ini seperti sedang menghina pecundang dengan sangat tajam.
“Kau kalah telak? Tak kusangka kau itu se-“
“DIAMLAH! Itu semua cumanlah beruntung!”
“Keberuntungan mana yang beruntun...? (Suara berbisik)”
Sayangnya aku mendengarnya.
Emosiku semakin membara, jika saja dia bukanlah kakakku, mungkin saja aku sudah mengaktifkan sihir ‘itu’ padanya.
“Terserahlah! Aku mau tidur saja!”
Ini satu-satunya yang bisa kulakukan agar tidak membara bagaikan banteng merah.
“Kalau nanti masih kepikiran, aku siap melawanmu semalaman kok!” Ucapnya sambil melambai pada diriku yang masuk ke kamar.
***
*Tulut!
Tepat saat masuk ke dalam kamarku, aku mendapatkan sesuatu yang kuanggap adalah masalah.
*Menatap layar.
Sudah kuduga, dia pasti akan menulisnya.
Sebuah pesan terpampang di layar itu. Pengirim pesan tidak lain dan tidak bukan adalah dia. Orang yang baru saja memberiku tamparan keras tadi sore.
Kanda Sophia.
[Aku menantikan pelajaran private anda :)]
Dia itu... Misterius~ atau malah aneh?
“Selamat datang masalah baru... Kita akan bertemu di besok hari *Buk!” Ucapku sambil terjun ke kasur.
***
Sore hari, sekolah telah berakhir. Para murid sudah pergi ke tempatnya masing-masing dan ada juga yang nongkrong di suatu kafe atau mall.
Yang pasti kemana mereka itu bukan urusanku.
“Ahh(menghela nafas)...”
Aku menatap ke bangku si rambut hijau. Seharian ini bangku itu kosong tanpa ada yang mendudukinya. Teman sebangkunya tidak tahu kemana dia dan hanya bisa mengangkat bahu sambil menggelengkan kepalanya.
Dalam catatan, dia tertulis ‘ijin’, namun bukan berarti dia kirim surat atau apa. Itu semua adalah perbuatanku. Aku sengaja melakukannya karena aku tahu apa yang terjadi. Anggap saja ini sebagai sedikit permintaan maaf.
Akan kuberi dia waktu 3 hari. Dan bila dia masih absen, maka itu adalah tugas buatku untuk bergerak.
“Pak Rasyid...” Gadis itu teleport(cuman sarkas) ke sampingku seperti biasa. Tidak tahu kapan dia berjalan, tapi hawa keberadaannya sangatlah kecil buatku. “... Sudah saatnya.” Dia menghadiahkan senyum lemah padaku.
***
Kemana dia membawaku?!
Aku- maksudku kami tiba-tiba dijemput taxi yang datang entah dari mana, lalu berjalan sekitar 3 km dari tempat diturunkan.
“Apakah ini adalah keseharianmu, Sophia?”
Kakiku letih bergemetar dan tak kuat menopang tubuhku. Keringat di wajahku seperti menunjukkan bahwa semua itu adalah perjalanan yang melelahkan.
“Perasaan kita baru berjalan beberapa menit dari tempat kita turun? Kenapa anda sudah capek?”
Kata itu terdengar sarkas bagiku, tapi tidak buatnya. Tidak ada tanda-tanda kalau itu guyonan.
‘Jika begitu, sebaiknya aku tidak boleh menunjukkan sisi lemahku!’
Kakiku yang bergemetar tiba-tiba menjadi kaku kembali. Keringat yang membasahi wajahku kuusap menjauh dari wajahku.
“Tidak mungkin, aku bukanlah orang yang mudah capek!” Ucapku sambil sedikit bergaya.
Aku bermaksud untuk sedikit bercanda, namun Sophia yang menatapku sepertinya memiliki pikiran lain soal candaan tadi.
“Pak Rasyid(Memalingkan wajahnya sambil merona)... Sebaiknya jangan lakukan itu... Anda terlalu datar untuk bercanda.” Wajahnya tersenyum tanpa jiwa.
*Srot!
Tadi itu menusukku. Benar-benar menusuk hatiku.
Aku bahkan tidak bisa membalasnya.
Sedatar itukah aku?
Dari bagaimana dia bereaksi, itu jelas adalah reaksi orang yang merasa malu saat melihat orang lain melakukan kekonyolan.
.......
.....
...
Aku hanya bisa diam sampai tiba di depan rumahnya.
"Kita sampai~! Pak Rasyid(berbalik ke arahku) tunggu di sini! Aku ganti baju dulu!"
"Tunggu, orang tuamu mana?"
"Kerja." Tidak ada rasa berat saat mengatakannya. Dia masih memasang wajah ceria itu. Layaknya itu adalah hal yang normal buatnya.
*Bruk!
Sophia masuk dan meninggalkanku di luar sendirian.
Aku melihat dari ujung kanan sampai ke ujung kiri, lalu berganti menunduk dari ke tanah sampai mendangak ke atap.
Dalam pikiranku, ada satu pertanyaan yang muncul di benakku.
'Ini beneran rumahnya?!'
Rumah ini terlalu besar untuk orang yang mungkin tinggal sendirian. Emangnya orang tua mana yang nelantarin anaknya di rumah segede gedung arena hiburan(yang kukunjungi kemarin saat liburan) sendirian tanpa pengawasan. Apalagi sampai tidak sadar bila telah terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan pada anaknya.
Bagaimanapun alasannya, orang tua Sophia adalah orang tua yang gagal. Bahkan sampai tidak menyadari pada apa yang telah terjadi pada anak mereka.
*Tengok kanan-tengok kiri.
"Bagaimanapun, di sini terlalu sunyi..." Mataku, Anityaku, dan bahkan sihirku yang 'itu' tidak bisa merasakan adanya manusia yang menjaga di sini.
Hanya ada aku dan Sophia. Dipisahkan oleh pintu ini. Kami berduaan saja di sini.
Bila ada orang yang lewat, maka kemungkinan besar akan terjadi kesalahpahaman besar, bahkan mungkin skandal.
*Ckrak!
Pintu terbuka.
"Pak Rasyid, silahkan masuk!"
Tepat di balik pintu, seorang gadis dengan berpakaian casual serba putih dan rok selutut bewarna biru cerah mempersilahkan masuk dengan senyum cerah yang secerah mentari.
Auranya benar-benar berbeda dari yang biasanya. Aku merasakan kalau Sophia yang kukenal di sekolah seperti hilang dan tergantikan oleh Sophia yang penuh senyuman ceria.
senyuman indah yang berbaur dengan rambut hitam panjangnya yang melambai-lambai mengikuti kemana arah kepala pergi membuatnya terlihat imut bila saja para pria melihatnya.
"Pak Rasyid... Anda kenapa? Kenapa dari tadi bengong saja?"
Sepertinya aku melamun terlalu lama.
"Bukan, hanya saja melihatmu seceria ini membuatku sedikit tenang(tersenyum tipis)."
"Baguslah kalau begitu."
***
Di dalam rumah, aku berjalan mengikuti Sophia dari belakang sambil melihat-lihat ke sekitar.
Tidak ada hal lain selain lorong panjang dan pintu. Rumah ini terlihat besar dari luar, namun saat berada di dalamnya, rumah ini akan terasa sempit karena minimnya tempat bergerak.
Tidak hal menarik yang bisa kulihat selain pintu dan lukisan wajah(mungkin keluarganya) di dinding.
"Kemana kau mau membawaku? Bukankah kalau latihan tanding seharusnya berada di luar?"
"Tidak perlu keluar untuk berlatih..." Senyumnya sangat optimis, seoptimis Bahar yang kabur setelah aku mengalahkan Erika.
Aku punya prasangka mungkin saja ini adalah sesuatu yang akan mengejutkanku, namun ini hanyalah prasangka saja.
Apa mungkin... Arena latihannya ada di dalam rumah?!
Bisa saja, toh dia orang kaya.
Tapi untuk memiliki hal seperti itu bukanlah hal yang mudah. Arena pertandingan setahuku harus memiliki banyak standar dan bila ada yang kurang, maka arena tersebut akan didemolisi(dihancurkan) tidak peduli legal atau tidaknya, untuk pribadi atau umum.
"Memiliki arena private itu adalah hal yang mustahil. Jika saja itu tidak bersertifikat, maka-" Mulutku terhenti saat melihat sebuah ruangan luas yang ada di depanku.
Arena bertarung di depanku, meskipun memakai bahan dasar batu, namun kualitasnya memenuhi standar, diatasnya malahan.
Yang benar saja?!
"Tenanglah, ini semua bersertifikat, jadi anda dan saya tidak akan kena penggal oleh ratu pembunuh(tersenyum bangga)."
Pikiranku bercampur aduk saat melihatnya. Di antara rasa takjub dan ngeri. Aku takjub karena keluarganya bisa memiliki arena pribadi yang sangat mahal, aku juga merasa ngeri karena orang sekaya mereka bisa teledor pada anaknya sendiri.
"Ayo turun!" Tangannya tiba-tiba menuntunku ke bawah.
Saat berada di tengah arena.
Aku menatapnya dengan wajah yang penuh tanda tanya. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padanya, namun sepertinya bertanya sekarang bukanlah hal yang tepat.
Tidak mungkin aku menanyainya saat moodnya sedang cerah seperti ini.
"Ada apa Pak Rasyid? Kenapa anda diam seperti itu? Apakah ada yang aneh dengan pakaianku?"
Ehhh, sial... Lagi-lagi aku membuatnya terganggu dengan tatapanku.
"Mau langsung latihan?"
Langsung saja masuk ke inti, bila tidak, maka pikiranku akan melayang lebih jauh lagi.
"Ha?" Awalnya dia terlihat bingung, namun seketika rautnya berubah optimis. "Hmm(mengangguk)!"
*Sling!
Aku seketika mengaktifkan pageblug-ku dan memegang pedang baruku dengan kuda-kuda bersiap menerima serangan.
"Ayo, kita mulai!"
"Eh~ Kenapa ganti?"
Sepertinya dia menjadi orang pertama yang melihat senjata baruku.
"Kebanting."
"..." Diamnya penuh dengan rasa ingin tahu.
"Lupakan saja, kita mulai latihannya! Pertama, mari kulihat betapa lenturnya fisikmu!"
"Hmm(mengangguk)!" Sophia mengeluarkan pageblugnya dan mengaktifkannya.
Kipas yang sama seperti kemarin masih berada di tangannya.
Dia melebarkan kipas itu bersamaan dengan kedua tangannya yang merentang ke depan dan ke belakang. (Posisi kipas berada di belakang bersamaan dengan tangan kanannya.)
Semua pertanyaan yang ingin dia ketahui seketika amblas dan berubah menjadi fokus pada latihannya,
Dia sangatlah berbeda dari sesaat aku menyelematkannya saat itu. Kali ini dia seperti sudah siap dengan segala rintangan dan musuhnya.
"Maju!"
Sophia langsung melesat ke arahku dan mengibaskan kipasnya ke arahku dengan berputar-putar seperti sedang menari.
*Ctang!
*Sink!
*Prunk!
Namun, aku yang melihat betapa lambatnya serangannya hanya harus menangkis setiap serangannya sambil perlahan melangkah mundur.
Ini terlalu mudah buatku.
Mata kipasnya dan mata pedangku saling bergesek satu sama lain sehingga menimbulkan percikan api.
Di sisi Sophia, dia kelihatan sangat serius dan mencoba berpikir dengan cepat bagaimana cara untuk menyentuhku, sementara di sisi lain, aku tidak menyangka kalau gadis ini akan selemah ini.
Kupikir semua orang di kelas Fisik punya fisik yang kuat, namun sepertinya tidak.
*Ctang!
*Clink!
*Srink!
Beberapa benturan antara senjata kami terus berulang.
*Ctang!
*Clink!
*Srink!
*Srink!
*Clink!
*Srink!
Perlahan, aku menyadari tempo mulai berubah.
Saat itu juga.
Nada gempuran senjata kami mulai menjadi satu notasi.
*Srink!
*Srink!
*Srink!
*Srink!
Gerakannya semakin cepat. Diriku yang bersantai dibuat menjadi sedikit serius.
"Ya, seperti itu! Lebih kuat! Lebih cepat!"
"Haaaa!"
Gerakan Sophia semakin cepat, bahkan tangkisan normalku saja kini tidak berpengaruh. Aku harus sedikit serius sekarang.
*SrinkSrinkSrinkSrink!
Sophia semakin cepat, gerakannya yang tadi terlihat seperti sedang menari kini berubah menjadi seperti gasing yang berputar.
Sepertinya meremehkannya adalah kesalahan.
Kalau begitu!
*Prank!
Aku melempar kipasnya dengan ayunanku.
Meskipun dengan kecepatan seperti itu, apa bila aku sedikit serius maka ini bukan masalah besar.
Sebenarnya aku sedikit curang karena memakai sihir cahaya untuk mendapat momen yang tepat untuk menebas kipasnya.
Beruntungnya dia sepertinya tidak sadar kalau aku memakainya. Pertarungan tadi terlalu cepat untuk dilihat oleh mata telanjang, bahkan sampai sihir cahaya yang aktif saja tidak terlihat karena saking cepatnya.
"Ah?!"
Dia menatapku terkejut dengan kuda-kuda yang masih seperti sedang memegang kipas.
"Su-sudah! Cukup! Itu terlalu cepat!" Jantungku berdebar-debar.
"Benarkah?! Apakah itu artinya fisikku bagus?"
"Tidak..."
"Kenapa?!"
"Bapak tidak mendapatkan sedikitpun luka."
"Harus seperti itu?!"
"No pain no gain. Jika bapak tidak merasa sakit, itu artinya fisikmu masih belum cukup."
Aku sedikit bersalah mengatakannya. Dia bisa saja mengenaiku bila aku tidak curang tadi. Mumpung dia tidak tahu sebaiknya aku diam saja.
Wajahnya yang super ceria seketika berubah mengkerut.
Aku jadi merasa semakin bersalah.
"Tenanglah, latihan selanjutnya adalah mengetes sihir murnimu. Kau bisa menghajarku dengan jarum-jarum esmu nanti."
"Benarkah?! Tapi..." Dia merasa ada yang janggal dengan kalimatku.
"Sudahlah, ayo tunjukkan sihirmu secara murni tanpa bantuan pageblug," ucapku sambil mengambil jarak dengannya.
Umumnya untuk kelas fisik, murid hanya dapat menggunakan sihir dengan bantuan pageblugnya, namun aku merasakan kasusnya sedikit berbeda buat Sophia, bukan hanya dia, namun Stevent juga. Mereka bisa menggunakan sihir tanpa bantuan pageblug. Mereka berdua tidak seperti anak yang seharusnya ada di kelas itu.
"Pak Rasyid(tersenyum kecut)... Apakah anda tidak masalah dengan ini?" Tanyanya sedikit khawatir.
"Kenapa kamu bertanya begitu? Ayo lakukan saja!"
Tidak ada waktu buat berbincang. Aku sangat ingin tahu seberapa kuat kemampuan sihir Sophia. Sihirnya yang dia pakai saat melawan Stevent jelas bukan setingkat anak kelas satu, itu malah seperti berada di atasnya.
"Baiklah kalau begitu!"
Tangan kanan Sophia diangkat.
Bersamaan dengan tangannya yang berada di atas, beberapa jarum es perlahan muncul di belakangnya. Satu persatu jarum jadi dan siap meluncur ke arah perutku.
Tunjukkan seberapa kuat seranganmu ini, Sophia!
Aku mengambil kuda-kuda bertahan. Perutku kutahan dan kakiku kupaku ke lantai.
"Jarum es datang!"
Satu jarum es melesat ke arahku dan menusukku.
*SrotSrotSrot!
Yang pertama menusukku adalah jarum-jarum es kecil.
Aku membiarkan jarum-jarum itu menembusku dan membuat diriku terkena hit.
Sakit?
Ini tidak ada apa-apanya!
Ini hanyalah sehelai kertas bagiku!
*SrotSrotSrotSrotSrot!
Perlahan jarum-jarum yang menembusku semakin besar. Diriku menjadi semakin tidak sabar dengan jarum terbesarnya.
Aku mau tahu...
Aku ingin tahu seberapa kuat dia!
"Sekarang, sihir pamungkasmu!"
"Ha'!"
Sophia melesatkan jarum yang terbesar. Jarum yang sama yang hampir menembus Stevent saat itu.
*Duar!
Jarum besar itu mengenaiku dan menembus perutku bagaikan donat, tapi aku tetap berdiri.
Ini emang tidak ada apa-apanya bagiku!
Aku merasakan betapa kuatnya serangan itu bila terkena orang biasa. Mungkin lawannya akan langsung masuk ke dalam posisi K.O.
"Hah... Hah... Hah..."
Sophia di sisi lain, dia terlihat terengah-engah dan hampir pingsan. Sihir tadi jelas menyerap banyak tenaganya. Jika saja serangan tadi meleset di akhir, dia pasti akan berada di kondisi tidak diuntungkan.
"Cukup! Kita istirahat dulu."
***
Kami berdua duduk di atas karpet di tengah arena. Terlihat aneh, tapi ya sudahlah. Ini tempat miliknya, jadi suka-sukanya.
Yang kulakukan hanyalah mengetesnya saja.
Jadi...
Dengan berbagai analisa dari setiap serangan dan sihir yang mengenaiku, aku bisa berasumsi kalau serangannya cukup cepat. Yang jadi masalah adalah bagaimana dia mengelola waktu, kapan dia harus menggunakan serangan fisik, kapan dia harus sihir, dan kapan dia harus menggunakan sihir tingkat atasnya.
Serangan fisiknya terlalu lama untuk berada di tingkat kecepatan itu. Sementara itu, sihirnya yang kuat perlu waktu yang relatif lama untuk aktif.
Bila lawannya adalah sesama murid mungkin tidak akan masalah, namun bila orang yang sedikit lebih jago. Aku tidak yakin dia akan bisa lepas. Terlebih kemungkinan dia akan sering diserang oleh penculik atau orang jahat sejenisnya.
"Pak Rasyid, boleh aku bertanya?" Sophia bertanya di tengah-tengah analisaku.
"Apa?"
"Aku cuman memastikan saja..." Tatapan anak itu berubah menjadi prihatin. "... Anda... Apakah seorang masokis?"
"Heh?!"
Entah kenapa, tiba-tiba aku mematung dan tidak bisa merasakan seluruh tubuhku. Bahkan semua analisa yang baru saja kupikirkan tadi tiba-tiba amburadul dan lenyap di kepalaku dengan begitu saja.
"Saya pikir orang yang seperti itu hanyalah mitos, tapi setelah melihat dengan mata kepala saya sendiri..."
Aku masih mematung, jiwaku seperti tertelan bumi. Bagaimana kata 'itu' bisa tiba-tiba muncul di kepalanya?
"Te-tenanglah pak! Tidak ada salahnya menjadi orang seperti itu. Semua orang punya hasrat yang unik-unik!"
Sophia mencoba menyemangatiku, namun ucapannya menusukku lebih dalam.
"Ehehh!" Entah kenapa aku ingin tertawa. "Ahahahahaha!"
Sudah lama aku tidak merasa sesenang ini.
"Pak Rasyid?!"
"Tidak apa, aku hanya senang kita bisa mengobrol secara normal."
"Eh?"
"Dan juga... Senang melihatmu ceria tanpa memalsukannya."
Selama di pekerjaanku sebelumnya, aku tahu mana yang palsu dan mana yang asli. Bagaimanapun, itu jugalah kemampuanku.
Sophia terlihat memerah setelah mendengarnya. Wajahnya yang memerah dia coba tutupi dengan tangannya.
"Pak Rasyid, anda kejam sekali... Selalu saja membalikkan serangan."
Ucapannya terdengar seperti perasaan gembira. Di sisi lain, bagiku ucapannya tadi malah mengingatkanku pada seseorang.
"Sepertinya ini sudah larut(melihat ke arah jam di tangan)."
Jam menunjukkan kalau ini sudah hampir melewati jam 7 malam.
"Ah, waktu cepat sekali berjalan! Kenapa anda tidak tinggal lebih lama?"
"Mau bagaimanapun aku tetap punya jadwal sendiri," ucapku sambil berdiri.
"Emm(cemberut), sudahlah, aku tidak peduli."
Wajahnya yang kemungkinan terlihat imut benar-benar menjadi idaman para lelaki.
"Sophia!" Saat hendak pergi, aku memanggilnya. Ada sesuatu yang ingin kukatakan padanya. "Hati-hati(dengan nada datar)..."
Dia langsung tersenyum. "Yang harusnya hati-hati itu anda!"
***
Tepat di depan rumah, lebih tepatnya depan pintu. Kakakku menatapku dengan senyuman bodoh.
"Oh~ Rasyid~, darimana saja kau~?"
"Kerja tambahan."
"Tambahan~? Maksudmu mengajar muridmu yang cantik dan muda di rumahnya~?"
Wajahnya membuatku kesal.
"Kak, mau kupukul?"
"Tidak-tidak..."
"Lalu kenapa kakak di depan pintu... menungguku... seperti ibu yang siap melempar sendal ke anaknya yang pulang malam?!"
"Tidak!(tertawa) Tidak ada! Hanya saja..." Dia tidak bisa menahan ketawanya.
Aku menghiraukannya dan berjalan masuk menuju meja makan. Makanan sudah disajikan oleh kakakku.
Aku langsung memakannya tanpa memperdulikannya. Kami terbiasa dengan suasana ini, tidak perlu saling berterima kasih atau memaafkan. Keluarga ini punya prinsip itu, selagi mereka mengikuti aturan, maka tidak akan ada masalah pada ikatan ini.
Kakakku bahkan langsung menghiraukan semuanya dan berjalan ke wastafel di dapur seperti tidak pernah ada yang terjadi. "Yang ingin kukatakan tadi adalah... Tadi ada pesan dari kepala sekolah. Dia bilang bila kau punya waktu temuinya di ruangannya" Kakakku yang sedang mencuci piring mengatakan itu.
Mendengar sebutan itu. Aku tahu kemana, kenapa, dan apa yang ingin dibicarakannya.
"Kenapa tidak langsung ke aku saja"
"Mana kutahu... Mungkin karena wajahmu mengerikan, Syid"
"Mana mungkinlah(Wajah orang itu jauh lebih mengerikan)"
*Tulut!
Tiba-tiba suara dari Ponselku mengalihkanku. Aku menerima pesan singkat dari Erika.
[Apa yang kau lakukan bersama Sophia sepulang sekolah tadi?] Pesan baru saja dikirim oleh Erika Rahmana.
Aku dalam masalah besar.
Entah masalah apa... Instingku mengatakan ini akan menjadi masalah besar bila aku salah jawab. Aku harus menjawab dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
[Aku hanya di-] Namun sebelum bisa melakukannya, sebuah tangan mengambil ponsel yang sedang kupegang.
"Adikku sayang~ kalau main ponsel jangan sambil makan ya~?" Kakakku mengambil ponselku sambil tersenyum.
Aku hanya bisa cemberut dan menyilangkan tanganku. Sungguh mengesalkan sekali orang ini.
Tangan kakakku menunjuk ke makananku sambil memberi isyarat yang berkata 'Selesaikan makanmu dulu, oke?!'
***
Beberapa menit setelah makan malam. Aku menatap kosong di dalam kamarku. Ada sesuatu yang berbeda di kamarku.
Lemari etalase yang dulunya pecah kini telah bagus kembali tanpa lecet. Noda di dinding yang menempel pada lemari etalase itu juga terlihat sudah dicat dan menyatu dengan warna di dinding yang sekarang.
Tunggu?!
Menyatukan warna dinding dari yang baru dengan yang lama jelas akan memberi kesan berbeda.
Saat itu aku terbelalak dan mulai melihat seisi kamarku.
Seisi kamarku dicat dengan yang baru.
Dia pasti menyuruh seseorang melakukannya saat aku pergi tadi.
Dasar kakak...
Ngomong-ngomong soal orang menyebalkan, aku ingat ada satu orang yang tadi mengirimiku pesan.
[Apa yang kau lakukan bersama Sophia sepulang sekolah tadi?] Pesan terkirim 20 menit yang lalu.
Statusnya sekarang masih online.
Sepertinya dia orang yang sangat sibuk sampai-sampai harus online berjam-jam di media sosial. Begitu pikirku...
[Dia memintaku untuk memberinya latihan tambahan...] Kirim.
[Sampai malam?]
[Kau tidak berbuat yang aneh-aneh, kan?] Dibalas.
Woah, cepat sekali dia membalas. Ternyata dia benar-benar orang yang disiplin. Pesan baru masuk langsung dibalas dengan cepat.
[Tenanglah]
[Aku ini orang yang lebih mementingkan pekerjaan daripada hal lain.]
[Kerja adalah hidupku!]
[Kerja di atas segalanya, termasuk wanita!] kirim.
Tiba-tiba tanda 'like' muncul di teksku, seketika itu juga percakapan selesai tanpa adanya pesan darinya lagi.
Apa aku melakukan kesalahan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments