Sesuai dengan yang sudah direncanakan, saat ini Senja sedang dalam perjalanan bersama Pak Aris menuju ke rumah karyawannya itu. Seperti biasa, Senja selalu mengendarai mobil kesayangannya sendiri dan Pak Aris duduk di kursi depan sebelah pengemudi.
Awalnya Pak Aris merasa sangat sungkan karena atasannya sudah mengantarnya pulang bahkan menyetir untuknya juga. Tapi Senja tak mempermasalahkan hal itu. Ia tak memandang seseorang dari harta yang mereka punya. Di dalam perusahaan, Pak Aris memang karyawannya. Tapi jika di luar, baginya mereka sama-sama rakyat biasa.
Agar suasana tidak begitu canggung, Senja mengajak Pak Aris mengobrol hal-hal yang ringan. Senja memang pandai dalam bergaul. Pak Aris yang tadinya hanya diam, lambat laun mulai ikut membalas obrolan Senja.
Saking asiknya mengobrol, Senja tidak sadar kalau mobilnya bersebelahan dengan mobil Bumi saat berhenti di lampu merah.
“Tuan, sepertinya mobil di samping kita ini tidak asing lagi,” kata Jefri memberi informasi pada Bumi yang duduk di kursi penumpang.
Bumi melihat ke arah yang dimaksud Jefri. Ia kenal betul, itu mobil yang hampir ditabraknya beberapa waktu lalu karena berhenti mendadak di tengah jalan.
Senja? Tanya Bumi dalam hati.
Tak lama lampu pun berubah menjadi warna hijau. Senja menjalankan lagi mobilnya dan berbelok ke arah yang bukan jalan menuju ke rumahnya.
"Kenapa dia berbelok ke arah sana? Bukannya itu mengarah ke....”
“Pinggiran kota, Tuan. Dan Nona Senja tidak mungkin tinggal disana,” potong Jefri. Ia seolah bisa membaca kekhawatiran Tuannya itu pada Senja.
“Ikuti mobilnya dari belakang!” titah Bumi.
“Baik, Tuan.”
Jefri pun memutar haluan mobilnya mengikuti kemana mobil Senja pergi. Seperti dugaan mereka, mobil mewah itu masuk ke salah satu perumahan di pinggir kota.
Rumah Pak Aris masih masuk lagi ke dalam gang yang cukup sempit dan tidak bisa dilalui mobil, jadi terpaksa mereka turun berjalan kaki untuk sampai kesana.
Bumi semakin terkejut saat melihat ada seorang pria paruh baya turun dari mobil Senja. Dia bertambah khawatir karena tak ingin terjadi apa-apa pada Senja. Ia pun memutuskan untuk turun dari mobil juga dan diam-diam mengikuti mereka dari belakang, sementara Jefri berjaga di dalam mobil.
Kedatangan Senja ke pemukiman yang bisa terbilang kaum menengah ke bawah itu tentu saja menyita perhatian penduduk disana. Siapa sangka seorang gadis cantik dengan pakaian dan tas mahalnya mau datang ke daerah seperti itu.
Tak lama perhatian penduduk beralih pada sesosok pria tampan bertubuh tinggi yang menggunakan setelan jas rapi dan sepatu mengkilap. Siapa lagi kalau bukan Bumi. Dan anehnya lagi Bumi sangat ketara seperti orang yang tengah mengendap-endap memperhatikan Senja.
Senja dan Pak Aris pun tiba di sebuah rumah kecil dimana keluarga Pak Aris tinggal. Rumah yang catnya terlihat sangat usang dan atapnya sudah tak lagi kokoh menunjukkan kalau rumah itu lama tidak direnovasi. Tak hanya itu, garis-garis retak yang timbul pada dinding pun makin mempertegas kondisi rumah yang mengenaskan itu.
Senja masuk ke dalam setelah dipersiapkan oleh Pak Aris. Yang pertama ia jumpai di dalam adalah seorang wanita paruh baya duduk di kursi roda dan seorang anak laki-laki berusia sekitar 8 tahun sedang terbaring di ruang tengah beralaskan kasur yang sangat tipis serta spreinya yang sudah sangat luntur dari warna aslinya.
Ada yang berdesir di hati Senja. Pemandangan yang ia lihat sungguh berbeda jauh dengan kehidupannya sehari-hari yang serba berkecukupan bahkan lebih.
“Maaf, Nona. Kami tidak punya kursi tamu. Tapi ini lantainya bersih, Nona. Karpetnya bersih. Silahkan duduk dulu, Nona. Saya ambilkan minum,” kata Pak Aris yang tak enak hati pada Senja karena kondisi rumahnya yang memprihatinkan.
“Tidak usah repot-repot, Pak. Saya hanya sebentar. Tidak perlu buat minum segala,” kata Senja lalu duduk lesehan di atas karpet yang dimaksud Pak Aris.
“Nona, maaf, ya. Saya duduk di kursi sedangkan Nona duduk di bawah. Sekali lagi maafkan saya, Nona,” ucap istri Pak Aris.
Senja tersenyum dengan tulus. “Tidak masalah, Bu. Saya mengerti kondisi ibu,” jawab Senja dengan sangat ramah.
Dari jendela samping rumah, ada pria yang menatap kagum dengan Senja. Ia kagum dengan Senja yang begitu ramah dan mudah berbaur meskipun bukan dengan orang sekelasnya.
“Anak bapak namanya siapa?” tanya Senja.
“Namanya Arman, Nona. Dia sudah 8 tahun, masih bersekolah di sekolah dasar,” jawab Pak Aris.
Senja mengangguk. “Boleh tau sakitnya apa ya, Pak?” tanya Senja lagi.
Wajah Pak Aris berubah sendu dengan pertanyaan Senja. “Dia sakit paru-paru, Nona. Dan harus berobat rutin ke rumah sakit. Kadang kalau lagi kumat, dia batuk-batuk terus sampai sesak dan kesulitan bernafas. Jadi saya harus membawanya ke rumah sakit terdekat. Itu sebabnya saya kadang tidak masuk bekerja, Nona,” jawab Pak Aris terus terang.
Saat ini Senja mengerti bagaimana kondisi Pak Aris. Istri beliau lumpuh dan tak bisa berjalan. Bagaimana bisa beliau membawa anaknya ke rumah sakit kalau sedang kumat.
“Sekarang saya mengerti posisi bapak, saya akan bicarakan dengan bagian HRD soal ini. Bapak tidak perlu khawatir. Yang harus bapak utamakan adalah kesehatan anak dan istri bapak. Masalah pekerjaan, bisa dibantu karyawan lain dulu kalau bapak tidak masuk,” kata Senja yang terdengar bagaikan angin segar bagi Pak Aris dan keluarganya.
“Terimakasih, Nona. Terimakasih sudah mengerti kondisi keluarga saya. Saya berjanji akan bekerja lebih giat lagi di perusahaan milik Tuan Andika,” ucap Pak Aris dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
“Sama-sama, Pak. Terimakasih juga sudah mengabdi pada perusahaan saya,” balas Senja dengan ramah.
Kemudian Senja mengambil amplop coklat dari dalam tasnya. Di dalam amplop itu ada uang tunai sejumlah lima juta rupiah. Uang itu sebenarnya uang pegangannya untuk berbelanja, tapi karena merasa Pak Aris lebih membutuhkan, ia pun memberi uang itu pada Pak Aris.
“Maaf saya tidak bawa persiapan apa-apa kemari. Lain kali kalau ada waktu, saya akan berkunjung lagi kesini. Ini ada sedikit rejeki buat bapak dan keluarga. Semoga dapat bermanfaat buat bapak dan keluarga bapak, ya.”
Pak Aris dan istrinya sontak terharu dengan kebaikan hati atasannya itu. Seumur-umur baru kali ini ia mendapat bantuan sebesar itu.
“Soal pengobatan anak bapak, nanti saya akan minta asisten saya mengaturnya. Semua biaya pengobatannya biar saya yang tanggung. Kalaupun anak bapak harus dirawat, biar biayanya menjadi urusan saya. Saya harap bapak dan ibu mau menerimanya.”
“Terimakasih, Nona. Terimakasih atas kebaikan Nona. Semoga Tuhan membalas kebaikan Nona dengan berlipat ganda.”
Senja tersenyum dan berterimakasih atas do'a tulus yang dilanjutkan Pak Aris dan istrinya kepada dirinya. Setelah selesai urusan dengan Pak Aris, Senja pun berpamitan lalu kembali ke mobilnya.
Saat hendak kembali ke mobil, Senja melihat ada mobil tepat terparkir di belakang mobilnya. Sepertinya ia kenal dengan mobil itu. Tak lama terdengar langkah kaki seseorang mendekatinya dari belakang.
Senja pun berbalik lalu mendapati Bumi berjalan ke arahnya.
“Bumi?” Senja merasa heran kenapa Tuan Muda Dirgantara itu juga ada disana.
“Akhirnya kau bisa menyebut namaku dengan benar,” jawab Bumi.
“Jangan bilang kau mengikutiku?!” tebak Senja.
Bumi hanya mengangkat bahunya saja membuat Senja menggelengkan kepalanya.
“Kau memang aneh,” ucap Senja lalu pergi masuk ke mobilnya begitu saja.
Bumi mengetuk kaca jendela mobil Senja, lalu Senja menurunkan kaca mobil itu.
“Kau mau kemana? Sebaiknya kau langsung pulang saja,” tanya Bumi.
“Tidak. Aku belum mau pulang. Aku mau ke suatu tempat,” jawab Senja.
“Kemana?” tanya Bumi penasaran.
“Penasaran, ya? Bukan urusanmu,” jawab Senja sambil terkekeh.
Lalu ia kembali menutup kaca mobil dan meninggalkan Bumi disana. Bumi kembali masuk ke mobilnya dan memerintahkan Jefri mengikuti Senja dari belakang.
“Jef, kejar dia!” titah Bumi.
“Baik, bos.”
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Coco
wah wah mulai tertarik nih
2023-06-07
0
Titha Tantya
makin terkagum2 deh tuh bumi sama senja🤭🤭
2022-11-09
0
Titha Tantya
khawatir niyeh🤭🤭🤭
2022-11-09
0