Mawar hanya mampu tertunduk di hadapan Akbar yang sudah sejak tadi melontarkan kalimat kecewanya yang begitu panjang seakan mengeluarkan semua kekecewaannya itu pada sang istri yang menurut Akbar telah gagal dalam mendidik Islam.
Akbar sama sekali tak menyangka jika putra satu-satunya itu tumbuh menjadi anak geng motor dan berpenampilan seperti preman pasar. Akbar tak bisa membayangkannya jika semua orang-orang di pesantren tahu jikalau anak dari Akbar dan cucu seorang kiai yang sangat dihormati memiliki anak yang tidak berpendidikan dalam hal agama. Menurut Akbar agama adalah nomor satu apapun itu.
"Sepertinya-" Semua orang menoleh, Mawar, Akbar dan Syuaib menoleh menatap Abah Habib yang akhirnya buka suara saat sejak tadi suasana menjadi sunyi setelah Akbar melontarkan kekecewaannya kepada Mawar.
"Sudah Abah putuskan baik-baik hal ini jika Islam akan Abah bawa ke pesantren dan menetap di sana sampai Islam paham agama."
Mawar membuka mulut rasanya ia ingin bicara tapi ia takut jika nanti ujarannya mendapat bantahan dari Akbar.
"Saya setuju Abah, Islam harus kita bawah ke pesantren agar mendapat didikan agama Islam yang sebenarnya. Akbar tidak mau jika Islam menjadi anak yang bebas bersikap kepada siapa saja tanpa memiliki sopan santun seakan tidak pernah dididik agama oleh orang tuanya."
Mawar seakan tersinggung dengan ujaran Akbar membuatnya melirik menatap Akbar yang rupanya sedang menatapnya. Sudah jelas jika kalimat itu untuk Mawar.
"Mawar!"
Mawar menoleh menatap Abah Habib yang kini tersenyum menatapnya walau sejujurnya senyum itu menyimpan kekecewaan.
"Iya, Abah."
"Antum setuju kan kalau Islam tinggal di pesantren?"
Mawar tersenyum lalu mengangguk tanda setuju.
"Setuju, Abah."
"Alhamdulillah. Antum tenang saja! Islam akan baik-baik saja di sana. Abah akan sesekali membawa Islam ke sini untuk bertemu dengan antum."
"Bertemu?" tanya Mawar tak mengerti.
Mawar memajukan dudukannya seakan ingin mendengar lebih jelas apa arti dari kalimat Abah Habib.
"Tunggu! Afwan Abah. Bertemu bagaimana maksud Abah?"
"Iya, Islam akan Abah bawah ke pesantren dan Abah akan sesekali membawa Islam ke sini untuk bertemu dengan antum," jelasnya.
"Apa maksudnya ana tidak ikut ke pesantren, Abah?" tanya Mawar sambil menyentuh dadanya.
Abah Habib tersenyum lalu menggeleng dan sudah jelas jawabannya berarti tidak. Mawar tak ikut ke pesantren.
"Kenapa?"
"Mawar, di pesantren tempat untuk menuntut ilmu agama, bukan untuk pergi jalan-jalan," ujar Akbar.
"Lalu ana akan berpisah dengan Islam? Mawar tidak bisa berpisah dengan Islam."
"Mawar!" panggil Abah Habib membuat Mawar menoleh.
"Abah akan menyempatkan waktu untuk membawa Islam ke rumah agar bisa bertemu dengan antum."
"Tapi-"
"Mawar, ini demi kebaikan Islam sendiri. Ini juga terjadi karena kamu sendiri. Andai saja kamu mendidiknya dengan baik maka-"
"Akbar!" tegur Abah Habib ketika nada bicara Akbar kembali terlontar dengan tegas.
Akbar menghentikan ujarannya lalu menarik nafas panjang. Rasa kekecewaannya kepada sang istri tak bisa ia tahan.
"Tidak usah diperpanjang!" ujar Abah Habib membuat Akbar mengangguk pelan lalu menunduk.
"Antum setuju kan, Mawar?" tanya Abah Habib.
Mawar tertunduk sambil memeras jarinya. Sejujurnya ia tak ingin berpisah dari Islam. Selama ini Mawar tak pernah berpisah dari Islam lalu bagaimana jika Mawar harus berpisah jarak antara ia dan Islam, tak sanggup rasanya.
"Ini demi kebaikan Islam," tambahnya membuat Mawar mengangkat pandangannya menatap Abah Habib.
"Widih, lagi bahas apaan nih? Kayaknya seru banget," ujar Islam yang terlihat melangkah menuruni anakan tangga membuat orang-orang yang berada di ruangan keluarga itu menoleh.
"Islam, kemari Nak! Abah mau ngomong sesuatu!" panggil Abah.
"Ngomong apaan?" tanya Islam yang kini sedang memasang jaket hitamnya.
Mawar yang melihat gerak-gerik Islam akan pergi itu membuat Mawar bangkit dari kursi dan menghampiri Islam.
"Islam mau kemana?"
"Ke basecamp," jawabnya singkat lalu meraih kunci motor dan helm hitamnya.
"Islam, Abah mau ngomong sesuatu," ujarnya memberitahu.
"Ayo duduk!" ajaknya sambil menepuk permukaan kursi.
"Nanti aja deh, Islam buru-buru soalnya," tolaknya lalu melangkah.
"Islam!" panggil Mawar yang kini memegang pergelangan tangan Islam dengan nada suara lembutnya.
"Lima menit saja, Nak. Ini itu penting," jelasnya lagi.
"Nanti aja lah, Umi. Nanti kalau Islam balik dari nongkrong nanti baru Abah ngomong, yah?"
"Tapi Islam-"
"Islam!!!" teriak Akbar membuat semuanya tersentak kaget dan menoleh menatap Akbar yang kini telah berdiri dengan wajah marahnya.
Akbar melangkah mendekati Islam yang kini menatap Abi nya dengan tatapan tak senang. Jujur saja Islam tak suka dibentak oleh siapa pun.
"Abi, tolong jangan-"
Ujaran Mawar terhenti ketika Akbar mengangkat tangannya ke arah Mawar, menyuruh Mawar untuk diam.
"Mau kemana?" tanya Akbar.
"Gue mau ke basecamp," jawabnya.
"Islam!" tegur Mawar ketika cara bicara Islam yang tak sopan.
Akbar menggeleng dengan tatapan tak menyangka.
"Ini hasil didikan antum?" tanya Akbar sambil menunjuk Islam dengan tatapannya yang menatap Mawar.
"Nggak usah nunjuk gue!" ujar Islam sambil menghempas tangan Akbar membuat kedua mata Akbar terbelalak kaget.
"Berani antum!!!" teriak Akbar yang kini berusaha untuk menarik kerah baju Islam yang dengan cepat dijauhkan oleh Mawar.
"Emang gue berani!!!" teriak Islam yang juga berniat untuk mendekati Akbar.
Di satu sisi lain Syuaib berlari dan memegang tangan Akbar agar tak melangkah mendekati Islam.
"Dasar anak kurang ajar!!!" teriak Akbar.
"Akbar!" panggil Abah Habib yang kini melangkah dan mendekati Akbar dan mengusap punggungnya.
"Heh! Lo denger yah! Kalah lo emang mau anak lo ini nggak kurang ajar, harusnya lo bisa ada disaat dia butuh didikan orang tuanya tapi lo sebagai Ayah nggak bisa ngedidik Anak lo sendiri dan lebih memilih ngedidik orang lain dengan ilmu agama," jelas Islam.
"Lo kemana aja selama ini?"
"Lo cuman sibuk sama tugas lo sebagai ustad dan dosen tapi lo lupa sama tugas lo sebagai Ayah!!!" teriak Islam.
"Lo bilang kalau Umi gagal mendidik Islam lalu apa didikan yang lo kasih ke Islam! Ada nggak?
Akbar terdiam, tak ada jawaban.
"Nggak ada kan? Karena lo nggak ada waktu buat keluarga."
"Bahkan tahun lalu lo bilang kalau lo mau pulang ke rumah tapi apa? Lo nggak datang kan? Dan lo tau nggak kalau Umi-"
"Islam!" tegur Mawar yang kini menutup mulut Islam agar berhenti untuk bicara.
"Biar Umi, Iskan mau ngomong!" ujarnya menggenggam tangan Mawar.
Islam menoleh menatap Akbar yang tak lagi menatapnya dengan marah.
"Umi nangis," sambung Islam.
Akbar menoleh menatap Mawar yang kini terlihat tertunduk.
"Umi sedih karena lo nggak datang dan sekarang lo berani ngebentak gue."
Islam melepas genggaman tangannya di pergelangan tangan Mawar lalu beranjak, ia melangkah pergi tanpa memperdulikan Akbar dan Mawar yang memanggilnya.
"Islam!" panggil Abah Habib membuat Islam menghentikan langkahnya.
"Abah mau bicara, setelah bicara antum boleh pergi," ujarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Muhammad Yusuf
jangan salah kan anaknya yg salah itu orang tuanya
2022-10-23
0