"Peraturan ke enam, tidak diperbolehkan membawa ponsel, buku novel, DVD, komik dan sejenisnya."
Keempatnya melongo, peraturan macam apa ini?
"Terus kalau nggak boleh kayak gitu kita semua harus apa? Masa nggak boleh main Hp?" tanya Islam tak terima.
"Baca Al-Qur'an," jawab Abah Habib.
"Peraturan ke tujuh, setiap santri diwajibkan ikut kegiatan 4 M, membaca Al Qur'an, membersihkan pondok, menghafal ayat Al Qur'an dan menjalin tali silaturahmi," sebutnya sambil mengangkat jari tangannya.
"Peraturan ke delapan, Santri harus tidur jam sembilan atau jam delapan malam dan-"
"Tidur jam delapan?" tatap Kristian tak menyangka membuat Abah Habib mengangguk.
"Masa tidur jam delapan? Kek anak kecil aja, Lo yang bener dong kalau ngasih peraturan," kesal Ali yang berniat melangkah mendekati Abah Habib namun dengan cepat dicegah oleh Abirama.
Ustad Faizal menghela nafas lalu kembali membaca isi peraturan, "Dan bangun jam empat subuh."
"Empat subuh? Yang bener aja lo kalau ngomong," kesal Ali yang kembali melangkah berniat untuk mendekati Ustad Faizal namun kembali ditarik oleh Abirama.
"Lo sengaja yah mau ngerjain kita pake nyuruh kita bangun jam empat subuh?" tebak Islam.
"Ini peraturan untuk semua santri, bukan berlaku hanya untuk kalian tapi semuanya," jelas Ustad Faizal.
"Masih ada peraturan lagi?" tanya Abirama sambil tersenyum membuat ketiga sahabatnya itu menoleh menatap Abirama dengan tatapan kebingungan.
"Ada seratus tujuh puluh peraturan," jawab Ustad Faizal.
"Yang bener aja lo bikin peraturan, terus lo mau bacain peraturan itu dan buat kita semua jadi kayak orang bego berdiri di sini," oceh Islam.
Ustad Faizal kini menempel kertas itu di permukaan dinding tak jauh dari sakral lampu. Kertas putih panjang berisikan peraturan itu terpampang jelas di penglihatan Islam, Kristian, Abirama dan Ali.
"Antum semua paham kan?" tanya Abah Habib.
"Iya pak Kiyai," jawab Abirama dengan semangat.
Abah Habib tersenyum, sepertinya ada yang sudah mulai tertarik dengan dunia pesantren. Lagi dan lagi Islam, Kristian dan Ali menoleh menatap Abirama yang terlihat begitu bahagia yang terpancar dari senyumnya yang begitu tulus.
"Bagaimana Islam?" tanya Abah Habib.
"Em," sahut Islam dengan raut wajahnya yang terlihat malas.
"Kalau begitu serahkan!" mintanya sambil menjulurkan telapak tangannya.
"Apaan?" tanya Islam tak mengerti.
"Handphone," jawabnya.
"Buat apaan?"
"Sesuai peraturan."
Islam mengerutkan alisnya seakan tak percaya jika peraturan yang tak membiarkan mereka bermain ponsel ternyata harus dipatuhi.
"Loh nggak bisa gitu dong, gue-"
"Ini handphone saya," ujar Abirama yang meletakan ponsel ke telapak tangan Abah Habib setelah berlari kecil menghampiri.
Islam, Kristian dan Ali langsung melongo menatap apa yang telah dilakukan oleh Abirama. Entah hasutan apa yang telah ia dapatkan sehingga menjadi patuh begini.
"Lo gila yah?" tanya Islam setibanya Abirama di barisan.
"Ayo mana!" minta Abah Habib yang telapak tangannya sudah terdapat ponsel Abirama.
"Udah lah kasi aja!" bisik Abirama.
"Gimana nih?" bisik Ali yang menatap khawatir pada Islam dan Kristian.
Kristian terdiam sejenak lalu tak berselang lama ia merogoh saku celana Levis-nya dan melangkah mendekati Abah Habib.
"Kristian! Nggak usah!" larang Islam yang berusaha untuk menarik Kristian namun ponsel itu sudah ada di telapak tangan Abah Habib.
"Gila lo yah," ketus Islam sesampainya Kristian di barisan.
"Ayo! Sisa Islam dan Ali!" ujar Abah Habib.
Ali melirik Islam yang ikut meliriknya sambil memegang ponselnya.
"Gimana nih?" bisik Ali.
"Udahlah kasi aja!" pinta Abirama.
"Tapi nanti gue nggak bisa-"
"Ah berisik banget." Kesal Abirama yang kemudian menarik paksa ponsel Ali dan meletakkannya di telapak tangan Abah Habib.
Ali yang ingin protes kini hanya mampu menghela nafas dan pasrah begitu saja.
"Islam! Ayo!" minta Abah Habib.
Islam menghela nafas berat, jika ponsel ini diberikan kepada Abah Habib maka bagaimana ia bisa menghubungi Umi-nya, ini pasti akan sangat sulit.
Abah Habib melangkah mendekati Islam membuat Islam yang tertunduk itu mulai mengangkat dagunya.
"Ada apa?"
Islam diam, tanpa jawaban lalu tanpa pikir panjang ia meletakkan ponselnya di atas tumpukan ponsel ketiga sahabatnya itu.
"Tenang saja! Jika ingin menelpon Umi maka datang saja ke ruangan Abah."
Abah Habib tersenyum lalu segera melangkah bersama dengan Ustad Faizal dan menutup pintu dengan rapat.
Islam terdiam lalu tertunduk rasanya ia tak mengerti dengan perasaannya kali ini. Kristian, Abirama dan Ali kini menoleh secara bersamaan menatap ranjang bertingkat. Mereka saling melirik seakan pikiran mereka semua tertuju pada satu hal. Tempat tidur!
"Gue di atas!!!" teriak Ali yang dengan cepat berlari dan melempar tas hitamnya ke ranjang paling atas.
Gerakan dan teriakan yang tiba-tiba itu berhasil memancing Islam, Kristian dan Abirama ikut berlari memilih ranjang masing-masing.
Islam berlari ke ranjang bawah sementara Kristian yang kini sudah naik ke atas ranjang di atas Islam.
"Lah saya dimana?" tanya Abirama.
"Noh bawah!" Tunjuk Ali ke arah ranjang di bawahnya.
"Yah, Masa saya di bawah?" keluhnya.
"Terus lo mau tidur dimana? Udahlah di situ aja!" ujar Islam yang kini sudah membaringkan tubuhnya di atas kasur dengan sprei bewarna putih.
Abirama menghela nafas panjang lalu meletakkan tasnya ke atas kasur. Perlahan Abirama mendongak menatap ranjang besi yang di tempati oleh Ali.
"Kamu jangan banyak gerak yah! Nanti kalau kamu jatuh, bisa gepeng saya."
"Em," sahutnya sambil menutup kedua matanya.
"Jangan kentut yah!"
"Iya, berisik banget sih lo," kesalnya.
"Yah soalnya kan kentut kamu bau," ungkapnya jujur lalu ikut menoleh menatap lemari kayu dan membukanya menatap apa yang ada di dalam sana.
Islam membuka kedua matanya ketika ia mengingat sesuatu.
Islam bangkit lalu duduk di pinggir kasur dan mendapati pria bernama Sarifuddin yang terlihat langsung tersenyum memperlihatkan gigi putihnya ke arah Islam yang kini merasa aneh.
"Lo kenapa nyengir kayak orang gila kayak gitu?" tanya Islam.
"Gila kali nih anak gara-gara kelamaan tinggal di pesantren," sahut Ali yang ikut menatap Sarifuddin.
"Kamu tidur dimana?" tanya Abirama.
"Hust!" tegurnya sambil meletakkan jari telunjuknya di hadapan ujung bibirnya membuat Islam, Kristian, Abirama dan Ali saling bertatapan.
"Dia kenapa sih?" bisik Kristian sambil menatap Ali yang kini menggeleng.
"Emang gila nih anak," sahut Islam.
Tak berselang lama Sarifuddin mengangkat kedua telapak tangannya sambil menunduk dan membaca doa.
Beberapa detik kemudian Sarifuddin melangkah ke arah ranjang yang berada di dekat Islam. Ia meraih sarung dari lemari membuat Islam, Kristian, Abirama dan Ali saling bertatapan.
"Lo kenapa sih? Gila yah?" tebak Ali membuat Sarifuddin menoleh dan memberikan senyum .
"Tidak," jawabnya lalu menutup pintu lemari.
"Terus yang kamu tadi nyuruh kita semua diam itu apa?" tanya Abirama.
"Tadi itu ada suara azan jadi kita semua harus diam," jelasnya dengan logat kental.
Semuanya mengangguk sementara Islam kini kembali membaringkan tubuhnya ke kasur.
"Kita semua endak sholat kah?" tanya Sarifuddin.
"Nggak," jawab Ali lalu membaringkan tubuhnya ke kasur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments