Perjalanan terus berlanjut menuju pesantren yang sama sekali tak pernah Islam datangi seumur hidupnya. Islam menyadarkan kepalanya dengan tatapannya yang terus menatap pemandangan selama dalam perjalanan.
Perkebunan teh yang hijau tergelar menyejukkan mata ketika dipandang begitu juga dengan sawah, gunung tinggi bagai lukisan berhasil mencuri perhatian Islam diiringi hawa dingin yang sejuk. Kristian, Abirama dan Ali yang baru kali ini melihat pemandangan yang begitu sangat indah. Jalan yang belum tersentuh perbaikan membuat Islam harus berpegangan di pegangan atas.
Islam mengeluarkan kepalanya di jendela dan menunduk menatap jalan bebatuan dan berlubang, Islam tak pernah melihat jalan seburuk ini. Islam menoleh menatap beberapa ibu-ibu dengan keranjang di bahunya yang nampak sibuk memetik teh. Ada beberapa anak-anak kecil yang hanya memakai celana tanpa memakai baju nampak bermain di sungai yang airnya mengalir begitu jernih.
Yang membuat Islam tersenyum adalah saat mobil melintas anak-anak itu terlihat melambaikan tangan ke arah Islam. Hal ini sangat berbeda jauh dengan yang ada di kota, dimana anak-anak seusia mereka lebih asik bermain game dari pada bermain air di sungai.
Rumah-rumah di sini begitu sangat sederhana membuat Islam merasa berada di zaman-zaman dulu seperti yang ia lihat di tv. Dari jendela mobil yang ia biarkan terbuka itu Islam bisa melihat ibu-ibu yang sedang menjemur pakaian di halaman rumah yang begitu asri, ada banyak bunga bermekaran dan berwarna-warni di pinggir jalan, ada beberapa orang sedang menarik kerbau dengan beberapa ekor anjing yang mengikut di belakang.
Islam tak percaya jika masih ada tempat yang asri pedesaan seperti ini, bahkan Islam hanya bisa melihat beberapa motor butut yang berlalu lalang ketika berpapasan dengan mobil yang Islam tumpangi.
"Di sini nggak ada cewek-cewek cantik yah? Isinya cuman ibu-ibu semua," ujar Ali yang kini celingak-celinguk menatap ke luar.
"Ali! Saudara lo itu!" Tunjuk Islam ke arah anjing yang berlari di belakang pengembala kerbau.
"Mana?" tanya Ali lalu melangkah maju dan mengeluarkan kepalanya menatap dua ekor anjing yang masih berlari di belakang pengembala.
"Itu yang lari!" Tunjuk Islam.
"Eh iya," jawab Ali sambil tersenyum.
"Heh!!! Saudara!!!" teriak Ali sambil melambaikan tangannya.
Anjing itu menoleh lalu berlari sambil menggonggong mengejar mobil membuat Islam, Ali, Kristian dan Abirama tertawa cekikikan sementara Abah Habib nampak geleng-geleng kepala.
Tak berselang lama mobil yang kini dikendalikan oleh Syuaib mulai berangsur pelan.
"Pak kiyai datang!!!"
Islam tersadar dari lamunannya ketika suara teriakan itu terdengar membuat Islam segera duduk dengan tegap.
"Yang ini tempatnya?" tanya Kristian yang terlihat berusaha untuk menatap suasana di luar jendela.
"Mana gue tau, gue nggak pernah ke sini," jawab Islam.
Mobil memasuki gerbang besar berwarna hijau membuat Islam mengeluarkan separuh kepalanya lalu mendongak menatap bagian atas gerbang yang bertuliskan Pondok pesantren Al Habibi Akbar.
"Anjirt, banyak banget," kaget Ali sambil menunjuk ke arah depan membuat Islam menoleh menatap ratusan santri yang berbaju koko dengan sarung dan peci putih maupun hitam serta ada beberapa santri yang memakai kondura.
Di satu sisi lain Islam juga bisa melihat Santriwati yang berpakaian kerudung panjang berwarna putih ataupun hitam bahkan Islam bisa melihat beberapa dari mereka ada yang memakai cadar.
Mobil itu kini berhenti setelah melewati pagar besi diiringi suara musik qasidah yang dihasilkan dari pukulan gendang yang dimainkan oleh belasan santri.
Abah Habib melankah turun dari mobil setelah dibuka oleh seorang pria bertubuh gemuk dengan mimik muka tegas. Dia adalah Firdaus yang merupakan ustad dan guru mengajar di pesantren ini. Setelah itu Syuaib ikut melangkah turun dari mobil dan mengeluarkan koper milik Islam.
Islam menatap Firdaus dengan serius. Pria itu terlihat membuka pintu mobil, membantu Abah Habib turun dari mobil, meraih tangan dan mencium punggung tangan Abah Habib. Bukan hanya Firdaus tapi ada banyak orang yang melakukan hal itu. Islam tak menyangka jika pria tua itu begitu sangat dihormati di tempat ini. Patut saja Syuaib, Akbar dan Mawar begitu sangat sopan dan menjaga perilaku mereka.
"Dimana Islam?" tanya seorang wanita berkulit keriput, dia adalah Istri dari Abah Habib yang sudah berarti jika dia adalah Uma Nur, nenek dari Islam.
"Ada di dalam, tapi-" bisik Abah Habib.
"Uma tidak sabar melihat Islam," potongnya.
Abah Habib tersenyum lalu menatap ke arah semua para santri, santriwati dan para pengajar yang terlihat begitu gembira untuk menyambut cucu satu-satunya dari kiyai si pendiri pesantren ini.
Abah Habib menoleh dan mengerakkan jarinya membuat Syuaib mendekat dan mendengar bisikan dari Abah Habib membuat Syuaib dengan cepat mengangguk lalu menatap ke arah santri yang memaingkan gendang.
"Sudah! Hentikan!" pinta Syuaib membuat suara gendang itu lenyap.
Abah Habib tersenyum menatap ke seluruh semua para santri dan santriwati yang nampak ikut tersenyum. Tak berselang lama Abah Habib memberikan beberapa kalimat kepada semua orang untuk memperkenalkan Islam, cucu satu-satunya itu.
"Ini cucu Abah, Islam Ramadhan!" panggil Abah Habib yang membuat semua orang bertepuk tangan membuat suara musik qasidah itu kembali dimainkan.
Semuanya terlihat menoleh menatap pintu mobil yang tak kunjung dibuka oleh Islam. Mereka semua saling berbisik dan tak sabar untuk melihat cucu dari Kiyai itu.
Abah Habib menghembuskan nafas berat lalu mengetuk jendela mobil.
"Islam!" panggil Abah Habib.
"Kayaknya kita disuruh turun deh," tebak Abirama.
"Jangan dulu! Kita nggak boleh nurut gitu aja, ingat sama rencana kita!" ujar Ali mengingatkan untuk membuat semuanya kesal, membuat masalah ataupun kekacauwan agar mereka semua bisa dipulangkan.
"Tapi-"
"Udah diam aja lo!" potong Islam membuat Abirama bungkam.
"Kenapa Islam tidak keluar dari mobil? Apa dia marah?" bisik Uma Nur.
Abah Habib menelan salivanya, ia tak ingin jika Islam kembali berbuat masalah sementara kini ada banyak orang yang menanti Islam turun dari mobil. Baru saja Abah Habib melangkah berniat untuk membuka pintu mobil namun pintu itu sudah dibuka oleh Akbar.
Islam, Kristian, Abirama dan Ali langsung menoleh menatap wajah marah Akbar yang begitu sangat menyeramkan.
"Kenapa tidak turun?" tanya Akbar dengan suara tegas.
"Gue-"
"Mau turun sendiri atau saya seret?" tanya Akbar membuat Kristian, Abirama dan Ali menelan salivanya ketakutan sementara di satu sisi Islam terlihat tersenyum sinis.
Akbar kemudian menutup pintu dengan rapat lalu melangkah.
"Apa dia tidak mau turun?" bisik Abah Habib.
"Dia akan turun," ujarnya menenangkan lalu melangkah pergi seakan tak ingin malu dengan hal ini.
Suara musik gendang qasidah itu masih dimainkan dengan belasan santri yang terdengar bersholawat, pandangan mereka masih tertuju pada mobil itu.
Pintu mobil itu kemudian terbuka membuat semuanya tersenyum tak sabar ingin melihat cucu dari Pak kiyai. Sepatu hitam dengan duri-duri itu terlihat membuat semua orang sedikit kebingungan, beberapa detik kemudian celana Levis dengan robekan di lutut, rantai besi di pinggang, jaket ciri khas geng motor bergambar tengkorak, gelang besi di pergelangan tangan, kalung besi di leher, rambut gondrong, anting tindik di dua telinga Islam membuat suara gendang qasidah itu lenyap seketika, tak ada yang memaingkan musik qasidah lagi setelah Islam berdiri tegak di hadapan mereka semua.
Semuanya tambah melongo disaat Kristian, Abirama dan Ali juga berdiri di belakang Islam dengan gaya yang hampir sama dengan Islam. Tak ada yang berkedip saat itu juga, semuanya terlihat syok melihat Islam dan ketiga sahabatnya itu.
"Kok mereka diam?" bisik Kristian.
"Mungkin dia takjup sama kegantengan gue," ujar Ali sambil tersenyum bangga.
"Coba lo sapa!" pinta Islam membuat Ali mengangguk lalu menatap ke semua orang yang menatap mereka dengan sangat serius.
"Woy!!!" teriak Ali yang melambaikan tangannya sambil tersenyum ke arah santri dan santriwati.
"Aaaaaa!!!" semuanya menjerit lalu berlari kocar-kacir tak jelas membuat suasana yang sunyi itu menjadi ricuh.
Para santri dan santriwati berlarian entah kemana membuat para ustad dan ustadzah berteriak untuk menyuruh mereka semua untuk kembali berbaris.
Semenit berlalu membuat lapangan pondok pesantren menjadi sunyi tak ada seorang pun di sana, tapi tunggu! Ada satu pria berkulit sawo matang, berbaju Koko, sarung batik dan peci putih yang terlihat miring terlihat tersenyum lebar ke arah Islam dan semuanya.
"Selamat datang," ujarnya.
Abah Habib menghembuskan nafas berat lalu menoleh menatap Ali yang dengan cepat menurunkan tangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Anak_umak
Ali moodbosther banget hhh
2022-05-05
0