Liburan telah usai dan kini hari Senin menyambut hari sibuk pertamaku sebagai guru secara utuh.
"Kak, untuk ketujuh belas kalinya, kumohon! Jangan bawa masalah pacarmu, atau mantan PACARmu itu kepadaku!"
Di meja makan, aku mulai meneriakkan keberatanku kepadanya. Tanganku beberapa kali menggebrak-gebrakkan meja untuk membuatnya mendengar.
"Kenapa?"
"Ini sudah 17 kali! 17 KALI!"
"Ohhh" Kakakku mengalihkan pandangannya.
Yang benar saja? Ini tanggapanmu atas semua yang kau lakukan?
Aku tak tahan dengan tingkahnya ini.
"Sudahlah aku tidak peduli"
Sebaiknya aku tidak perlu berlama-lama di sini. Kepalaku mudah terbakar dibuatnya.
"Oh ngomong-ngomong Rasyid(memberikan sebuah pageblug sambil tersenyum licik).... Tidak baik untuk seorang guru menggunakan senjata rusak." Dia memberikan pageblug baru.
Sial, aku telat. Dia sudah tahu.
Aku terlambat untuk memperbaikinya, lupa bahkan. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk mengelak.
Aku hanya bisa pasrah menerima pageblug pemberian kakakku.
Sebuah curved sword terbentuk oleh senjata itu. Pedang itu mirip seperti pedang dari arab.
Sepertinya kakakku menyadari kalau aku bertarung hanya mengandalkan satu mata pedangku saja.
Bukan berarti aku senang karena menerimanya.
Kakakku tersenyum tanpa mengatakan sepatah kata lalu pergi mendahuluiku ke kantornya.
Aku melambaikan tanganku untuk membalas senyumnya tanpa melihatnya dan fokus pada pageblug pemberiannya.
Keren, harus kuakui.
Berat buatku untuk mengakui ini semua.
Dan bodohnya aku sampai melupakan masalah soal mantan-mantannya secara seketika.
Aku seperti sedang disogok olehnya.
***
Sebuah notifikasi berbunyi dari ponselku.
Lagi-lagi nomor tidak dikenal.
[Saya menanti anda mengajar, Pak Rasyid] dari Kanda Sophia.
Aku terdiam mengamati. "Kepala anak itu baik-baik saja, kah?'
......................
Naik dengan menumpangi bis, lalu sesampainya di sana aku melihat betapa sunyinya sekolah.
Para murid masih belum datang. Biasanya mereka mulai terlihat sekitar pukul 6:15 pagi.
Aku melihat jam di tanganku dan menunjukkan pukul 5:48.
"Aku kepagian, ya?"
......................
Di ruang guru, tak ada satupun orang di sini selain meja-meja berantakan para guru yang tersusun rapi dan sejajar. Mereka seperti sedang berbaris tanpa perintah. Setiap meja yang berantakan menyesuaikan kesibukan guru-guru itu.
Ada yang sedikit berantakan dan ada juga yang seperti kapal pecah.
Contohnya meja yang kemungkinan milik Erika terlihat sangat berantakan sementara meja milik Tasya terlihat rapi, sedangkan meja Samuel dan Xander terlihat penuh namun tertata rapi.
Aku yakin meja Samuel tertata karena tidak tersentuh sama sekali, sedangkan Xander ada kemungkinan bila dia adalah orang yang kerja cepat. Belum lagi dia adalah pengguna elemen cahaya, segala tugas ringan akan jadi terasa cepat buatnya.
Aku benar-benar kepagian, mungkin ini yang mereka sebut semangat di awal hari kerja.
Mungkin besok aku berangkatnya lambat saja.
Duduk di kursiku sendirian dengan jenuh, aku membuka ponselku untuk mengisi waktu luang. Perhatianku terlalu fokus ke layar ponsel sampai tidak menyadari sekitarku.
"HALO PAK RASYID!!! ANDA PAGI SEKALI!!!"
"HARGGGGH!"
Teriakan Tasya mengagetkanku. Ponselku hampir terbang ke udara.
Dia menjulurkan lidahnya sambil memukul kepalanya sebagai permintaan maaf.
Bermain imut itu curang, jika tidak, mungkin akan kubanting dia saat aku kaget tadi.
"Reaksimu lucu sekali!" Tasya tertawa.
Aku hanya bisa merengut dan melekukan bibirku.
"Kenapa kau berangkat pagi sekali? Bukannya biasanya orang-orang berangkat sekitar pukul 6:30?"
"Kau jugakan?"
"Aku cuman semangat saja. Tapi kalo Pak Rasyid-kan pasti tidak mungkin. Wajahnya saja selalu datar, bahkan kemarin saat liburan, anda saja telat."
Wanita ini tidak tahu kapan harus nge-rem. Dia tidak bisa berhenti berbicara.
Aku terpaksa mendengar ocehannya sampai salah seorang guru datang.
Terkadang aku bingung pada diriku sendiri, 'kenapa aku bisa tahan dengan semua hinaan wanita pendek ini?'
Lupakan saja! Skip!
......................
Saat jam pelajaran, di arena bertarung.
"Hyaahh!" Moka maju ke arah Hakam.
Hakam menghindarinya dengan melompat ke samping dan langsung mengayunkan halberd-nya memutar ke arah Moka.
Sayangnya karena senjatanya yang berat, Moka yang merupakan pengguna senjata ringan dapat dengan mudah menghindarinya.
Hakam Surya, seorang pegguna halberd dan tidak dapat menggunakan sihir dengan baik. Banyak yang bilang kalau kemampuan bertarungnya cukuplah mengerikan(secara harfiah), terlebih, kelemahannya terhadap musuh yang cepat masih belum bisa teratasi.
Dan di sisi lain, lawan anak itu.
Monika Mahama atau yang biasa disebut Moka merupakan ketua kelas dan seorang pengguna dua pisau. Kecepatan dan ketelitiannya sangat ditakuti. Namun dia terlalu fokus pada pola serangannya sehingga menjadi kelemahannya. Semisal musuh tiba-tiba keluar dari pola yang diinginkan anak itu, dia akan spontan terkejut dan membiarkan dirinya terbuka sehingga memberi kesempatan pada lawan untuk menyerang.
Tanganku memegang keningku yang tertunduk, 'mengerikan' itulah penilaianku setelah melihat pertarungan mereka berdua.
Pertarungan mereka berdua sangat kacau saat ini. Hakam yang lambat membuat setiap serangannya gagal mengenai Moka. Di lain sisi, Moka terus kehilangan polanya karena Hakam tidak pernah mengikuti pola menghindar yang dia inginkan.
"Bagaimana menurutmu pertarungan mereka berdua, Pak Rasyid?" Erika yang menonton bersamaku di meja penonton menanyaiku.
'Apakah ini beneran sekolah bergengsi yang diisi murid-murid top?' entah kenapa aku membuat wajah seperti mengatakan itu.
Ini malah seperti sekolah yang isinya hanya orang pamer kekuatan saja.
"Wajahmu mengatakan kalau kau kecewa berat(tersenyum kecut)."
Erika tidak heran atau kecewa sama sekali pada pendapatku. Dia malah menganggap hal itu adalah hal yang normal. Dia juga tidak merasa kecewa dengan kemampuan para murid di sini, seakan itu adalah hal yang lumrah.
"Maafkan aku. Tapi beginilah mereka. Mereka terlalu mendewakan kemampuan yang mereka terima di sekolah mereka terdahulu(Sekolah menengah)." Erika menjelaskan sebuah alasan yang masuk akal.
Menurutuku, ucapan Erika berada di tengah-tengahnya, ada benarnya dan ada salahnya.
Dari bagaimana kota ini berjalan, bisa dipastikan mereka tidak berani melepas kode etik mereka. Tekanan berat itu terasa di wajah mereka semua.
Itu semua seperti terpaksa mereka lakukan agar tidak dikucilkan desa.
Hidup tanpa bisa mati adalah sesuatu yang menyusahkan, ditambah dengan hidup harus bersosial membuat mereka tidak memiliki jalan keluar selain mengikuti.
Meskipun begitu, bila begini terus, sekolah ini mungkin akan merosok bila Nusantara tahu kalau keadaan sekolah itu seperti ini.
Aku mencoba memikirkan sesuatu. Aku melihati bangku-bangku di mana para murid yang kuajar duduk.
Dan tanpa sengaja, mataku terkunci pada wajah Sophia yang seperti sedang menunggu jawabanku.
Pesan tadi pagi... Jadi ini yang dia maksud?
"Aku bosan pertarungan mereka... Mereka seperti robot!" Siswa berkacamata mengeluh bosan melihat pertarungan mereka.
Dia adalah siswa yang sama yang menghinaku di awal hari masuk. Jika kuingat kembali, nama anak itu adalah Earl Stevent Xander. Salah satu keluarga bangsawan di kota ini. Dia juga adalah saudara atau adiknya Xander.
"Yah mau bagaimana lagi. Kode etik sekolah lama kita seperti menekan kita untuk selalu meremehkan lawan kita. Eh, kitanya malah seperti jadi samurai yang melawan mongol akhirnya." Siswa berambut coklat panjang sampai punggung menjawab Stevent.
Dia adalah Luna Gita Lestari, entah kesambet apa orang tuanya memberikan nama perempuan pada anaknya. Lupakan soal tadi, kurang lebih begitulah nama anak itu.
***
Karena tidak ada kemajuan, aku memanggil masuk mereka berdua.
Apabila membuat mereka praktek tanpa contoh, maka hasilnya hanyalah zonk semata.
Oleh karena itu,!
Aku mengangkat daftar nama siswa yang kupegang dan mencoba memilih 2 murid yang akan menurutku memiliki skill yang bagus.
Mataku terkunci pada dua nama murid yang memiliki statistik jomplang. Jomplang yang kumaksud adalah kemampuan mereka separuh kuat separuh buruk.
Murid pertama adalah siswa yang tak kusangka memiliki kekuatan sihir yang begitu kuat, namun memiliki fisik yang buruk, bila diandaikan, perbandingan kekuatannya sebesar 3:4(75% kekuatan sihir, 25% kekuatan fisik). Sedangkan murid kedua memiliki sihir yang tinggi namun dengan kekuatan fisik yang lemah, bahkan sampai menginjak angka nol.
Aku sedikit bingung, kenapa murid seperti mereka bisa ada di kelas Fisik bila sihirnya yang menggendong.
Melihat ke dua nama familiar, Aku ingin tahu bagaimana jika mereka berhadapan satu sama lain.
'Aku akan pilih yang ini saja,' ucapku dalam hati.
"Kanda Sophia dan Stevent Xander masuk arena!"
Kanda yang duduk mengawasiku dengan serius seketika tersentak dan kaget.
Stevent di sisi lain, dia tidak merasakan hal itu. Dia hanya berdiri lalu berjalan ke arena tanpa berkomentar sama sekali.
Tidak ada rasa gugup sama sekali terlihat di wajah Stevent.
Kedua belah pihak kini sudah ada di arena. Mereka berjabat tangan lalu berjalan ke posisi mereka.
"Pageblug mohon diaktifkan!"
Aba-aba pertama kulanturkan, mereka mengaktifkan pageblug mereka dan menggamnya kuat-kuat.
Sophia memegang kipas yang sama seperti kemarin, sedangkan Stevent memegang pedang yang terlihat mengkilap dan terawat.
Bila tidak salah, senjata anak itu diaebut Royal Sword(pedang kerajaan). Pedang yang hanya dipakai saat upacara penting.
Yang dipakai anak itu pasti replikanya saja, dan terlihat seperti memang diatur untuk bertarung.
"Bersedia!"
Saat aba-aba kedua kuteriakkan, mereka mengambil kuda-kuda mereka.
"Fight!" Pertarungan kumulaikan.
Stevent maju dengan memutarkan badannya sambil mengayunkan pedangnya. Sebuah sihir cahaya keluar dari tebasannya membentuk sebuah gelombang tajam yang mencoba menebas Sophia.
Sophia tidak merasa terkejut dengan serangan cepat itu, dia memaku di tempatnya dan mulai merentangkan tangannya lebar-lebar.
Dia berputat bagai helikopter dan membuat semua serangan Stevent terpental kemana-mana.
"Tunggu dulu?!"
Sepertinya pandanganku salah. Dia tidak berputar, melainkan kipasnyalah yang berputar mengelilinya dan membuat tornado itu.
"Kemampuan Sophia memang tidak diragukan lagi." Puji Erika.
"Tch!"
Dari sini aku bisa melihat Stevent berdecik kesal.
Dia langsung maju dan mengayunkan pedangnya dari bawah ke atas.
Namun sayang, sekali lagi Sophia menahannya dan menginfus sihir es ke kipasnya.
Dalam hitungan detik, pedang yang digunakan Stevent perlahan membeku sebagai akibat dari kontak fisik dengan kipas Sophia.
"Tidak akan kubiarkan!"
Stevent secara panik melempar pedangnya dan menggantinya dengan melayangkan tinjuan kuat yang bercahaya pada perut Sophia.
Itu tadi adalah elemen cahaya, dengan kecepatan seperti itu, Sophia tidak sanggup menahan datangnya serangan.
Sophia terkena hit dan Stevent mendapatkan 1 poin.
Tidak mau melepas kesempatan, Stevent berlari ke pedangnya dan mencoba mengambilnya.
Sepertinya anak itu sadar kalau bertarung melawan Sophia tanpa senjata adalah pilihan buruk.
Di awal memang akan terlihat seperti Stevent yang mengungguli, namun bila Stevent meneruskan untuk menyerang, maka dengan cepat, Sophia yang merupakan masternya sihir akan menghancurkan anak sombong itu dalam sekali tornado seperti itu lagi.
Namun sepertinya rencana Stevent untuk kembali pada pedangnya adalah rencana terselubung Sophia.
BOOM!!!
"Gyahh!"
Stevent terpental oleh bom es yang tertanam di pedangnya.
Kini kondisi 1 sama.
Tapi sepertinya tidak akan lama lagi.
Posisi mendarat Stevent berada di posisi yang membuatnya dalam kondisi seperti itu.
Lebih jelasnya, dia mendarat tepat di hadapan Sophia.
Dari bawah, dia bisa melihat wajah Sophia yang kosong namun penuh intimidasi. Kipas gadis itu seperti pedang yang ditujukan pada lawannya.
Perlahan aura es mulai memutari kipas itu dan menyebar ke belakang Sophia.
"Apa yang akan dia lakukan?" Ucapku dalam bingung.
Perlahan, satu persatu jarum es terbentuk di belakang gadis itu.
Jarum-jarum itu seperti bersiap menusuk semua yang ada di depannya(Stevent).
Apa yang akan kau lakukan, Stevent? Aku bertanya pada anak malang itu dalam hatiku.
"Aku menyerah!" Stevent yang ketakutan lalu menyatakan kekalahannya.
Sesaat setelah pernyataan menyerah itu, semua jarum yang melayang di belakang Sophia jatuh dan membuat seisi arena bergetar lalu hancur bagai butiran es.
Aku terdiam kagum pada kemampuan gadis itu, meskipun cuman sedikit(bukan karena sombong). Hanya saja, dia masih banyak celah.
"Sepertinya kali ini anda sangat puas dengan hasilnya" Erika yang melihatku terkagum hanya bisa tersenyum lega. "Apakah ini sudah membuatmu senang?" Erika mengganti topiknya.
Aku menggelengkan kepalaku.
Ini memang hebat tapi ini percuma bila yang mengagumkan dari kelas ini hanya mereka berdua saja. Dari penilaianku, dari semua murid di sini hanya Stevent dan Sophia saja yang tidak terpengaruh oleh kode etik almamater mereka. Mereka bertarung sesuai tempo yang terjadi di arena.
"Jika menurutmu masih belum memuaskan, maka kau tahu tugasmu sebagai guru, kan?" Pertanyaan Erika memiliki jawaban yang jelas.
"Ini adalah hari terakhirku mengawasimu, Pak Rasyid" (Erika)
Aku mengangguk.
Dengan melihat semua kemampuan mereka, aku tahu apa yang harus kulakukan untuk mengajar mereka.
Aku sudah menyiapkannya.
Erika tersenyum melihat jawabanku.
"Kalau begitu, permisi." Dia meninggalkan arena.
Kini aku akan mengajar sendiri. Aku sudah dapat semua yang kubutuhkan. Kini hanya bagaimana cara aku mengeksekusinya.
***
"Anak-anak! Kelas telah berakhir!"
Aku membubarkan kelas saat pelajaran berakhir.
Semua siswa berjalan keluar pintu arena dan pergi ke kelas mereka.
Melihati mereka yang berjalan, aku juga mulai beranjak dari sana.
Namun, saat kakiku baru saja menginjak keluar dari gedung. Aku menemukan seorang siswi yang berdiri sendirian sedang menungguku.
Aku tahu apa yang dia mau.
Aku membungkukkan badanku sambil memegang dadaku ke arahnya.
"Maafkan Bapak karena tidak bisa memberikan pelajaran yang kamu harapkan, Sophia."
Sophia yang bersenden di dinding gedung arena itu langsung meluruskan punggungnya, dan berjalan pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments