Pulang sekolah, Aku membawa Hakam ke ruang guru untuk berbicara dengan Xander. Kami sedang membicarakan soal memindahkan rumah milik Hakam. Sekaligus membahas soal pekerjaan yang diberikan Xander. Hakam sebenarnya adalah murid yang sangat berpotensi, namun potensinya terhalang oleh situasi.
"Kenapa aku dibawa ke sini?" Ucap Hakam yang bingung melihati kami berdua.
"Aku dengar dari Pak Rasyid soal keadaanmu. Saat aku mendengar ceritanya aku yakin satu hal...Kau benar-benar orang yang tepat, Nak." Xander menjelaskan dengan mata serius.
"Tepat soal apa?!" Hakam semakin kebingungan.
"Maafkan aku karena terlalu to the point... Kau butuh tempat tinggal baru bukan? Aku bisa memberimu tapi dengan syarat"
"Benarkah?!" Hakam terkejut dan senang.
"Tapi apa syaratnya? Bila hal yang aneh-aneh aku akan menolaknya." Hakam menambahkan dengan tegas.
"Setiap hari minggu... Kau datanglah ke keraton. Aku butuh 1 orang pembantu tambahan untuk membantu urusan keraton. Itu syaratnya..." Xander mengeluarkan senyum licik.
"Cuman itu? Bukannya upah dan usahaku berat sebelah?" Hakam mengerutkan dahinya.
"Sebanding kok...Karena kau akan bekerja seharian. Kau juga akan dapat upah normal. Anggap saja rumah yang kuberikan adalah bayaran awalnya." Senyum puas dia buat.
Sasuga...Nama pangeran bukan hanya sebuah gelar. Kukira dia hanya bermatabat, namun juga sangat licik. Xander benar-benar tahu kapan dia mengeluarkan image bermatabat dan licik.
"Yah kalau cuman itu saya sanggup. Saya juga sering bekerja sampai malam jadi pekerjaan ini mungkin lebih enteng." Hakam menerima dengan perasaan sungkan.
"Berterima kasihlah pada Pak Rasyid. Dia yang merekomendasikanmu kepadaku. Hahahaha..." Xander menunjukku dengan 5 jari kanannya.
Aku menundukkan badanku sambil memegang dadaku dengan tangan kananku sebagai jawaban.
"Pak Rasyid. Terima kasih!" Hakam sangat senang dan langsung salim mencium tangan kananku. Dia keluar dengan keadaan gembira.
"Hahahaha...Lihat wajah bahagianya, Syid. Kau guru yang baik." Xander hanya bisa tertawa ikut bahagia.
"Tapi apa tidak apa-apa tidak memberi tahu soal Stevent?" Aku khawatir.
"Tenanglah. Stevent selalu mendengarkan perkataanku."
"Xander...Terima kasih." Aku harus mengatakannya selagi bisa.
"Ini bukan apa-apa. Lagipula aku memang membutuhkannya dan juga setengahnya juga darimu, kan?" Dia mengingatkanku.
Xander sangat sayang sekali pada adiknya. Itu yang ingin ku katakan. Dia melakukan banyak hal demi adiknya seperti Kakakku. Aku harus menghormatinya.
Aku keluar dari ruang guru dan berjalan di teras-teras kelas sambil melihati arena bertarung dari kejauhan. Arena yang biasanya dipakai latihan oleh murid kini dipenuhi para guru yang sedang berlatih.
Aku melihat Tasya dan Erika sedang berbincang. Tanpa mendengarkan dan hanya melihat mereka apa yang sedang mereka bicarakan.
Wajah menangis kikuk Tasya menggambarkan kalau dia sedang putus asa dan meminta tolong ke Erika untuk melatihnya. Mata Erika melebar dan melotot sambil menahan emosinya saat melihat kekikukan Tasya.
Mataku dan Erika secara tidak sengaja bertemu. Mulutnya melengkung membentuk senyuman. Aku merasakan niat buruk. Aku mempercepat langkah kakiku untuk menghindarinya namun gagal. Erika memanggil namaku. Tasya yang mendengarnya melambaikan tangannya ke arahku.
Masalah baru lagi ini. Aku memegangi keningku.
Aku berjalan menemui mereka berdua dengan terpaksa. Dasar Erika...akan kubalas kau.
"Apa?" Aku menatap kecut Erika.
"Hehe..." Tasya menyapaku dengan senyum yang dipaksa.
"Kau ingat bukan? Kau pernah mengalahkanku saat itu." Erika sengaja mengeraskan suaranya agar terdengar Tasya.
"Hwaa(terkejut)!!! Pak Rasyid pernah mengalahkan Kak Erika?! Kapan?! Dimana?!" Mata Tasya bersinar kagum.
"Saat ujian masuk..." Aku melirihkan suaraku. Aku tidak bisa bilang saat hari pertama mengajar.
"Hwaa!!! Ujianmu berbeda dari peserta lainnya?! Seperti yang diharapkan dari rekomendasi wakil bupati. Bahkan ujiannya berbeda!" Tasya memujiku dengan mata yang masih bersinar.
"Ah hahahaha" Senyum paksa sajalah.
"Hey Tasya kenapa kita tidak minta Rasyid melatih kita saja. Bukannya itu akan lebih baik?" Erika tersenyum sambil menyenggol-nyenggolku.
Yang benar saja. Kenapa sifatnya tiba-tiba berubah. Erika yang kukenal memberikan tsundere vibe atau formal. Tapi kali ini dia sangat jail. Berapa kepribadian yang dia punya?
"Tapi bukannya Pak Rasyid kalah waktu melawan Samuel?" Tasya memegang dagunya.
"Saat itu aku lupa bawa Pageblug-ku dan meminjam milik Xander. Jadinya kemampuanku tidak maksimal." Aku berbohong semudah bernapas.
"Kalau begitu sudah disetujui kalau Rasyid yang akan melatih kita berdua!" Erika menyimpulkan sepihak.
"Mana bi-" Erika menyeretmu ke arena.
Di arena, aku berdiri sendiri dan dihadapanku ada 2 wanita yang sudah mengaktifkan pageblug-nya. Kenapa malah jadi begini.
"Kenapa aku bertarung melawan kalian berdua?!" Aku meneriaki ketidakadilan ini.
"Tenanglah Tasya menurunkan kemampuan bertarungku."
"Hey mana bisa gitu!" Tasya keberatan dan mengeluarkan air mata.
Aku mengaktifkan punyaku saat mereka sedang bertengkar.
"Senjata baru?"
"Punyaku rusak total."
Menatapi Curved Sword-ku, aku memikirkan apakah sebaiknya tidak ada tumbal untuk minggu depan? Aku kali ini sebaiknya benar-benar bisa menetapi janjiku walaupun kali ini ada dalam misi yang diberi Nova.
"Hoy.....Kenapa melamun terus?" Erika menatapiku dengan curiga
"Hati-hati Pak, nanti tidak fokus dan bakal kena peluru nyasarlo." Tasya mulai menceramahiku. Aku sebaiknya langsung mengangguk daripada latihan tidak akan dimulai.
--------------
"Persiapkan dirimu, Syid! Aku kali ini yang akan membelah badanmu!" Erika memasang wajah yang menyeramkan.
"Aku datanglo." Tasya mengambil inisiatif menyerang duluan.
Dia mengayunkan cambuknya ke arahku. Jarak yang cukup jauh bisa dia capai dengan senjata itu. Namun, cambuk kurang ampuh untuk melukai.
Aku harus menghindarinya kebelakang. Cambuk akan dengan mudah memutarkan arahnya bila lawannya menghindar ke samping.
"Aku sudah berlatih! Kenalah!" Tasya menambahkan element tanah ke cambuknya. Cambuk yang tadi polos kini memiliki duri di sekujurnya.
Tasya maju ke depan dan mengibaskan cambuknya ke arahku.
Semakin pengguna dekat dengan musuhnya maka musuhnya akan semakin sulit menghindar. Tapi kelemahan senjata itu ada dalam panjangnya senjata.
Aku menggunakan sihir tanah ke tanganku. Tanah keras menjadi sarungku.
Dengan cepat aku menangkap cambuk Tasya yang mengibas-ngibas. Aku menariknya dan melemparnya ke ujung arena. Kini Tasya kehilangan senjatanya.
"Sudah kubilang aku sudah berlatih!" Tasya maju membuat replika pedang dari tanah dan mengayunkannya ke arahku.
Aku menahannya dengan tanganku. Sarung tanganku hancur seketika. Ayunannya sangat kuat.
Aku mencoba mengeluarkan sihir airku. Namun pancaran listrik keluar dari pedang itu. Aku terkena setrum kuat karena mengeluarkan sihir air. Tak kuat menahan, aku terpental ke belakang.
"Bagaimana Pak? Hebat bukan?" Senyum kemenangan terpampang di wajahnya.
Aku terlalu meremehkannya. Mungkin karena tidak pernah melawan orang yang bermain pintar di sekolah ini. Aku jadi tidak melihat itu akan terjadi.
Ada yang aneh di posisi Tasya yang berdiri sendiri di sana. Tapi apa? Apa yang aneh? Aku melupakan sesuatu.
"Lupa aku?" Erika membidik ke arahku dari atas. Dia bisa terbang? Sinar matahri tertutup olehnya. Sihir api dia gabungkan ke anak panah.
"Ini pembalasanku!" Erika melesatkan anak panah.
Tiba-tiba ratusan anak panah berapi menhujaniku. Aku akan kalah. Tidak..... Aku melupakan hal o
penting. Aku mengingatnya dan melemparkan pedangku ke arahnya.
Hujan tiba turun dan mematikan api dari para anak panah itu. Tidak mau membuang-buang waktu, aku langsung membuat pelindung dari dari tanah.
Tasya juga tidak akan membuang kesempatan emas ini. Sambaran petir hampir mengenaiku. Aku sudah membaca serangannya. Petirnya tidak bisa melewati tanah yang kokoh.
"Tidak akan kubiarkan!" Erika yang masih terbang turun dan mencoba fire high jump kick ke arahku.
Perisai tanah yang kubuat hancur. Wajah puas Erika terpampang saat menghancurkannya. Tapi kepuasannya berubah menjadi kekecewaan.
"Yo" Aku sudah bersiap menebasnya dengan pedang yang sudah kugabungkan dengan sihir air.
Slash!
Erika tumbang.
"Kak Erika!" Tasya menjerit karena kini dia sendirian.
"Musuhmu masih ada." Aku menggunakan kesempatan ini dan mendekati Tasya yang masih panik. Aku menusuk tubuh kecilnya dengan tanah yang kulancipkan. Serangan yang sama dan kudapat saat kalah melawan kakakku tadi malam.
Mereka berdua sudah kalah. Erika yang sudah kembali siuman dari tadi datang dan menjewer kupingku.
"Kenapa kau sama sekali tidak menahan diri saat melawanku. Kau membelahku tanpa rasa bersalah." Dia jengkel.
"Badanmu terlalu besar, jadi kau mudah dibelah." Aku mengatakan kata-kata terlarang. Aku siap ditampar.
Namun aku kecewa karena dia tidak menamparkaku. Aku malah melihat dia sedih dan berkata. "Aku gendut?!" Air mata keluar dari matanya.
"Tidak kok. Kau langsing dan cantik." Aku menarik kataku karena bersalah dan memujinya.
BUK
"Ouch..." Pukulan perut kuterima.
"Ha? kau memujiku? Menjengkelkan." Erika malah jengkel.
Aku mendapat yang kuinginkan tapi kenapa tidak nikmat sama sekali.
"Wah dia senang sekali." Tasya jalan mendekatiku.
"Senang dari mana....Aku menderita..." Aku menahan sakit di perutku.
"Dia memerahlo"
"Memerah? Maksudmu menjadi iblis begitu?!"
"Kau payah sekali Pak Rasyid." Tasya melototiku kecewa.
"Entahkah aku tidak tahu. Aku mau pergi dulu." Aku pamit pergi sambil menahan perut. Pukulan dari para mantan Kakakku biasanya tidak sesakit ini. Aku merasa ada tulangku yang patah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 179 Episodes
Comments