Di dalam mobil, Arman hanya berdiam diri tanpa mau berbicara sedikitpun. Dia menyenderkan tubuhnya di jok kursi dengan mata terpejam. Sedangkan Rey terus mengemudi tanpa tunjuan. D tidak berani bertanya, ia hanya menuruti apa yang papanya perintahkan.
"Rey, tolong antarkan Papa ke Bogor!" pinta Arman dengan suara lirihnya.
"Baik, Pah," jawab Rey tanpa menolak.
Perjalanan terus berlanjut, hingga tibalah mereka di Bogor tepatnya di rumah yang dulu keluarga Arman tempati. Arman menghirup udara pelan-pelan dan mengeluarkannya secara kasar.
"Tempatnya masih sama seperti dulu," batin Arman.
Arman tidak pernah menjual rumah yang dulu mereka tempati. Meski dulu usaha orang tuanya bangkrut, ia melarang Ibunya untuk menjual rumahnya, alasannya hanya satu, banyak kenangan.
Langkah demi langkah Arman lewati, Rey hanya mengikuti kemanapun Papanya melangkah. Arman terus menyusuri setiap sudut ruangan yang ada di sana. Semuanya masih terlihat rapi dan bersih, Arman selalu menugaskan seseorang untuk merawatnya.
Langkahnya terhenti ketika berada tepat di depan pintu masuk kamar sang adik. Rasa gugup tiba-tiba menghampiri, buliran keringat dingin mulai bercucuran, dia takut akan sesuatu yang membuat dia kecewa.
"Pah, ada apa?" tanya Rey bingung.
"Tidak apa-apa, Papa hanya gugup saja."
"Oh, Rey mau kedepan dulu, Pah. Mau beli makanan." izin Rey dan di angguki oleh Arman.
Rey berlalu meninggalkan sang Papa, dan Armanpun mulai memegang gagang pintu. Dia perlahan membuka pintu kamar sang adik.
Setelah berada di dalam, mata Arman terus menerus menelusuri setiap sudut kamar itu, memperhatikan dengan teliti mencari sesuatu yang mungkin bisa menjadi sebuah petunjuk untuknya.
Arman sedikit prustasi ketika tak mampu menemukan apapun. Tapi dia tidak menyerah, hingga netra matanya tertuju pada laci kecil yang ada di dalam lemari. Ketika di buka matanya terbelalak menemukan sebuah kotak kecil dari kayu seukuran kotak cincin perhiasan.
Dengan perlahan dia buka, ada sebuah kertas di dalamnya. Dia membuka lipatan, jantungnya berdebar, tangannya gemetar, matanya berkaca-kaca, ia tak mampu lagi menahan air matanya saat setelah membaca kata demi kata isi kertas itu.
"Untuk kakakku sayang.
Ketika Kaka membaca surat ini mungkin aku sudah tiada, tiada dari sisimu, tiada dari sisi kedua orang tua kita, tiada dari rumah kita, atau mungkin tiada dari dunia ini.
Ka Arman, terima kasih atas kasih sayang yang kaka berikan padaku, terima kasih atas semua kebaikan serta perhatian Kaka selama ini.
Ka Arman, kamu selalu menjadi Kaka terhebatku, kamu selalu menjagaku dengan baik. Melindungi ku di setiap waktu, dan selalu menjauhkan ku dari hal-hal yang buruk.
Ka, maafkan aku...maafkan aku.. aku mengecewakanmu, aku tak mampu menjaga diriku sendiri. Aku hancur...aku hancur sehancur-hancurnya, sesuatu buruk telah terjadi padaku. Aku hamil, aku malu pada Tuhan, aku malu pada diriku sendiri, aku malu pada kalian. Biarlah ku jalani hari-hariku tanpa kalian, aku pamit pergi dari hidupmu. Sekali lagi maafkan aku, aku sayang Kaka selamanya.
Dari adikmu, Sofi."
Arman menangis tersedu-sedu, meski dia seorang lelaki, tapi dia juga mempunyai perasaan.
"Pantas saja waktu kelulusanmu, kamu terlihat sedih, dan murung. Jadi, ini alasanmu berubah, Dek? Maafkan Kaka, Kaka tidak peka akan kondisimu, maafkan Kaka yang tidak tahu masalahmu," lirih Arman dengan mata yang sudah mengeluarkan air mata.
"Sofiiiii!!" teriaknya dengan menjambak rambutnya prustasi.
"Bodoh kamu Arman, dasar bodoh. Kaka tidak berguna." Umpat Arman, ia meninju tembok dengan keras.
Arman terus menerus menyalahkan dirinya sendiri, ia melampiaskan amarahnya pada tembok. Tak peduli dengan darah dan rasa sakit yang ia rasakan.
"Papa, apa yang kau lakukan? Jangan menyakiti dirimu, Pah!" Rey berusaha menghentikan kegilaan Papanya.
Saat Rey kembali dari minimarket, dia di kagetkan dengan teriakan sang Papa yang menyebut dirinya bodoh.
"Minggir kamu Rey! Papa tidak peduli rasa sakit yang Papa rasakan, bibimu jauh lebih sakit Reyhan." Bentak Arman masih berusaha meninju tembok.
"Papa fikir dengan Papa seperti ini bibi akan suka? Tidak, Pah! Dia akan merasa sedih, dia akan merasa bersalah, Pah." Sergah Rey yang terus berusaha mencegah Papanya.
Perkataan yang Rey ucapkan membuat Arman lemas, ia menempelkan keningnya pada tembok, kemudian berbalik menyenderkan tubuhnya di tembok dan menurunkan dirinya kebawah dengan posisi duduk.
Arman berusaha menguasai emosi yang saat ini menghampirinya, dia merasa kacau dan bingung harus berbuat apa.
"Kenapa emosi Papa tak terkendali? Apa yang sebenarnya terjadi, Pah" Reyhan bertanya ketika melihat keadaan sang papa sudah membaik.
Tanpa menjawab perkataan sang anak, Arman menunjukan surat yang ia temukan. Reyhan mengambil dan membacanya, matanya berkaca-kaca, dia ikut merasakan kesakitan yang bibinya rasakan. Pasti saat itu dia sangat hancur, masa depannya di hancurkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, dan lebih sakit lagi di saat dirinya butuh dukungan ibunya malah mengusirnya tanpa belas kasih.
****
Kediaman Arman
"Bu, makan dulu! Dari tadi siang, Ibu belum makan," bujuk Dinda.
"Ibu belum mau makan, Din. Ibu ingin menunggu Arman pulang!" tolak Saras dengan tegas.
"Tapi ini udah malam, nanti Ibu bisa sakit."
"Ibu tetap ingin menunggu Arman!" kekehnya.
"Nek, Nenek harus makan! Ini untuk kesehatan Nenek juga. Jika Nenek sehat, kita bisa mencari bibi Sofi!" Amel ikut membujuk sang Nenek menggunakan nama anaknya, berharap dia mau makan.
Dinda dan Saras menoleh, Dinda melotot pada sang anak untuk tidak melanjutkan ucapannya. Tapi Amel tidak peduli akan pelototan sang Ibu, dia terus membujuk neneknya.
"Mau 'kan? Apa Nenek tidak mau bertemu dengan Bibi?" tanya Amel.
"Nenek sangat ingin bertemu dengannya, Mel. Nenek ingin meminta maaf dan menebus semua kesalahan yang pernah Nenek lakukan padanya. Tapi Nenek takut dia tidak mau memaafkan Nenek." Saras berucap dengan mata berkaca-kaca.
"Bu, tidak ada yang tidak mungkin. Sofi pasti mau memaafkan Ibu. Aku tahu Sofi seperti apa, hatinya baik, dan sangat lembut. Didikan ayah berhasil membuat mas Arman dan Sofi menjadi orang-orang baik," kata Dinda.
Waktu sudah menunjukan 23.00 tapi, Arman masih belum kembali juga. Hingga beberapa saat kemudian, suara mobil terdengar di telinga mereka masing-masing. Saat ini bu Saras, dan Dinda sedang berada di ruang tamu, sedangkan Amel sudah tidur di kamarnya. Mereka menunggu kepulangan Arman.
"Arman." Panggil sang ibu setelah melihat anaknya melewati dirinya.
Arman berhenti sejenak, dia tidak mau menoleh.
"Maafkan Ibu Arman, Ibu menyesal. Karena perbuatan Ibu, Ayahmu menjadi sakit lalu meninggal." Ucap Ibu penuh permohonan dan penyesalan.
Arman mengepalkan tangannya. Dia merasa marah, kecewa, menyesal menjadi satu. Marah akan kebohongan yang Ibunya sembunyikan, kecewa karena Sofi tidak mau membagi kesedihan yang dia alami seakan Arman tidak penting bagi adiknya, dan menyesal karena dia tidak bisa menjaga sang adik dengan baik dan menyesal karena lebih percaya pada ibunya.
"Ibu menyesal, Ibu salah telah menyembunyikan ini semua, Ibu minta maaf Arman." Saras meminta maaf di sela tangisnya dan berusaha meraih tangan sang anak tapi tangannya di tepis oleh Arman.
"Harusnya Ibu meminta maaf kepada adikku, anak yang Ibu sakiti lahir, dan batinnya. Aku kecewa Bu, aku tak menyangka Ibu seperti itu!" Setelah berucap seperti itu ia pergi meninggalkan sang ibu yang mematung akan sikap sang anak.
Menuruti emosi dan hawa nafsu hanya akan membuatmu menyesal, mungkin penyesalan adalah hadiah dari tuhan atas apa yang pernah kamu lakukan sebelumnya. Hingga penyesalan tersebut mengajarkanmu untuk selalu berhati-hati dalam hal apapun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Lina ciello
wes telat bu
2024-09-01
0
Lina ciello
sopo sek menghamili
2024-09-01
0
🌹🪴eiv🪴🌹
hiks nangis 😭😭😭😭
2023-02-23
1