Setelah berbicara dengan Oris, Yura pergi dari mansion menaiki taxi. Ia hanya ingin jalan-jalan saja karena merasa bosan di mansion, Yura mengajak Bella untuk bertemu tapi ternyata sahabatnya itu sedang kumpul keluarga dan Yura enggan menganggunya.
Di perjalanan Yura duduk di belakang, pandangannya ia alihkan ke luar jendela. Menatap banyaknya kegiatan yang di lakukan orang-orang, ada sekumpulan mahasiswa yang berjalan di trotoar seraya bercanda, ada pedagang yang sedang melayani pembelinya, ada kakek-kakek yang sedang menyapu jalanan dan masih banyak lagi.
Ketika taxi itu melewati salah satu gereja yang cukup besar, Yura menyipitkan matanya, ia seperti mengenali tubuh pria yang sedang mengangkat kursi ke dalam gereja itu.
Pria itu terus bolak-balik membawa kursi dari luar ke dalam gereja. Taxi itu berhenti tak jauh dari gereja tersebut, kemudian Yura keluar dari mobil.
"Winter ..." gumamnya.
Yura pun berlari masuk ke dalam gereja menghampiri Winter. Ia berjalan perlahan dengan suasana gereja yang sepi, Yura mengedarkan pandangan nya mencari Winter.
Ada banyak kursi panjang di gereja itu dan beberapa kursi biasa.
Mata Yura tertuju pada sosok pria jangkung yang sedang mengelap kursi panjang.
"Winter ..." panggil Yura.
Winter pun menoleh, ia menyimpan kain lap nya di meja kemudian menghampiri Yura.
"Kau sedang apa di sini?" tanya Yura pelan karena tidak enak jika harus berteriak di tempat seperti ini.
"Bersih-bersih ..."
Yura menautkan kedua alisnya heran. "Kau, suka bersih-bersih di gereja." Winter mengangguk.
"Biasanya hari apa bersih-bersih?"
"Minggu, sekalian beribadah."
"Oh .." Yura mengangguk-ngangguk. "Eh tapi kan sekarang bukan hari minggu."
"Minggu kemarin tidak datang ke sini."
"Kenapa?"
"Karena menikah."
"Eh iya juga ya hehe. Hari minggu kau menikah, denganku ..." Yura menyengir tapi Winter masih saja memasang wajah datar.
Kemudian Winter kembali membersihkan kursi panjang. Yura berlari kecil mendekati Winter.
"Aku bantu ya ..."
Winter mengangguk.
"Aku bantu apa?"
"Pel."
"Dimana lap pel nya?"
Winter menunjuk salah satu ruangan tempat penyimpanan beberapa peralatan.
"Oh, oke ..." Yura pun berlari masuk ke ruangan tersebut.
Beberapa menit kemudian Yura mulai mengepel lantai dengan mulut yang tak henti berbicara.
Ia sengaja tidak diam sama sekali agar suasana tidak hening, Yura berusaha menghidupkan suasana. Tapi Winter hanya menjawab sesekali saja.
"Orang-orang datang ke sini selain mendekatkan diri dengan Tuhan Nya, kebanyakan datang meminta agar di beri kekayaan. Iya kan?"
Winter diam tak menjawab, ia masih tetap mengelap kursi panjang yang lain.
"Ah, tapi itu lebih baik dari pada orang yang jarang datang ke sini, seperti aku hehe."
"Kau sendiri dari kapan sering bersih-bersih di sini dan apa tujuanmu mendekatkan diri kepada Tuhan? kau punya keinginan?"
"Punya."
"Apa?" tanya Yura menatap Winter.
Tapi setelahnya Winter tidak menjawab apapun, pria itu malah pergi ke ruang peralatan membuat Yura mendengus kasar.
Kalau aku jadi bagian dari tubuh dia. Aku akan berubah jadi mulutnya saja, agar mulutnya tidak selalu tertutup rapat.
Ketika Winter keluar dari ruang peralatan, ia mendapati Yura sedang berdoa. Merapatkan kedua tangan nya dengan memejamkan mata. Tapi Yura tidak berdoa di dalam hati, ia justru mengucapkan keinginannya itu secara langsung dan bisa di dengar oleh Winter.
"Tuhan ... ada sesuatu yang harus engkau cairkan, sesuatu yang mirip seperti es tapi bukan es. Aku sudah terlanjur masuk ke dalam hidupnya, kalau dia masih belum cair juga aku bisa gila dengan sikapnya setiap hari."
Winter mengerutkan dahinya bingung, apa maksud dari doa yang di minta Yura. Kenapa minta es di cairkan, hanya itu yang ada di otak Winter.
Ketika Yura perlahan membuka matanya kembali, ia menoleh ke samping dan Winter sedang menatapnya.
Yura pun membalikkan badan menatap lurus pria itu. Mereka saling menatap intens selama beberapa detik, hening dan tidak ada yang bicara selain mata mereka yang saling menatap penuh arti.
Kemudian Winter berlalu begitu saja melewati Yura, Yura kembali mendengus kasar. "Sabar, doa tidak langsung terkabul Yura ..."
Yura pun menyusul Winter. Seraya terus memanggil pria itu.
"Winter, Winter ... tunggu."
Winter menghentikan langkahnya di teras gereja. Yura pun berdiri di depan Winter.
"Sesuai namamu, aku akan memanggilmu pria musim dingin," kata Yura tersenyum di hadapan Winter.
Winter tidak bereaksi apa-apa, selain kembali berjalan melewati Yura, membuat gadis itu memudarkan senyuman di wajahnya. Ia berbalik menatap kepergian Winter yang berjalan menuju mobilnya.
Yura pun dengan malas akhirnya menyusul Winter.
"Setelah ini mau kemana?" tanya Yura.
"Pulang."
"Bagaimana kalau ke pantai," ajak Yura.
Winter mengangguk dan Yura tersenyum senang lalu masuk ke mobil.
Jarak menuju pantai cukup jauh, Yura selalu berusaha berbicara dengan Winter, tapi ketika Yura kehabisan topik pembicaraan, Winter hanya diam dan tidak membuka obrolan baru. Hal itu membuat Yura kesal.
Apa dia tidak penasaran dengan hidupku, tanya apa saja kan bisa. Tanya makanan kesukaanku, warna kesukaanku, aku sekolah dimana. Ah, dia menyebalkan. Kalau seperti ini aku seperti sedang mewawancarai seseorang. Lebih baik aku mewawancarai Nathan-ku saja kalau seperti ini.
Setelah terus menggerutu kesal dalam hatinya, akhirnya Yura ketiduran di mobil. Bahkan ketika mereka sudah sampai di pantai, Winter tidak berniat membangunkan gadis itu.
Winter hanya duduk di balik kemudi, mobilnya berada di pesisir pantai dan dirinya hanya sibuk membaca buku, membiarkan istrinya tidur entah sampai kapan.
Wajah Yura berkeringat, kepalanya bergerak ke kanan-kiri dengan terus mengigau.
"Mama ..."
"Mama lari ma ..."
"Mama ayo lari, ayo pergi dari sini ..." lirihnya dengan menangis tanpa membuka matanya.
Winter menoleh. "Yura ..." Ia menepuk-nepuk pipi Yura.
"Maa ... aku takut ..." lirihnya dengan air mata membasahi gadis itu. Alam bawah sadarnya seperti ketakutan.
"Yura ..."
"Bangun ..."
"Yura ..."
Yura sontak membuka mata dengan nafas terengah-engah, pandangannya kosong menatap ombak di depan nya.
"Yura kau--"
Yura langsung memeluk Winter dengan tubuh gemetar hebat, wajahnya pucat, keringat dingin terus membasahi tubuhnya.
"Takut ..." lirihnya dengan gemetar dan menangis.
"Takut ..." ulang Yura dengan tangis semakin meledak.
Winter yang semula hanya diam ketika Yura memeluknya akhirnya melingkarkan tangannya di pinggang gadis itu dengan satu tangan mengelus kepala Yura.
"Takut apa?"
Yura menoleh ke arah ombak di lautan. Winter ikut menatap ombak tersebut.
"Kau takut lautan?"
Yura mengangguk cepat dan hal itu membuat Winter bingung, kalau Yura takut dengan lautan kenapa gadis itu mengajaknya datang ke sini tadi.
"Kenapa takut?" tanya Winter.
"Laut mau membunuhku ..." lirih Yura sebelum akhirnya dia jatuh pingsan di pelukan Winter.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 163 Episodes
Comments
Lilis Hasanah
kasihan yura
2022-04-29
0
Watty Virgo
jng" yura bkn anak.kandung daddy benjamin nih...aduh aku makin penasarna aj nih..lnjut kk🤔🤔😁😁👌👌
2022-04-18
0
Yohana Woleka
Amat berbahaya bila Yura tidak terus terang dia sakit apa.Dengan dia pernah mimisan setelah acara pernikahannya,ada kemungkinan dia sakit yg berbahaya.Yakni cancer darah ..
2022-04-15
1