Jam sudah menunjukkan pukul 5.30 sore, tampak seorang pria dengan kemeja putih dan celana kantoran berwarna hitam sedang berdiri di ujung jembatan tak berpagar di sebuah pantai. Dia adalah Bumi yang sedang menunggu kedatangan Senja.
Bumi merasakan semilir angin menyapa tubuhnya. Deru ombak yang berdesir halus di telinga bagaikan sebuah simfoni indah yang menemaninya menunggu seorang gadis yang selalu bermain di pikirannya.
Tak lama terdengar langkah kaki yang berjalan begitu perlahan ke arahnya. Bumi menarik sudut bibirnya. Buat apa Senja datang dengan mengendap-endap seperti itu? Tentu saja Bumi tetap bisa mendengar suara langkah kakinya yang kian mendekat ke arahnya.
“Kau terlambat,” ucap Bumi tanpa menoleh ke arah Senja yang sudah berdiri di sampingnya.
“Apanya yang terlambat? Matahari saja belum terbenam,” jawab Senja sambil menunjuk ke arah matahari yang tampak masih mengambang di atas lautan.
Bumi tersenyum. Gadis di sebelahnya ini tak pernah kehabisan kata untuk menjawabnya.
“Kau dulunya pasti ingin menjadi seorang pengacara kan?” tanya Bumi yang masih melihat ke depan.
Senja menoleh ke arah Bumi sambil memiringkan kepalanya. “Kenapa kau bisa menebak seperti itu?” kata Senja balik bertanya.
“Karena kau pandai berdalih,” jawab Bumi yang memalingkan pandangannya ke arah Senja.
Senja terkekeh. Ia baru sadar kalau dia memang suka sekali membalas perkataan Bumi.
“Apa kau sedang memujiku? Atau menyindirku?” tanya Senja kemudian.
“Tidak keduanya,” jawab Bumi lalu kembali melihat ke depan.
“Kau irit sekali dalam berbicara. Padahal bicara kan gratis, tidak bayar,” gerutu Senja.
“Kau saja yang bicara, aku yang mendengarkan,” ujar Bumi.
“Tidak, kau saja. Kemarin kau bertanya tentang namaku, sekarang gantian ceritakan tentang namamu,” pinta Senja.
Bumi tampak terdiam sejenak. Haruskah ia menuruti permintaan gadis di sampingnya itu? Ia pun kemudian duduk di tepi jembatan, lalu ia menepuk tempat di sebelahnya meminta Senja agar ikut duduk disana.
Senja pun membuka sepatunya lalu duduk di sebelah Bumi. Mereka berdua duduk dengan menjuntaikan kaki sambil menghadap ke depan.
“Jadi, kenapa namamu Bumi Langit Dirgantara? Apa namamu tidak berlebihan?” tanya Senja sambil terkekeh.
“Itu nama yang diberikan oleh ayahku,” jawab Bumi.
“Maaf, aku tidak bermaksud menyindir Tuan Dirgantara,” ucap Senja dengan cepat.
“Tidak perlu minta maaf, santai saja. Dulu saat aku lahir, ayahku sangat bahagia sekali. Baginya dibandingkan seisi bumi dan langit, aku adalah kebahagiaan terbesar di hidupnya, aku adalah sesuatu yang paling berharga baginya. Karena itu ayah memberi namaku Bumi Langit Dirgantara,” kata Bumi menjelaskan.
“Wah, kau sangat berharga sekali bagi Tuan Dirgantara. Pasti Tuan Dirgantara sangat menyayangimu melebihi apapun di muka bumi ini,” kata Senja.
“Apapun di muka bumi ini? Muka bumi yang ini maksudmu?” tanya Bumi sambil menunjuk wajahnya sendiri dengan telunjuknya.
Senja langsung tergelak mendengar perkataan Bumi. Pria di depannya ini ternyata bisa bercanda juga.
“Kau bisa melucu juga rupanya,” ucap Senja di sela tawanya.
Bumi tak menjawab. Ia malah fokus memperhatikan wajah Senja yang tengah tertawa lepas. Melihat gadis itu tertawa, kenapa malah hatinya yang merasa senang?
Senja yang menyadari Bumi tak ikut tertawa bersamanya spontan menghentikan tawanya. Ia memicingkan matanya menatap Bumi.
“Kenapa kau melihatku seperti itu?” tanya Senja.
“Kau lucu. Tertawamu lepas sekali seperti tidak ada beban hidup,” jawab Bumi.
“Kau bilang aku lucu, tapi kau tidak tertawa. Dasar aneh! Aku memang tidak ada beban hidup yang berlebihan saat ini. Semua yang aku inginkan, bisa aku miliki. Aku harus merasa bersyukur atas hal itu,” kata Senja.
Senja membenarkan duduknya. Melihat ke depan, mengingat kembali saat dimana dia berkunjung ke rumah Pak Aris.
“Saat kemarin aku ke rumah salah satu karyawanku, aku makin bersyukur, Tuhan memberikan banyak kelebihan di hidupku. Tidak ada alasan bagiku untuk tidak bersyukur. Aku tidak boleh mengeluh. Hidupku sudah sangat enak saat ini. Mereka saja yang hidup serba kekurangan masih mampu bersyukur dan tersenyum. Apalagi alasanku untuk mengeluh dan tidak bahagia? Semua yang aku inginkan bisa aku miliki,” tambah Senja lagi.
“Semua yang kau inginkan bisa kau miliki? Kau yakin?” tanya Bumi tiba-tiba.
Senja menoleh ke arah Bumi. Wajahnya yang tadi cerah berubah jadi sendu.
Kecuali kau, Bumi. Mungkin hanya kau yang tak bisa ku miliki. Batin Senja.
Senja mengangguk. “Aku rasa begitu, jika semesta mendukungku,” jawab Senja dengan getir.
Bumi menatap wajah Senja dalam-dalam. Terlalu awal baginya menyimpulkan jika Senja juga menaruh perasaan padanya. Untuk sementara, biarlah semua berjalan sesuai takdir-Nya.
Bumi memalingkan pandangannya ke depan. Ia tak sanggup melihat wajah itu lebih lama.
“Senja, lihat! Mataharinya hampir terbenam,” kata Bumi sambil menunjuk ke depan.
“Kau benar,” sahut Senja.
Kemudian Senja pun berdiri menghadap matahari. Bumi pun ikut berdiri mengikuti Senja meski ia tidak tau alasan kenapa gadis itu berdiri.
“Sebentar lagi,” kata Senja seolah memberi kode bahwa matahari hampir tergelincir di ufuk Barat.
Senja menoleh ke samping lalu mengulurkan satu tangannya ke arah Bumi. Bumi melihat tangan Senja yang terulur ke arahnya, lalu tanpa ragu ia pun menggenggam tangan itu.
Ketika mereka sama-sama melihat ke depan, matahari pun terbenam perlahan menghilang ditelan lautan luas.
Melihat matahari sudah terbenam, Bumi kembali teringat akan perkataan Senja kemarin. Senja itu hanya sementara dan dia tak mau hidupnya sesingkat itu. Bumi merasa aneh, bisa-bisanya gadis itu berpikiran seperti itu.
Ia rela kehilangan indahnya cahaya senja dari matahari, tapi ia tak rela kehilangan tawa indah Senja dari hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Coco
tidak mau nethink
2023-06-07
0
Titha Tantya
mau lanjutin baca dulu😁
2022-11-09
0
Nanda Lelo
tentukan pilihan mu Bumi,, jgn salah milih
2022-09-24
0