Suara jengkrik terdengar mengisi malam yang kini terasa sepi, setelah Sarifuddin keluar dari kamar tak ada lagi dari mereka yang bicara. Setelah menghabiskan waktu Maghrib-nya untuk tidur kini jam menunjukan pukul delapan malam. Keempatnya kini terlihat masih berbaring di atas kasurnya masing-masing.
"Aaaaaa!!!" teriak Ali secara tiba-tiba membuat Islam, Kristian menoleh dan begitupun juga dengan Abirana yang langsung mendongak.
"Kenapa sih teriak-teriak kayak orang kesurupan?" tanya Abirama.
"Kambuh kali ni," sahut Kristian.
Ali yang duduk di kasurnya itu nampak mengusap kasar rambutnya lalu kembali membaringkan tubuhnya ke kasur seperti orang stres.
"Nggak enak banget kalau nggak ada handphone tau nggak. Kek orang bego gue," jelasnya.
"Kan emang lo bego," ujar Islam.
"Emang kenapa? Kamu mau telpon Amma kamu yah?" tebak Abirama.
"Nggak anjing, gue mau nonton bokep," jawabnya membuat Islam, Kristian dan Abirama yang sejak tadi khawatir kini mendengus kesal lalu kembali pada kesibukannya masing-masing.
"Ah rasanya tubuh gue lemas gitu, kayak nggak ada semangatnya gitu. Bokep itu sumber tenaga bagi gue, jadi kalau gue nggak nonton yah nggak bisa gerak gue."
"Yah itu mah lo aja yang sangean, otak lu terlalu kotor sih makanya kayak gitu," ujar Islam yang masih menatap bagian bawah ranjang besi yang ditempati oleh Kristian.
"Lo Islam, kalau lo gimana? Kayaknya lo juga nggak rela kalau handphone lo diambil orang tua itu."
Islam terdiam, ia memiringkan tubuhnya agar wajahnya yang sedih disaat ia mengingat Umi tak dilihat oleh Ali yang menatapnya.
"Nggak biasa aja tuh," bantah Islam.
Ali memonyongkan bibirnya dan mendecapkan-nya.
"Gue juga mau ngerokok nih. Tan!" panggil Ali membuat Kristian yang sedari tadi menatap tulisan kaligrafi Al Qur'an yang terpajang di dinding.
"Apa?" sahutnya.
"Lo bawa rokok kan?"
"Ada di tas."
"Ngerokok yuk!"
"Eh mana boleh! Kata pak Kiyai nggak boleh ngerokok," ujar Abirama mengingatkan.
"Emang kenapa sih? lagian siapa yang mau denger tuh perintah si tua itu."
"Hati-hati kamu kalau ngomong, cucunya ada situ tuh!" Tunjuk Kristian ke arah Islam yang masih membelakangi mereka semua.
"Ah, cucunya aja nggak sopan terus nggak peduli apalagi gue," ujar Ali.
"Ah berisik banget sih lo semua," kesal Islam yang kini mengusap daun telinganya.
"Wah mati kelaparan kita," ujar Abirama membuat Islam, Kristian dan Ali yang langsung menoleh menatap Abirama yang berdiri di depan kertas berisi peraturan pesantren.
"Kenapa, Ram?" tanya Kristian.
"Ini waktu makan malam kita udah habis."
"Habis gimana maksud lo?" tanya Islam yang kini telah duduk di pinggir kasurnya.
"Di peraturan tertulis kalau makan malam itu dimulai jam delapan malam."
Mendengar hal itu membuat Kristian dengan cepat menatap jam di tangannya.
"Sekarang udah mau jam sembilan malam," ujar Kristian.
"Loh berarti kita semua nggak makan dong," ujar Ali.
"Mati dong kita," ujar Islam.
"Udah mau waktunya tidur," ujar Abirama.
"Hapal banget lo sama peraturan," ujar Ali.
"Yah namanya juga kita menumpang hidup di sini berarti kita harus mematuhi peraturan yang ada di sini," jelas Abirama yang masih menatap keras peraturan.
"Lo jangan terlalu patuh sama peraturan di pesantren! Ingat agama lo apa!" ujar Ali mengingatkan.
Percakapan mereka terhenti disaat pintu dibuka oleh Sarifuddin membuat semua orang menoleh menatap Sarifuddin yang terlihat tersenyum.
"Assalamualaikum," ujarnya memberi salam lalu menutup pintu.
Tak ada jawaban salam dari mereka berempat. Mereka hanya menatap serius ke arah mana Sarifuddin melangkah. Sarifuddin melangkah ke arah ranjangnya yang berada di tengah antara ranjang bertingkat milik Ali dan Abirama di sebelah kiri dan ranjang bertingkat milik Kristian dan Islam di sebelah kanan.
Sarifuddin melepas baju koko, sarung dan peci lalu menggantinya dengan kaus biasa dan sarung hitam. Sarifuddin kemudian berbaring di tempat tidurnya setelah membaca doa sementara Islam, Kristian, Abirama dan Ali hanya terdiam menatap setiap gerakan tubuh pria yang selalu tersenyum lebar itu. Kedua mata Sarifuddin terpejam membuat keempatnya saling bertatapan, apakah pria berkulit sawo matang itu sudah tertindur? Semudah itu?
"Lo udah tidur?" tanya Islam yang duduk di pinggir kasurnya menghadap ke arah Sarifuddin yang kedua matanya telah tertutup rapat.
"Belum," jawabnya.
"Terus? Ngapain tutup mata?" tanya Islam lagi.
Mata kiri Sarifuddin terbuka menatap Islam yang masih menatapnya.
"Siap-siap untuk tidur."
Mendengar hal itu Ali menggeleng lalu ikut membaringkan tubuhnya ke kasur.
"Heran gue sama santri di sini, bisa-bisanya mau diatur sama peraturan di pesantren ini," oceh Ali.
"Namanya juga menuntut ilmu to yah kita harus patuhi semua peraturan. Apalagi di sini kalau melanggar peraturan bisa bahaya."
"Bahaya gimana maksudnya?" tanya Abirama yang berbaring sambil menopang kepalanya seperti seorang ibu yang menyusui anaknya di atas kasur.
"Yah bahaya hukumannya, nanti kita semua juga tau kalau sudah liat," jelas Sarifuddin.
"Oh iya ngomong-ngomong lo belum perkenalan diri, nama lo siapa?" tanya Islam.
Sarifuddin tersenyum lalu membuka kedua matanya lalu menjulurkan tangan kanannya ke arah Islam.
"Perkenalkan nama ku Sarifuddin, bisa dipanggil Uddin. Umur saya 17 tahun, saya anak ke tujuh dari tujuh bersaudara-"
"Waduh kuat juga bokap lo, hehehe," potong Ali lalu tertawa cekikikan.
"Cita-cita saya ini mau jadi anggota DPR-"
"Ngapain jadi anggota DPR? Orangnya korupsi semua," sahut Kristian.
"Ingin merubah pandangan rakyat," jawab Sarifuddin.
"Widih keren juga kamu," ujar Kristian.
"Saya ini asalnya dari kota Makassar, tau ji to?"
"Sulawesi Selatan yah?" tanya Abirama.
"Iye," jawab Sarifuddin sambil tersenyum.
"Nama gue Islam, gue-" ujar Islam yang kini menjabat tangan Sarifuddin.
"Cucunya pak haji Kiyai, saya tau ji," jawab Sarifuddin.
Islam menghela nafas lalu melepas jabatan tangannya dan berbaring ke atas kasurnya.
"Seterkenal itu gue sebagai cucunya si tua bangka itu sampai-sampai lo juga tau?"
"Oh tau sekali, setiap hari pak Haji Kiyai itu hanya bicara tentang kita."
"Kita? Gue aja kali, bukan lo!" ujar Islam.
"Hah, begini memang bahasa orang makasaar, kalau kata kita itu artinya kamu," jelasnya.
"Aneh bahasa lo," ujar Islam.
"Bukan saya yang aneh, yang aneh itu yang bikin bahasa," jawab Sarifuddin.
"Nama saya Kristian, saya orang sunda, salam kenal," ujar Kristian sambil menjulurkan tangannya yang disambut cepat oleh Sarifuddin.
"Kalau saya Abirama, saya asli orang Bali tapi semenjak kuliah saya tinggal di Jakarta, ngekos saya," jelasnya sambil berjabat tangan.
"Kalau gue Ali..."
Sarifuddin mengangguk sambil berjabat tangan dengan Ali.
"Ali siapa?"
"Ali baba, yah Ali aja! Emang lo kira nama gue siapa?" nyolot Ali.
"Oh jadi nama Akhi ini Ali baba?"
Ali melongo, setelah jabatan tangan mereka terlepas Ali langsung menggaruk kepalanya yang tak mengerti.
"Maksud lo, yang bilang nama gue Ali baba siapa sih?" kesal Ali.
"Tadi kita bilang sendiri."
"Lo kalau banyak bacot, mata lo merem gue cekik lo." Tunjuk Ali dengan kesal.
Bruk
Bruk
Bruk
Percakapan mereka terhenti saat pintu diketuk cukup keras membuat mereka menoleh menatap pintu.
"Waktunya tidur!!!" teriak seseorang di luar pintu.
"Anjing, siapa tuh yang teriak?" kesal Ali.
"Itu bukan anjing, itu Ustad Syuaib," jawab Sarifuddin yang kemudian melangkah dan berbaring di tempat tidurnya.
Tak berselang lama lampu yang di dalam ruangan mati menjadi suasana kamar menjadi gelap gulita.
"Kok mati lampu?" tanya Islam.
"Belum diisi kali nih," tebak Ali.
"Sudah waktunya tidur, jadi semua lampu di pesantren itu sudah dimatikan secara langsung di pusat," jelasnya.
"Pusat mana?" tanya Kristian.
"Ruangannya pak haji Kiyai," jawabnya.
Kini suasana menjadi sunyi dikala suara jengkrik bernyanyi mengiringi heningnya malam hari ini. Setelah percakapan mereka, tak ada lagi diantara mereka yang bicara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Siska Ika
aku ngak suka yah baca setengah ² 😏
penasaran soalnya
2022-04-22
0