Mawar meletakkan secangkir kopi di atas meja sambil menatap Abah habib yang kini sedang berdiri di depan pintu.
"Abah tunggu siapa?" tanya Mawar membuat Abah Habib menoleh.
Abah Habib melangkah lalu duduk di kursi tamu dengan kedua sorot matanya yang masih fokus pada pintu utama.
"Jam berapa Islam pulang?"
"Islam biasanya pulang jam tiga malam."
"Jam tiga malam?"
Mawar mengangguk membuat Abah Habib menghela nafas.
"Kamu tidak marah?"
Mawar menggeleng. "Bagaimana ana bisa memarahi Islam, Abah. Ana sangat sayang sama Islam."
"Mawar, antum boleh sayang tapi bukan berarti antum membebaskannya seperti itu. Jam pulang untuk seorang anak adalah di bawah jam sepuluh malam, lewat dari itu maka tutupi dia pintu," jelas Abah Habib.
"Afwan, Abah tapi ana tidak bisa melakukan hal itu," jawab Mawar.
"Antum terlalu memanjakannya."
"Karena dia anak ana, Abah. Apa ana salah? Afwan Abah."
"Abah tau. Setelah Islam tinggal di pesantren maka Abah yakin sifatnya akan berubah."
Keduanya menoleh menatap ke arah pintu ketika suara kendaraan terdengar di depan pekarangan rumah dan mendekati garasi.
"Itu suara motor Islam," ujar Mawar.
Abah Habib terdiam hingga ia bangkit dari kursi saat Islam melangkah masuk ke dalam rumah dengan santainya tanpa memperdulikan Abah Habib dan Mawar. Mawar menelan salivanya saat Abah Habib meliriknya, yah Mawar tau apa yang saat ini ada di pikiran Abah Habib.
"Bahkan antum tak mengajari Islam adab masuk rumah?" tanya Abah Habib.
"Mengajari," jawabnya dengan nada lemah.
"Lalu apa yang terjadi sekarang? Apa dia mengetuk pintu?"
Mawar menggeleng pelan.
"Apa dia mengucapkan salam? Apa dia menyapa kita atau bahkan menjabah tangan kita?"
"Afwan, Abah," jawab Mawar.
Abah menggeleng lalu melangkah menuju ruang tamu mendapati Islam yang kini melepas helm dari kepalanya dan meletakkannya di atas lemari.
"Islam!" panggil Abah Habib membuat Islam menoleh.
"Apa?" jawabnya ketus.
Abah Habib menghela nafasnya dengan kasar lalu melangkah mendekati Islam yang kini melepas sepatunya.
"Bukan kah sebaiknya antum membuka sepatunya di teras rumah?"
"Emang kenapa?"
"Kan kotor."
"Umi aja nggak pernah negur gue, kenapa lo yang repot sih?" kesal Islam dengan nada malasnya lalu melangkah menaiki anakan tangga.
"Islam!" panggil Abah Habib membuat langkah Islam terhenti.
"Apa?" tanya Islam yang masih membelakangi Abah Habib dan Mawar.
"Apa antum bertanya pada tembok?" tanya Abah Habib membuat Islam mendecapkan bibirnya dan menoleh menatap Abah Habib yang kini tersenyum.
"Apa?"
"Abah pikir kamu sudah tidak punya telinga," ujar Abah Habib.
Islam mengekerutkan kedua alisnya setelah mendengar ujaran Abah Habib. Sepertinya pria tua ini mengujinya.
"Lo mau ngomong apa sih?"
"Panggil ana Abah!"
"Yah terserah gue dong," jawab Islam.
"Islam!" tegur Mawar.
"Iya, iya," jawab Islam dengan kesal sambil mengacak-acak rambutnya.
Islam melangkah menaiki anakan tangga membuat Abah Habib menggeleng di belakang sana. Rasanya ia pun tak sanggup menghadapi sikap Islam yang seperti ini. Jika di sini saja ia bisa bersikap tidak sopan lalu bagaimana jika Islam masuk ke pesantren.
"Kamu setuju kan masuk pesantren?" tanya Abah Habib membuat langkah Islam kembali terhenti.
"Iya, gue jadi masuk pesantren," jawab Islam setelah ia menoleh menatap Abah Habib dan Mawar.
"Alhamdulillah," jawab Abah Habib yang kini merasa sangat bahagia.
"Yang benar, Islam?" tanya Mawar tak percaya dan tak menyangka.
"Iya," jawabnya.
Mawar semakin tak menyangka jika Islam mau, Mawar paham betul bagaimana sifat Islam yang tak mudah diatur begitu saja, apalagi mau dimasukkan ke dalam pesantren.
"Oh iya besok jam berapa berangkatnya?" tanya Islam.
Abah Habib tersenyum lalu menjawab, "In sya Allah kita pergi jam delapan pagi."
Islam mengangguk lalu melangkah menaiki tangga sementara Mawar masih mendongak menatap kepergian Islam yang perlahan lenyap dari pandangan Mawar.
Islam bersiul sambil mengangguk-anggukan kepalanya menikmati siulan dari ujung bibirnya. Ia melangkah masuk ke dalam kamar dan menyalakan lampu.
Siulan Islam terhenti dengan kedua matanya yang terbelalak menatap pria yang telah ia pukul tadi berada di atas kasurnya dan terlihat sedang tertidur pulas sambil memeluk bantal guling kesayangannya.
Kesayangannya!!!
"Heh!!! Ngapain lo tidur di sini?!!" teriak Islam setelah tiba di samping Syuaib yang tak sadar dari tidur lelapnya.
"Gila nih orang. Berani banget tidur di kasur gue," ujarnya kesal.
Plak!!!
Pukulan keras mendarat di bokong Syuaib membuat Syuaib terperanjat kaget dan melompat di kasur. Kedua mata merahnya itu terbelalak dengan jurus silat seakan siap untuk memukul lawannya.
"Siapa itu?" tanyanya yang kini menoleh kiri dan kanan.
"Heh!!! Gue Islam yang punya kamar ini!!!" teriak Islam membuat Syuaib segera menunduk dan berdiri tegak.
"Oh antum ternyata," ujarnya.
"Ngapain lo tidur di kamar gue?!!"
"Yah ana cuman disuruh."
"Sama siapa?"
"Mbak Mawar," jawabnya sambil tertunduk.
"Udah sana lo keluar!" Tunjuknya ke arah pintu kamar.
"Loh kok keluar? Mbak Mawar suruh saya tidur di sini," ujarnya.
"Nggak boleh! Cepetan keluar!" pinta Islam sambil berusaha menarik ujung baju Syuaib yang dengan cepat melangkah mundur.
"Brengsek lo yah. Turun nggak lo!"
"Mbak Mawar suruh saya tidur di sini."
"Nggak boleh! Kalau lo tidur di sini, gue mau tidur di mana, bego?"
"Yah di sini." Tunjuknya.
"Idih najis gue tidur sama lo. Cepetan turun!" ujarnya sambil menggeliat geli.
"Ana tidak mau!" Tolaknya.
Islam menghela nafas sambil menopang pinggang. Kedua mata Islam kini membulat menatap selimut mandinya berada di bawah kaki Syuaib.
"Selimut gue!!!" teriak Islam.
...⚜️Ruangan Keluarga⚜️...
"Islam pasti akan baik-baik saja di pesantren, Antum tenang saja yah, Nak!"
"Bagaimana dengan makan dan minumnya?" tanya Mawar.
"Tenang saja! Di sana ada Abah yang menjaga."
Mawar menarik nafas panjang dan mengangguk pelan.
"Antum boleh datang di pesantren."
"Benarkah?"
Abah Habib mengangguk lalu berujar, "Di hari kepulangannya nanti kalau dia sudah memenuhi syarat dan persetujuan."
"Kiaiiii!!!"
Suara teriakan terdengar dari atas membuat Abah Habib dan Mawar saling bertatapan.
"Suara apa itu?" tanya Abah Habib.
"Ana tidak tau, Abah."
"Pak Kiaiii!!! Tolong!!!"
Abah Habib terdiam sejenak, suara itu sepertinya mirip dengan suara Syuaib dan berasal dari lantai atas.
"Mawar!" panggil Abah Habib membuat Mawar yang mendongak menatap langit-langit rumah itu menoleh.
"Iya, Abah?"
"Ana menyuruh Syuaib tidur di mana?"
"Di kamar Islam," jawab Mawar.
Mendengar hal itu Abah Habib bangkit dari kursi dan segera berlari menaiki anakan tangga disusul oleh Mawar yang ikut berlari dan menghampiri kamar Islam yang terlihat terbuka.
"Islam!!! Asgfirullah ya Allah!!!" kaget Abah Habib yang melihat sebuah benda berukuran besar berwarna putih berbentuk kepompong yang sedang menggeliat di atas lantai.
Abah Habib dan Mawar menoleh menatap Islam yang kini sedang berbaring di atas kasurnya sambil tersenyum menatap ke arah mereka.
"Di mana Syuaib?" tanya Abah Habib setelah menatap ke seluruh ruangan kamar dan tak mendapati Syuaib.
"Itu!" Tunjuk Islam ke arah benda menggeliat itu.
Begitu sangat terkejutnya mereka melihat hal itu. Dengan cepat Abah Habib dan mawar berlari menghampiri Syuaib yang dibungkus selimut putih hingga Syuaib terbungkus persis seperti kepompong.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Anak_umak
afwan ukhty , saya ngakak sama sih Syuaib 😆🙏
2022-05-05
1