Malam hari di meja makan bersama kakakku.
"Kak... Mau bertanding?"
"Hmm... TumBwen sekwali kwau mintwa itu?" Kakakku ngobrol dengan mulut penuh.
"Telan dulu makananmu!"
Kakakku menelan makanannya, "Maaf-maaf(tersenyum tanpa rasa dosa)."
"MAAF-MAAF!"
"Jadi, gulp(menelan makanannya)! Kenapa tiba-tiba?"
"Dulu~ saat aku masih bekerja dibawah nenek itu, aku sudah terbiasa bertarung hampir setiap hari tanpa henti. Aku selalu melawan orang, membunuh orang, dan merusak orang(dalam artian mental)... Tapi semenjak aku menjadi guru... Semua itu tidak pernah kulakukan. Aku merasa kalau aku melemah saat ini."
"Bukankah itu artinya bagus, kau tidak perlu mengotori tanganmu lagi untuk nenek itu. Lagipula, perasaan kau pernah melawan guru kelas sihir dan guru kelas 1 fisik 4."
Yang dimaksudnya kelas sihir adalah Vicky, dan untuk kelas 1 Fisik 4 adalah Erika.
"Mereka(menundukkan kepala)... Bagaimana harus mengatakannya...?" Aku tidak tahu bagaimana harus menyebut mereka, "Terlalu lemah," Mungkin itu sebutan mereka. Mereka bahkan sebenarnya bisa kukalahkan hanya dengan satu kali serang.
"Enak dong(bersenden di kursi)... Kau gak perlu susah payah latihan keras lagi."
*Bruak!
"Itu akan membuatku lemah!" Aku menaikkan volume suaraku dan berdiri dari kursiku sambil memukul meja makan.
"Baiklah~ baiklah~ tapi ingat! Aku tidak akan menahan diri(tersenyum licik)." Kakakku akhirnya menyetujui.
***
Kami berdua pergi ke arena khusus di kantor bupati. Aku dilarang berlatih di tempat lain karena kekuatanku terlalu kuat bahkan bisa menghancurkan arena jika aku tidak menahan diri.
Kami berdua berdiri berhadapan dengan pageblug yang sudah aktif di tengah arena yang sangat tertutup ini.
Kakakku dengan otot-ototnya yang kecil terlihat seperti tidak merasa keberatan dengan senjata yang dia bawa. Senjata itu berukuran sedikit lebih besar dari tubuhnya. Berbahan kayu dan sedikit kulit(hewan?), peti mati yang dia bawa terlihat sedikit menyeramkan buatku.
Berhubung senjatanya tidak dapat digunakan untuk bertarung. Peti itu lebih tepat hanya menjadi suplier sihirnya(semacam supply mana).
"Ouch... (Tertawa kecil)Berat sekali. Sudah lama aku tidak menggunakannya. Ini juga bisa dibuat mukul lo, ahahaha."
"Hentikan candaanmu itu Kak. Orang-orang bisa mengira kau itu gila." Aku memasang ekspresi datar.
"Tenanglah mereka akan sungkan memanggilku gila. Lagipula tidak ada orang di sini(pasang wajah optimis)."
"Bisa serius, Kak? Malam semakin larut." Aku menunjuk ke arah jam raksasa di arena yang menunjukkan pukul 9 malam.
"Oke, oke! Persiapkan dirimu, Rasyid!" Kakakku mengambil ancang-ancang.
"Pertarungan kita~ DIMULAI!" Aba-aba dari kakakku berbunyi.
Seketika aku maju dan mengayunkan pedangku ke atas.
*Ctang!
Namun serangan itu terlalu siput buatnya. Dia bahkan tersenyum sombong sambil menahannya hanya dengan dua jarinya.
"Apa kau benar-benar lupa cara bertarung?" Aku mengatakannya karena dia sudah tidak bertarung lebih dari 2 tahun.
"Kalau dasar-dasar mah gampang buatku!" Wajah sombongnya memberitahuku kalau dia masih sama kuatnya seperi dulu.
Aku melepaskan pedangku yang ditahan oleh kakakku lalu melompat mundur beberapa langkah.
Aku langsung mengangkat pedangku ke atas. Langit-langit arena seketika menjadi gelap dan diikuti percikan listrik di atas sana tiba-tiba bergelora.
*Duar!
Sebuah petir di dalam ruangan menyambar pedangku. Aku melepaskan petir yang terkumpul di pedangku itu ke arahnya.
*Bruk!
Dengan cepat, kakakku menggunakan peti yang dia gunakan sebagai perisai. Petir yang kulesatkan tadi langsung hilang tanpa jejak.
"Kau masih mengerikan seperti biasa, Kak."
Aku merasakannya. Sesuatu yang tidak bisa kudapatkan dari melawan mereka(yang lemah). Sensasi yang hanya bisa kujumpai setiap kali melawan lawan yang kuat.
Aku mulai masuk ke dalam mode diam dan memfokuskan diriku pada pertarungan.
Pedangku kulempar ke atas dan tertancap di dekat kakakku. Kakakku yang tahu arah serangan langsung membuat pintu peti menjadi sebuah perisai dan payung.
Seisi ruangan tiba-tiba menjadi basah. Hujan turun di arena dalam ruangan itu.
*Ctak!
Kakakku menjentikkan jarinya dan membakar seisi arena dengan api sehingga seranganku yang akan datang terbatalkan.
*Tersenyum licik!
Sayangnya aku sudah tahu kakakku akan melakukan itu.
Aku berlari di tengah neraka itu menuju pedangku yang tertancap di dekatnya.
Saat jarak sudah sangat dekat dan pedangku sudah kudapatkan. Itulah saat aku memiliki momen untuk menyerangnya.
*Slash!
Aku menebaskan gelombang angin ke arahnya.
*Burn!
Kakakku terbakar oleh apinya sendiri,
"Ahhhh(merintih)! Sialan kau, Syid!" Kakakku merintih kepanasan.
Petinya langsung bereaksi saat tuannya dalam masalah. Peti itu memuntahkan sebuah air ke udara dan menyemprotnya ke tanah seperti sebuah hujan.
Aku yang sudah menunggu saat seperti ini kembali melemparkan pedangku dan menancap di dekatnya.
"Checkmate brother."
Aliran petir seketika memutar di langit-langit membentuk sebuah pusaran. Pusaran itu memutari pedang menancap yang ada di bawahnya.
*Duar!
Petir menyambar pedangku dan Kakakku terkena konduksi dari air, seharusnya dia langsung akan pingsan dan K.O.
"Ha?!"
Kakakku masih berdiri di sana?
Dia berdiri tertunduk dan diam seperti patung di sana. Perlahan kepalanya menoleh kearahku. Rasa takut menguat seiring wajahnya terangkat.
*Wush!
"Checkmate brother." Kakakku tiba-tiba ada di depanku.
Tangannya yang berubah runcing karena sihir elemen tanah menusuk ke arah jantungku. Perlahan kesadaranku mulai hilang dan tubuhku mulai tak kuat menopang lagi.
Aku kalah dengan lubang di jantungku.
Latihan ini dimenangkan oleh Kakakku.
***
"Huh!"
Aku terbangun dari pingsanku. Refleksku sontak memegang lubang di jantungku, dan beruntungnya lubang itu sudah tidak ada.
"Ahhh(menghela nafas)..."
"Bangun juga kau, Pemalas." Kakakku menyapaku sambil duduk di kursi bagian penonton.
"Aku kalah(menutup kedua mataku dengan lengan)..."
"Tenanglah itu normal. Kau menang dariku itu mustahil." Dia tersenyum sambil menutup matanya. Itu adalah senyum penuh kesombongan miliknya.
Aku diberitahu kalau Anitya dan Pageblug milik kakakku sangatlah spesial. Anitya miliknya memiliki daya simpan sihir yang cukup tinggi dibanding dengan orang-orang normal pada umumnya. Kecepatan regenerasi tubuhnya sedikit lebih cepat, namun tidak berfungsi saat melawanku.
Pageblug miliknya adalah hadiah dari Nova saat dia menjadi wakil bupati. Aku jarang mendengar kalau pageblug punya sensor mirip jiwa/hati seseorang untuk melindungi tuannya.
"Kau tahukan kenapa kau kalah?" Kakakku menatap kursi seberang dengan tatapan penuh tanya.
"Aku terlalu terpacu pada tujuan(misi)ku."
"Jadi kau sadar ya?"
Mengerti atau tidak, aku tidak tahu. Sadar atau tidak, aku juga tidak tahu. Semua yang keluar di mulutku seakan muncul dengan sendirinya. Pikiranku bereaksi pada setiap kalimatnya tanpa perlu memikirkan jawabannya.
"Hari ini, aku mencoba membantu muridku dengan kekuatanku sendiri, namun temanku menahanku dan memintanya ikut membantu. Aku awalnya ingin menolak, namun aku hanya bisa terdiam dan menerimanya. Ucapannya saat mengatakan kalau semua sebaiknya dilakukan bersama-sama membuatku berpikir dua kali untuk semua tindakanku."
Semuanya terasa abu-abu saat diriku melakukan itu. Aku baru saja ingat untuk melihat warna saat temanku datang.
"Saat dia bilang, 'tidak selamanya uang membantu ' membuatku tersadar. Terkadang uang bukanlah yang diminta semua orang, melainkan sumbernyalah yang mereka cari."
Aku menyusun kalimat yang diucapkan Xander seingatku dengan memoriku. Semuanya tidak teringat jelas, namun setidaknya aku bisa menjelaskan poin-poinnya pada kakakku.
"Temanmu itu pastilah orang yang baik. Dia memperingatkanmu berdasarkan pengalaman yang dia miliki. Dia adalah pembaca suasana yang hebat." Kakakku menanggapinya dengan senyuman tipis. "Ngomong-ngomong, kenapa kau sangat ingin membantu murid-muridmu?"
Saat ditanya alasannya, aku tertunduk dan menatap apa yang ada di bawah. Pandanganku seakan melihat mereka yang sudah dibawah tanah. Mereka adalah sumber rasa sakitku.
"Aku hanya ingin dimaafkan." Aku menahan air mataku.
Kakakku yang paham arah pembicaraan langsung menundukkan wajahnya dan menghentikan pembicaraan ini. Dia tidak ingin membicarakan topik sensitif ini karena tahu betapa pentingnya 'mereka' buatku.
"Ternyata begitu ya..." Suara Kakakku lirih. "Beruntunglah kau sekarang bisa merasakan hidup." Air mata membasahi pipinya.
"Hey jangan menangis seperti itu. Itu menjijikan!"
Kenapa Kakakku menangis hanya karena aku merasa hidup? Lagipula, apakah dia bisa berhenti? Ini sangat memalukan. Aku harap tidak ada staf yang tiba-tiba masuk ke arena.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments