Matahari yang terbenam membuat diriku yang berdiri di tengah-tengah lorong terasa seperti berkulit hitam.
Retinaku tidak terlihat memantulkan cahaya dari matahari yang terbenam.
Seakan teringat oleh bayanganku mulai menghilang, aku mencoba mendekati gadis yang terbaring dan bersandar di semen yang berdiri itu.
Tanganku bergetar pelan saat mencoba merasakan cairan yang jatuh di lecetan yang ada di kerutan wajahnya.
Penutup mata anak itu seakan tiba-tiba tertendang ke atas dan menatap dengan beku orang yang di depannya.
Tangan kanan dan kirinya mulai meraba-raba tanah di sekitarnya dan menarik tubuhnya menjauh dari pria itu.
"Apa yang mau kau lakukan!"
"Cuman memeriksa kesehatan."
"Bohong! Kau pasti mau-"
"Tenanglah, Kau bukan tipeku! Aku tidak akan melakukan hal aneh."
Nafasnya terlihat menjadi lebih tenang setelah mendengar bunyi itu.
Di saat yang sama, aku yang sudah mendapat izin darinya mencoba memegang cairan merah yang ada di kerutannya.
Cairan itu seketika berhenti mengalir bersamaan dengan saat aku menyentuh celah di kulitnya.
"Terima kasih..."
Dia menatap ke arah ujung lorong dan secara tak sengaja melihat orang yang terbaring dengan pedang tertancap ke atas.
Sebuah lekukan terbuat di mulutnya, perasaan bebas seperti telah menjemputnya.
"Bagaimana caramu melakukannya? Seharusnya senjata para petarung tidak di desain untuk membunuhkan?!"
"Ya memang... Benda itu hanya menembus tubuhnya saja." Hidungku terasa panjang..
Pedang itu tertancap dan jika ditarik Fajri akan mati karena intinya hancur.
"Haaa?! Kenapa kau tidak membunuhnya?!"
Kekesalan saat mendengar omelan Sophia membuatku tertahan berekspresi. Dengan segera, aku membelai wajah siswi itu lalu kulebarkan menggunakan kekuatan cubitanku.
"Tenanglah, Erika akan ke sini!"
"Bo-bodoh, jangan mainin pipiku!"
"Banyak bacot..."
Ekspresi kosong seharusnya tidak keluar di saat seperti ini.
......................
Langit menjadi ungu, sesosok pria gendut dan wanita berjas ungu terlihat khawatir dan tak percaya diiringi erangan nafas mereka.
Jarak antar setiap langkah yang singkat membuat mereka dapat dengan cepat sampai ke sini.
Namun sebuah hamparan laut merah membuat mereka yang terengas berubah menjadi berkeringat dingin.
Ketidakpercayaan dengan apa yang ia lihat, membuat wanita itu menatap ke dinding untuk mengeluarkan isi perutnya.
Di lain sisi, mata Bahar yang terbuka lebar menatapku dengan kedinginan yang bisa membuat pingsan dirinya sendiri.
"Apa... Yang sebenarnya... Telah kau lakukan, Rasyid?"
"Atur nafas anda! Selagi pedang itu tidak dicabut, maka intinya akan meregenerasinya!"
Perlahan keseimbangan jiwa Erika yang menatap tembok mulai kembali. Badannya yang lemas menggunakan tembok sebagai sendenan dan mendekati Sophia yang tergelatak dengan malang itu.
Sebuah kehangatan tiba-tiba dirasakan oleh siswi itu. Belaian tangan dari Erika sangatlah efektif...
Namun, di dalam kehangatan itu...
Terdapat ucapan maaf di setiapnya.
Dengan berkacak tangan, Bahar menatap lemah Erika dan Sophia.
Dibalik mata yang lemas itu, terdapat sebuah isyarat di dalamnya...
'Menjauhlah!' Itu yang bisa kulihat dari matanya yang menyipit.
Sebuah tenaga yang lemah dipaksakan untuk bangkit oleh Erika. Dengan mata yang kosong, dia membawa Sophia yang sama lemahnya dengannya, berjalan tersandung-sandung sambil menjauh dari kami berdua.
Saat ini, pria yang terbaring itu bisa terlindungi oleh cahaya matahari karena tertutup oleh diriku dan Bahar yang saling menatap satu sama lain. Keinginan untuk meluapkan amarah yang meledak terlihat di mukanya.
"Jadi sekarang apa?!" Bahar mengangkat kedua bahunya. "kau yang buat masalah, maka kaulah yang harus membersihkannya!"
Meskipun ucapannya menusuk dalam ke dalam lubang kupingku, tapi aku yang tak punya hasrat ini tidak merasakan apa-apa.
"Status Fajri di sekolah ini adalah ter-PHK, bukan? Aku akan menggunakan alasan ini... Dia mati dalam jalan pulang ke rumah."
"Woy woy dia masih belum mati lo!"
"Kalau begitu kita biarkan dia sembuh dan membiarkannya berkeliaran?"
"Hei mana bisa begitu!"
"Bukannya kalian yang gagal untuk menghakimi Fajri dan memilih hanya mem-PHK-nya?"
Ucapanku tadi merobek lidahnya.
"Lakukanlah sesukamu Rasyid! Tapi ingat kau, jangan bawa-bawa nama sekolah ini! Aku yakin kau akan gunakan kekuasaan kakakkmu lagikan?!"
Suara keras dari angin yang sepoi-sepoi menemani pembicaraan kami di lorong itu.
Aku perlahan munundukkan kepalaku dengan mata tertutup ke bawah sebagai jawaban iya.
Mata dan mulut Bahar memiring dan menghela pergi dari lorong itu sambil membawa pot panasnya.
'Berarti sekarang semua terserah padaku?'
Jika melenyapkannya dengan meninggalkan mayat, aku akan merepotkan sekolah dan kakakku. Meskipun aku sudah bersumpah tidak akan membunuhnya tapi ini hanyalah satu-satunya jalan yang bisa kupikirkan.
Aku mencengkram kuat sambil memberi pijitan kecil pada pedangku yang menancap pria itu.
Perlahan, partikel es mulai keluar dari bagian konduktor pedang itu.
Aku akan membiarkan tubuhnya sampai mengalami frostbite(keadaan dimana suhu tubuh menjadi terlalu dingin dan menghitamkan kulit dan hancur berkeping-keping).
Tubuh Fajri sudah semakin hitam dan keras layaknya es.
Aku mengangkat pedang itu dari letaknya menancap dan mengambil kuda-kuda ke arah es batu itu.
Slash.....Slash.....Slash
Tubuh Fajri hancur berkeping-keping dan menjadi bongkahan es yang tak berbentuk.
Untuk sisanya, aku menggiring serpihan-serpihan itu ke ruangan di atas 60° C dan membiarkannya mencair.
'Fajri... Kini tinggal nama.'
......................
Malam hari, aku pulang bersama Kakakku.
Di rumah, aku hanya bisa menceritakan bagaimana aku gugup saat mengajar di kelas, tanpa menyinggunh soal Fajri sama sekali.
"Masih Rasyid seperti biasa... Kau membohongiku satu hal"
"Tidak semua hal bisa kuceritakan padamu, Kak!"
"Ya ya ya... Aku mau pergi tidur karena besok adalah hari kencanku."
"Sudah berapa wanita kau tiduri?!"
"Entahlah, aku tidak ingat."
BRAK!
Suara gebrakan pintu kamarnya terdengar keras dari meja makan ini.
Kemelongo-an ku masih tidak bisa hilang sampai dikejutkan oleh getaran dari benda kesayanganku.
Di lihat dari layar, terdapat satu pesan dari Erika yang terlihat di sana.
(Pak Rasyid anda belum masuk grup guru sekolah? Gunakan link ini untuk masuk!).
Formal sekali.
Aku menekan kata-kata biru itu dan disambut oleh nomor-nomor asing yang memenuhi beranda grup itu.
(Selamat atas terpilihnya anda menjadi guru di sekolah ini, Xander)
(Halo Pak Rasyid. Sebagai sesama guru baru mari kita bekerja sama ;), Tasya)
(Jika ada waktu luang ayo kita bertanding. Aku akan menguji seberapa mahir kau melawan Sniper Riffle-ku, Samuel Yucheng)
Aku tidak melihat nama Bahar memberiku ucapan.
Kesalahan ini, terlalu sulit untuk mendapat kata maaf.
Beberapa ketikan jam kemudian, ponsel itu berdering kembali.
(Sepertinya Bahar sedang meragukanmu, Erika)
Aku tidak bisa menyalahkannya. Akulah yang selalu membawa masalah. Aku tidak tahu masalah apa yang sedang dihadapi Pak Bahar. Aku lebih baik membiarkannya.
Notifikasi lain muncul di ponselku.
Nomor yang tidak dikenal?
(Terima kasih Pak Rasyid. Aku mendengarnya dari Sophia. Anda sudah menyelesaikan masalahnya meskipun dia sedikit kecewa karena anda tidak menghabisinya.)
Nama Monika tertera di pesan tersebut.
Ada baiknya kalau muridku tidak melihatku berdarah dingin.
Sebaiknya janji itu harus bisa kupenuhi di kesempatan ini.
Aku bercemin menggunakan Rusted Sword-ku.
Sambil tersenyum, aku mengelapi cerminan diriku dan mengingat masalalu saat aku masih benar-benar menganggap kalo Pertarungan adalah sebuah sport.
"(Maaf ya tapi dia ini milikku!)"
BRAK!
Suara dari jam mundur mengejutkan bulu kudukku. Rusted Sword yang kupegang terbanting keras dan rusak begitu saja.
Perputaran kencang terjadi di dalam keningku, keadaan ini diperparah dengan perasaan ingin membuang isi lambungku dari mulut.
'Jangan... Ingat ini!'
Bengong terlalu lama... Sebaiknya jangan kulakukan lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments