Apakah kau pernah mendengar 'kejarlah mimpimu dengan bakatmu.' dari seseorang?
Bila pernah, maka ada dua hal yang akan kau lakukan.
Mengikutinya... Atau mengabaikannya.
Tidak ada yang tahu mana jawaban yang benar. Saat sudah berlalu, barulah tahu mana jawabannya.
Kurang lebih hal ini terjadi pada orang itu.
Menjadi seorang pelajar diusianya yang ke 18 tahun membuatnya mulai mencari jati diri. Berhubung dirinya sangat menyukai olahraga baseball. Dia mulai mengasah kemampuan itu sampai pada tahap dia adalah yang terjago di sekolahnya, bahkan sampai tingkat nasional.
Dia terus berlatih sampai dia berumur 23 tahun. Kemampuannya dalam olahraga itu sudah masuk tingkat professional. Lemparannya bahkan disebut yang lemparan dewa karena tidak ada yang dapat memukul bola yang dia lempar.
Dia sangat bangga dengan itu dan berpikir dia bisa melakukan apa saja dengann ini.
Sayangnya, saat dia berumur 25, dia tersadar ada satu hal yang mengingatkannya di akhir. Dia diingatkan dengan cara yang sangat perih. Saking perihnya bahkan terasa seperti peluru menembus melewati kepalanya yang besar itu.
Di nusantara ini, olahraga itu tidak banyak peminatnya. Kalah saing dengan olahraga lain seperti sepak bola dan bulu tangkis.
Seberapa hebat dirinya, jika orang-orang tidak peduli dengan olahraga itu, maka dia tetaplah akan menjadi pecundang di masa depan.
Akhirnya, pemuda itu sadar kalau hobinya tidak bisa gunakan untuk mencukupi hidupnya. Dia mulai menatapi koran yang berisikan lowongan kerja. Sambil duduk di kamarnya, pria itu terus membaca sampai pada akhirnya dia menemukan lowongan yang pas dengan keahliannya.
Sebuah pabrik roti tawar adalah tempat yang pria itu pilih. Meninggalkan mimpinya dan mulai hidup untuk memenuhi kebutuhannya. Pria itu terus bekerja di pabrik itu sampai dia berumur 35 tahun. Sekitar sepuluh tahun lamanya.
Sayangnya umurnya sudah mencapai batas kriteria yang diinginkan pabrik itu. Pria itupun harus di-PHK. Kini pria itu harus mencari pekerjaan lain yang membutuhkan pengalamannya.
Tahun 2047. Jaman telah berubah semenjak setahun setelah insiden 'itu'. Semua sudah berbeda dari yang pernah dia ingat. Logika lama sudah tidak diperlukan lagi.
Manusia kebal akan kematian...
Pikirnya itu adalah sesuatu yang menakjubkan, namun juga sesuatu yang mengerikan. Pasti ada hal berbau politik dibaliknya. Dia sudah menduga-duganya dengan pasti soal itu.
Meskipun begitu, orang yang kini menginjak kepala 3 itu tidak peduli. Karena~...
Saat ini tepat di depan matanya, ada sebuah peluang buatnya untuk kabur dari kehidupannya yang sengsara itu.
Sebuah pertandingan 'di mana 100 orang di kelompokkan menjadi 1 dan disuruh menghabisi satu sama lain sampai K.O' terpampang jelas di papan yang ada di depannya. Hadiah lomba itu adalah sesuatu yang akan didamba-dambakan semua orang yang hidup di masa saat ini.
Syarat masuk pertandingan hanyalah perlu memiliki Anitya yang mengalir di dalam tubuh dan sebuah senjata pribadi yang disimpan di dalam pageblug.
Melihat sebuah peluang, pria itu membuang semua rasa curiganya pada Anitya dan langsung bersedia untuk disuntikkan Anitya ke dalamnya.
Ini semua demi kehidupan yang lebih baik, ujarnya dalam hati.
***
Dengan membeli pageblug dari uang sisa tabungannya, pria itu kini siap masuk ke dalam lomba kematian itu.
Dia tidak perlu khawatir dengan mereka yang terluka. Anitya akan melindungi mereka dari segala bahaya. Begitu slogan lomba itu. Seakan lomba itu memang hanya bertujuan untuk mempromosikan Anitya yang masih belum sempurna.
Kembali ke arena.
100 orang berkumpul di arena itu. Mereka menatap satu sama lain dengan mata yang tajam dan tidak mempercayai satu sama lain. Mereka manusia yang dulunya adalah orang baik-baik diubah menjadi makhluk yang berego tinggi di lomba ini.
Tidak peduli keluarga, teman, ataupun umur. Mereka akan menghancurkan satu sama lain demi hadiah yang sangat menggiurkan itu.
"START!!" Perlombaan telah dimulai.
Battle Royale telah dimulai!
Suara gebrakan seketika terdengar di mana-mana. Seisi arena yang awalnya tenang seketika penuh dengan teriakan dan pertumpahan darah.
Para peserta mulai menghancurkan satu sama lain. Mereka menebas semua yang ada di depan mereka. Tidak peduli siapa mereka, bila mereka menghalangi jalan maka akan dihabisi.
Perlombaan ini memgubah manusia menjadi monster yang haus akan kekuatan.
Sementara mereka saling menghancurkan satu sama lain. Pria yang sedang mengadu nasib di perlombaan itu malah hanya berdiri santai di antara lautan manusia yang berlumuran darah dan keringat.
Saat melihat mereka yang bertarung, pria itu hanya mengamati dan menyimpulkan satu hal dengan matanya.
"Mereka sampah..." Ucapnya kesal.
*Blush!
Pria itu mengaktifkan pageblug-nya.
Pageblugnya membentuk sebuah bola baseball. Senjata yang tidak seharusnya ada di pertarungan penuh darah ini terlihat seperti akan memangsa mereka semua yang ada di sini.
Peserta lain yang melihat senjata pria itu melihatnya sebagai mangsa empuk. Dia terlihat seperti orang bodoh yang membawa pisau di pertarungan tembak-menembak.
Mereka yang tidak memiliki senjata yang tajam akan dengan mudah dikalahkan dengan cepat. Begitu pikir mereka.
Tapi, sepertinya mereka salah.
Pria itu tersenyum saat melihat semua orang di sekitarnya menganggapnya sebagai sasaran empuk. Dia tidak perlu memikirkan strategi karena lawannya lengah sejak awal.
Setelah yakin akan targetnya, pria mulai mengambil ancang-ancang melempar.
Saat targetnya sudah dianggap dekat. Dia mulai melempar pageblug-nya ke arah sekumpulan peserta yang sedang berjalan ke arahnya.
*Duar!
Sebuah ledakan keras muncul dari pageblug yang dia lemparkan.
Sekitar 15 peserta langsung tereliminasi hanya dalam satu kali lemparan.
Peserta-peserta lain yang mencoba memangsa pria itu terdiam sambil terkejut. Mereka melakukan kesalahan lagi karena melamun di tengah-tengah pertarungan.
"Apa-apaan itu?"
"Kenapa ada ledakan?"
"Bukankah itu pelanggaran bila membawa senjata yang berbahaya?"
Pria itu hanya tersenyum melihat komplain mereka. Tidak ada rasa bersalah sama sekali saat dia melakukannya. Dia malah berjalan santai ke pageblugnya dan mengambilnya kembali.
"Peraturan perlombaan adalah menggunakan senjata dan Anitya."
"Seranganku tadi tidak akan kena sanksi karena tidak melanggar peraturan."
Pria itu bersiap melempar kembali.
"Mana mungkin?! Itu jelas-jelas melanggar!"
"Yang tidak tahu itu KALIANNNN!" Ucapnya sambil melempar.
*Duar!
Sekali lagi ledakan itu mengenai mereka yang terpaku karena gugup.
"Ini adalah kekuatan Anitya! Sihir bukanlah cerita fantasi lagi! (Mengangkat kepalan tangannya) Namun sebuah kenyataan!"
Peserta yang tersisa masih tidak mengerti dengan maksud pria itu.
Ada satu peserta yang mencoba mengecek tangannya sendiri. Saat dia melakukannya, sebuah percikan muncul dari tangannya.
"Akh?! Tadi itu sungguhan?!"
"Bagaimana caranya?! Kenapa aku tidak bisa?!"
"Sial aku tidak bisa!"
"Woah, aku bisa! Aku punya kekuatan sihir!"
Dari reaksi mereka, bisa disimpulkan kalau Anitya masihlah pilih kasih. Barang tidak sempurna itu tidak memberikan efek sihir kepada mereka yang tidak beruntung.
Kembali ke pertarungan.
Mereka terlena dengan kekuatan mereka sampai melupakan dimana mereka sekarang.
Saat itulah, pria itu menggunakan kesempatan itu untuk menghabisinya.
"Hadap sini!" Ucapnya sambil melempar.
*Duar!
Mereka yang terlena seketika K.O dan hancur. Itu artinya mereka semua kalah. Hampir semuanya dikalah oleh pria itu.
TEEEEET!!!
Suara terompet berbunyi mengakhiri pertarungan. Hanya tersisa satu peserta di arena itu.
Para penonton bersorak meriah ke pria itu.
"Si Peledak Mematikan, kau sangat hebat!"
"Kau bintang baru, Peledak Mematikan!"
Pria itu mendapat sebuah julukan yang sesuai dengannya. Namun pria itu hanya bisa menahan haru.
Dia ingin dijuluki sebagai pelempar karena hobinya sebagai pemain baseball bukan peledak yang malah terdengar seperti hidupnya(yang hancur). Ketidaksenangan terpancar dari wajah pria itu ditengah-tengah sorak-sorakan penonton. Meskipun begitu, sorakan tetap berlangsung, tidak ada yang bisa melihat tangisan pria itu.
Beberapa tahun setelahnya.
Pria itu kini berhenti menjadi seorang petarung. Dia memilih pekerjaan yang mudah. Karena popularitasnya saat itu. Kini dia bisa mendapatkan jabatan tinggi dan duduk dengan santai di sebuah sekolah paling bergengsi ini.
***
Saiful Baharudin. Nama pria itu tertulis di meja kerjanya. Kini dia adalah kepala sekolah dari sekolah paling bergengsi, Sekolah Podoagung.
"Anda memanggil saya hanya untuk bercerita?"
Aku saat ini berdiri di depan meja Pak Bahar. Mendengar cerita itu selama bermenit-menit tanpa henti. Aku bahkan sampai lupa rasa gugupku saat datang ke sini.
"Ya~, tentu saja tidak! Aku memanggilmu karena suatu hal. Kau tak perlu tanya perihal apa?' Kau sudah tahu apa, kan?!"
Bahar duduk sambil merokok di depanku tanpa mempedulikan apakah orang yang diajaknya bicara benci asap atau tidak.
Dia menatap etalase yang berisi medali-medali lomba yang pernah dia peroleh semasa mudanya. Seluruh badannya tercermin di kaca etalase itu.
"Ini soal Fajri. Keluarganya menelponku. Mereka mencarinya"
"..................." Aku tak tahu harus berkata apa.
"Aku hanya bisa bilang kalau 'aku mem-PHK-nya. Dan aku tidak tahu apa yang terjadi padanya selanjutnya'. Aku terpaksa berbohong pada mereka." Bayangan muka Bahar terlihat kosong saat mengatakan itu.
"Lalu?"
"Aku menambahkan kebohonganku! Aku memberi mereka sebuah kemungkinan kalau dia hilang saat perjalanan pulang, entah itu karena stress atau hal lain!" Refleksi badan pria besar itu kini bergetar dan air mata terlihat di matanya.
"Aku minta maaf..." Aku membungkukan badan dan menepukkan kedua tanganku. "Ini semua salahku." Aku mencoba menggunakan tata krama kali ini.
"Tidak apa-apa. Sebenarnya akulah yang salah. Aku tidak bisa menyelesaikan masalah dengan benar sampai-sampai membiarkan seorang predator bisa berjalan dengan bebas. Kau menghabisinya juga karena sudah tidak ada jalan keluar lagi, kan(menggaruk rambutnya)?" Pak Bahar memutarkan kursinya dan menatapku kembali.
"Aku harap, aku bisa mengandalkanmu, Pak Rasyid."
Entah kenapa, namun dalam sekilas, aku melihat raut mukanya seperti sedang tersenyum licik padaku. "Kau terlihat berbeda dari sebelumnya, biasanya auramu terlihat abu-abu, namun kini, auramu terlihat seperti bewarna biru. Apa Kakakmu mendisiplinkanmu? Itu tidak mungkin, hahahahha... Atau karena seorang wanita?" Bahar tersenyum(entah itu palsu atau sungguhan).
Aku merasakan ada firasat tidak enak. Arah topik seperti sudah akan ditentukan kemana akan perginya.
Mungkin saja firasat itu datang karena wajahnya yang besar dan mengerikan. Senyumnya terlihat seperti orang yang punya niat mesum.
Ada baiknya tidak menilai orang dari wajahnya.
Aku hanya terdiam datar mendengar itu. Bahar yang melihat wajah datarku sebagai jawaban "tidak" langsung menutup senyumnya dan hanya bisa menggaruk rambutnya sekali lagi.
"Ehh~, urusan kita sudah selesai. Anda boleh pergi sekarang!" Ucapnya santai.
Aku berbalik dan pergi, namun saat hendak keluar.
"Rasyid Londerik, ada satu hal yang mungkin kulupa untuk kasih tahu."
Aku terhenti, kepalaku menoleh ke arahnya dengan tatapan penuh bertanya. Dari bagaimana raut mukanya yang terlihat serius namun santai, aku tak merasa kalau apa yang akan dia katakan ada hubungannya dengan kerjaan.
"Kasih sayang bisa menyelamatkan orang, tetapi juga bisa menghancurkan orang itu."
"..." Aku terdiam untuk beberapa detik.
Apa maksudnya aku sudah tahu, namun kenapa alasan dia mengatakan ini masihlah belum jelas. Dan dengan bagaimana dia mengatakannya tadi, sepertinya dia pernah mengalami atau melihat sesuatu yang seperti itu.
Sesaat setelah itu, aku pergi.
***
Di depan kantor, Aku melihat Stevent yang sedang duduk sendirian sambil melihat orang-orang berlatih di lapangan.
Tidak mau melakukan kesalahan yang sama. Aku mempelankan suara langkah kakiku dan mencoba mendekatinya secara diam-diam.
"Kau sangat ingin punya partner berlatih seperti mereka namun sayangnya kau tidak punya teman?" Aku yang sudah disampingnya langsung mengatakan apa yang kulihat darinya.
"Pak Rasyid!?" Stevent langsung mengambil jarak denganku.
"Apa yang kau mau, pak?!"
"Kau sangat ingin punya teman berlatih?"
"Ma-mana mungkinlah.... Lagipula aku ini Earl atau pangeran. Jika ingin berlatih aku tinggal menyewa pelatih saja!"
"Tapi berlatih dengan teman rasanya berbeda daripada dilatih oleh mereka(yang profesional)."
"Ha! Aku tidak peduli dengan itu(menyilangkan tangannya)!"
Stevent pergi meninggalkanku.
"Mau sampai kapan?" Pertanyaanku menghentikannya.
Dia menoleh ke arahku sampai terdiam dan berkeringat.
Anak itu menggigit bibirnya karena tidak bisa menjawab pertanyaanku.
"Tch!"
Dan lalu pergi tanpa menjawabnya.
Dari pengamatanku, dia seperti ingin memilikinya(seorang teman). Aku pun juga tidak bisa menjawab. Karena aku bahkan pernah -.
'tidak! Jangan terjadi lagi!'
Aku muak dengan ini.
Sakit kepala ini mengintaiku lagi.
Aku harus menahan muntah sampai ke toilet.
*Gruahhh!
Suara muntah itu memenuhi toilet.
Aku tidak boleh bengong! Ingat itu baik-baik, Rasyid Londerik.
"Pak Rasyid? Apa yang anda lakukan di toilet siswa?" Laki-laki dengan rambut panjang seperti gadis tiba-tiba berada di pinggirku.
Saat kulihat, dia tidak lain dan tidak bukan adalah muridku sendiri, Luna Gita Lestari.
"Lain kali makannya jangan yang aneh-aneh pak(tertawa)!"
Aku masih kepikiran soal Stevent tadi, mungkin bertanya pada Luna adalah hal yang tepat? Dia adalah pusat dari perkumpulan siswa laki-laki dikelas.
"Anu... Luna, menurutmu bagaimana Stevent itu?"
Luna yang tadi memasang wajah nyinyir langsung menjadi datar.
"Tolong pak~(menghela nafas). Panggil aku Gita saja. Aku tidak mau dipanggil Luna apalagi Lestari."
"Ah, maaf..."
"Lupakan saja, anda bertanya masalah tentang Stevent, kan?" Gita menyendenkan tangannya ke wastafel toilet. Raut muka acuh dan kesal terpampang di mukanya. "Dia itu bangsatnya kelas. Mentang-mentang dia seorang pangeran. Dia seenaknya menjatuhkan kami!"
"Kami sangat senang saat dia dihancurkan oleh Sophia saat itu(cengigir). Ekspresinya yang ketakutan saat menyerah membuat kami puas! Ahahahaha!"
Dia dibenci.
"Terima kasih atas saranmu, Gita(menjabat tangannya)"
Aku pergi meninggalkannya di toilet dan melihat anak itu melambaikan tangannya ke arahku dengan tersenyum lebar. Sebaiknya aku tidak perlu bertanya apa yang sedang dia lakukan. Malah tidak mau tahu.
Aku kembali ke kelas untuk mengambil tasku yang kutinggal.
Namun saat berada di kelas, aku menyadari sesuatu yang tertinggal bukanlah tas saja.
'sial, aku lupa!'
Ada seorang siswi yang duduk di bangkunya sambil menatapiku yang mematung di pintu kelas. Siswi itu menyilangkan tangannya dan memasang wajah cemberut seakan mengatakan 'aku sudah lelah menunggu!' diwajahnya.
"Ehh(melempar tatapan)~, maaf."
"(Berdiri dari kursi) Tidak perlu minta maaf, lagipula anda punya kerjaan. Jadi itu hal yang wajar bila anda sampai lupa."
Aku terdiam mendengarnya.
"Bila hal ini terjadi lagi, kumohon beritahu aku dulu. Aku tidak marah kok(sambil teriak)! Kau adalah orang dewasa. Kau punya banyak pekerjaan. Aku juga bukan satu-satunya muridmu disini!"
Dia pergi dengan senyum palsu itu.
Semua yang dia katakan berbalik dengan wajahnya.
***
Saat pulang, rumah terasa gelap.
'Sepertinya kakakku masih belum pulang.'
Sebuah catatan tertulis di kulkas. 'Makan mie instan yang ada di kulkas.'
*(Menghela nafas) Hari ini sangat merepotkan saja.
l
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments