Mobil milik Senja terlihat memasuki sebuah kawasan pantai. Di belakangnya ada mobil Bumi yang masih setia mengikuti kemana arah mobilnya itu. Setibanya di pantai, Senja memarkirkan mobilnya lalu ia turun untuk berjalan menyusuri pantai.
“Apa dia tidak ada kerjaan ke pantai sore-sore begini?” tanya Bumi yang masih memperhatikan Senja dari dalam mobil.
“Mungkin Nona Senja ingin melihat kembarannya sendiri, Tuan,” jawab Jefri sambil menahan diri agar tidak tertawa.
“Kembarannya?” ulang Bumi. “Siapa?” tanya Bumi penasaran. Setaunya Senja anak tunggal Tuan Andika.
“Senja, Tuan,” jawab Jefri.
“Maksudku kembarannya siapa?” tanya Bumi lagi.
“Ya Senja, Tuan,” jawab Jefri lagi yang membuat Bumi mengernyitkan dahinya.
Sepertinya Tuan Bumi tidak paham maksudku. Batin Jefri.
“Maksud saya, Nona Senja ingin melihat matahari terbenam, Tuan. Matahari terbenam itu kan namanya senja juga,” jelas Jefri yang membuat Bumi berdecak.
“Ck! Kau tunggu disini!” titah Bumi lalu turun dari mobilnya.
Setelah Bumi turun, barulah Jefri tertawa terbahak-bahak karena Tuannya itu tidak mengerti apa yang ia maksud.
Senja sudah berada di ujung jembatan tak berpagar yang ada di pantai itu. Dari sana sepertinya matahari terbenam akan terlihat sangat jelas. Senja berdiri menghadap hamparan laut lepas yang ada di depannya. Hembusan angin yang bergerak perlahan membuatnya merasa sejuk hingga ia memeluk tubuhnya sendiri dengan kedua tangannya.
Tap tap tap tap.
Terdengar langkah kaki dengan hentakan yang tak tergesa makin menghampirinya. Tiba-tiba sepasang tangan yang kokoh melampirkan jas berwarna hitam yang harum bau parfum mewah ke bahu Senja. Bumi tau, Senja kedinginan saat itu. Senja masih diam, ia masih tak bergeming menunggu matahari terbenam.
“Seharusnya kau pulang, bukan malah berada disini. Anginnya membuatmu dingin,” ucap Bumi yang berdiri di samping Senja namun menatap ke depan searah dengan pandangan Senja.
“Aku masih mau disini. Aku merasa nyaman disini. Lebih tepatnya aku merasa nyaman bisa menyaksikan pemandangan saat matahari terbenam,” sahut Senja tanpa mengalihkan pandangannya.
“Apa karena namamu Senja jadi kau suka melihat matahari terbenam?” tanya Bumi.
“Entahlah. Tapi mamaku pernah bercerita, waktu hamil aku, mama senang sekali melihat matahari terbenam. Kata mama, rasa mual dan sakit saat hamil akan hilang kalau sudah melihat matahari terbenam. Dan aku juga kebetulan lahir sore saat matahari terbenam. Jadi rasanya memang pas namaku Senja,” jawab Senja sambil tertawa lebar. Cerita yang cukup unik baginya.
“Dan kau suka namamu Senja?” tanya Bumi yang kini menoleh ke arah Senja.
Senja menggeleng, lalu ia pun menatap ke samping melihat wajah Bumi. “Senja itu tidak lama, hanya sementara,” jawab Senja sangat singkat.
“Apa maksudmu?” tanya Bumi lagi.
“Senja itu saat dimana matahari terbenam. Sesingkat itu bukan? Aku berharap kehidupanku tidak sesingkat itu,” jawab Senja dengan lirih.
“Sssttt.....” Bumi meletakkan jari telunjuknya di bibir mungil Senja agar gadis itu tak lagi melanjutkan perkataannya.
“Jangan bilang begitu!” ucap Bumi dengan pelan. Ia menatap wajah Senja dalam-dalam. Telunjuknya masih berada disana. Ia tak rela Senja mengatakan hal seperti itu lagi.
Senja meraih tangan Bumi yang tampaknya setia berada di depan bibirnya.
“Biar semesta yang menentukan seberapa lama kehidupanku di dunia ini. Tidak usah dipikirkan ucapanku tadi,” kata Senja.
Bumi menggenggam erat tangan Senja yang sedang memegang tangannya. Ia kembali menelusuri mata indah yang menarik perhatiannya saat pertama kali bertemu.
“Dunia ini masih membutuhkan orang baik sepertimu, Senja,” ucap Bumi.
“Kau sedang memujiku?”
“Tidak.”
“Lalu tadi apa?”
“Entahlah.”
“Ihhh, jawaban seperti apa itu,” protes Senja.
“Sudahlah, lihat itu mataharinya hampir terbenam!” kata Bumi mengalihkan pembicaraan.
Semburat merah dari matahari pun menghiasi langit sore itu. Burung-burung tampak berterbangan di ujung langit kembali ke tempat asalnya. Perlahan tapi pasti sang matahari mulai menghilang seperti ditelan lautan. Setelah kehilangan cahaya senjanya, langit itu tampak gelap dan tak bermaya.
“Indahnya,” gumam Senja penuh takjub.
Bumi menoleh ke samping. “Ya, sangat indah.” Entah senja yang mana yang menurutnya indah, hanya dialah yang tau.
“Hari akan gelap, kita harus pulang,” ucap Senja.
“Iya. Ku harap kau langsung pulang ke rumah dan jangan kemana-mana lagi,” pesan Bumi.
“Kau bisa bawel juga ternyata,” kata Senja sambil terkekeh.
Bumi menarik sudut bibirnya. Membuat senyuman yang samar di wajahnya. “Mau lihat matahari terbenam lagi lain waktu?” tanya Bumi.
Senja mengangguk dengan semangat. “Selagi namaku Senja, selagi itu pula aku akan melihat kembaranku terus,” jawab Senja.
Bisa-bisanya perkataannya sama seperti Jefri. Batin Bumi.
Tanpa melepas genggaman tangannya, Bumi menuntun Senja untuk meninggalkan tempat itu. Senja memperhatikan terus tangan Bumi yang menggenggamnya dengan erat. Entah kenapa, itu membuatnya nyaman. Salahkah ia merasa nyaman di dekat calon suami sepupunya sendiri?
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Titha Tantya
bersatulah kalian.. jgn sampai ada penghalang
2022-11-09
0
Nanda Lelo
gak salah kok senja,,
2022-09-24
0
Mommy K3
Sudah lanjut aja hubungan kalian
2022-07-29
0