Malam ini Tuan Dirgantara memanggil Bumi untuk menemuinya di ruang kerjanya. Biasanya jika Tuan Dirgantara memanggil Bumi kesana, beliau akan bertanya tentang perkembangan bisnis mereka.
Tok tok tok.
Bumi mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk. Setelah ada perintah untuk masuk, baru ia masuk ke dalam. Bumi memang sudah terbiasa dari kecil bersikap sopan seperti itu. Meskipun masuk ke ruangan ayahnya sendiri, ia selalu meminta ijin terlebih dulu.
“Duduklah.” Tuan Dirgantara mempersilahkan anaknya untuk duduk di sofa yang berhadapan dengan tempat ia duduk saat ini.
Bumi pun duduk sesuai perintah ayahnya.
“Belakangan ini kau sangat sibuk sekali. Kau selalu pulang malam,” kata Tuan Dirgantara membuka pembicaraan.
“Ayah pasti tau alasannya. Bukannya sebelum aku ikut menjalankan perusahaan, ayah juga sering pulang malam?” Bumi malah membalikkan perkataan ayahnya kembali.
Tuan Dirgantara tersenyum. Anak laki-lakinya ini tidak berubah sama sekali. Mirip sepertinya bahkan dalam hal bersilat lidah.
“Bagaimana proyek pembangunan jembatan yang sedang berjalan? Ayah dengar sempat ada kendala,” tanya Tuan Dirgantara.
“Benar, Ayah. Ada yang ingin memanipulasi material yang biasa digunakan dengan material yang berkualitas buruk. Tapi Ayah tidak perlu khawatir. Supervisor yang bertugas sudah lebih dulu menyadarinya sebelum material itu digunakan. Sekarang semua sudah aman terkendali,” jawab Bumi panjang lebar.
Kalau sudah berbicara soal bisnis, ia mampu berbicara panjang lebar. Tapi jika sehari-hari, sangat mahal sekali untuk mendengar suara merdunya itu.
“Baguslah kalau begitu. Lain kali harus lebih berhati-hati. Jangan sampai kecolongan lagi.”
“Baik, Ayah. Ayah tidak perlu khawatir.”
“Iya, Ayah percayakan semua padamu.”
“Terimakasih, Ayah. Aku akan bekerja semaksimal mungkin.”
“Lalu, bagaimana kabar tentang putri keluarga Wijaya?” tanya ayahnya mengubah topik pembicaraan.
“Senja baik-baik saja. Dia juga sedang bekerja di perusahaan ayahnya,” jawab Bumi dengan cepat.
Tuan Dirgantara menaikkan alisnya sebelah. “Senja? Anak Tuan Andika maksudmu?” tanya Tuan Dirgantara ingin memastikan pendengarannya tidak salah kalau anaknya menyebut nama Senja, bukan Nesya.
Deg.
Bumi baru tersadar bahwa yang ayahnya maksud adalah Nesya, bukan Senja. Mereka sama-sama putri keluarga Wijaya karena Wijaya adalah nama kakek mereka.
“Oh, aku pikir ayah menanyakan anak Tuan Andika,” ucap Bumi dengan tenang agar tak terlihat bahwa memang Senja yang selalu ada di pikirannya.
“Kenapa kau berpikir begitu?” selidik Tuan Dirgantara.
“Karena hanya Senja yang memakai nama kakeknya di belakang namanya, Cahaya Senja Wijaya. Jadi aku pikir ayah bertanya tentangnya. Lagipula yang dikenal sebagai putri keluarga Wijaya di dunia bisnis adalah Senja,” jawab Bumi beralasan.
“Oh, begitu, ya? Ayah pikir karena kau sedang memikirkannya makanya kau menyebut namanya, bukan Nesya,” balas ayahnya.
Bumi berusaha tetap tenang meskipun tau ayahnya sedang memancingnya.
“Kalau ayah ingin bertanya tentang Nesya, dia baik-baik saja. Bahkan tadi siang kami makan bersama di sebuah restoran,” kata Bumi.
“Baguslah. Itu permulaan yang baik. Yang penting di antara kalian tidak ada yang terpaksa melakukannya. Lakukanlah pendekatan sesuai hati nurani kalian sebelum kalian benar-benar memutuskan untuk melanjutkan hubungan kalian dalam sebuah ikatan,” kata ayahnya menasihati.
“Ayah tidak ingin kau melanjutkan hubungan ini hanya karena menjalankan permintaan almarhum ibumu,” tambah ayahnya lagi.
“Aku tidak akan mengecewakan ibu,” ucap Bumi dengan tegas.
“Ibumu tidak akan kecewa kalaupun kau tidak jadi menikah dengan Nesya,” sanggah ayahnya.
“Apa maksud ayah? Aku hanya ingin melakukan apa yang ibu minta,” tanya Bumi.
“Tapi kebahagiaanmu adalah yang utama bagi ayah dan tentu saja bagi ibumu. Jangan lanjutkan perjodohan ini kalau kau tidak bisa menerima Nesya di hatimu!”
“Ayah tidak usah khawatir. Ini hanya masalah waktu,” bantah Bumi.
“Jangan bermain-main dengan perasaan, Bumi. Belum tentu waktu akan membawamu kepada kebahagiaan jika kau tidak tepat menentukan pilihan hatimu. Jangan sampai kau menyesal di belakang!” kata Tuan Dirgantara memperingatkan.
“Justru aku akan menyesal jika tidak menjalankan permintaan terakhir ibu,” jawab Bumi yang masih tetap pada pendiriannya karena tak ingin mengkhianati almarhum ibunya.
Tuan Dirgantara tampak menghela nafas dengan berat. Rasanya sifat keras kepala Bumi dua kali lebih besar dibandingkan dengan dirinya.
“Terserah kau saja. Kau masih punya waktu sebulan untuk menimbang kembali keputusanmu. Saran ayah, dengarkan kata hatimu!”
Tuan Dirgantara lalu bangkit dari duduknya. Sebelum melangkah pergi, ia kembali berbicara pada Bumi.
“Ayah sangat mengenalmu. Ayah tau apa arti tatapan matamu saat kau melihat ke arah Senja saat acara makan malam waktu itu. Jadi, pikirkanlah baik-baik.”
Bumi terkejut. Ternyata ayahnya memergokinya sedang menatap Senja malam itu.
Setelah mengatakan itu, Tuan Dirgantara pergi meninggalkan Bumi sendiri yang sedang dilanda kebingungan. Haruskah ia mengikuti nasehat dari ayahnya? Tapi itu artinya ia mengkhianati permintaan terakhir ibunya untuk selalu menjaga Nesya dan menikah dengannya.
Nesya? Ia bahkan tak ada perasaan apa-apa pada wanita itu. Berbeda dengan Senja. Tanpa diminta, ia selalu ingin melindungi gadis yang pertama kali ia temui secara tidak sengaja itu. Apakah memang ini tanda dari semesta kalau ia berjodoh dengan Senja? Ia jadi bingung dengan perasaannya sendiri. Apakah hatinya memang benar sudah terpaut dengan Senja hingga ia tak berhenti memikirkannya?
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Coco
salah we salah
2023-06-07
0
Titha Tantya
bener kata ayah mu bumi.. dengarkan kata hatimu.. jgn smpai km salah memilih.
2022-11-09
0
♡momk€∆π♡
jangan bermain dengan perasaan Bumi karena hatimu 💓tidak bisa berbohong🤭
2022-10-14
0