Bunyi dentuman mengagetkan seisi kota di tengah malam. Seluruh orang berlarian keluar rumah. Bumi bahkan bergetar karena kerasnya ledakan yang terjadi.
Sean yang tertidur di sofa, langsung terbangun dengan telinga yang mengeluarkan darah. Sean juga mengalami pening secara tiba-tiba. Dia mencoba untuk bangun namun tersungkur ke lantai karena kepalanya yang pening.
Freya yang keluar dari kamar karena terkejut semakin terkejut ketika mendapati Sean terbaring dilantai. "Te...telingamu kenapa?" paniknya. Dia berusaha membantu Sean untuk duduk.
"Ssst... " Sean mendesis menahan sakit.
Dia bersandar pada Sofa dengan mata terpejam. Tangannya mencengkram pergelangan tangan Freya. Suhu tubuhnya menjadi lebih panas seperti terserang demam.
"Aku akan panggilkan Profesor."
"Tetap disini, tunggu sebentar lagi." sahut Sean, suaranya nyaris seperti bisikan.
Freya tidak tahu apa yang terjadi, dia bisa mendengar suara orang-orang diluar rumah. Mereka mungkin juga ketakutan akan suara dentuman luar biasa itu.
"Kita perlu kerumah sakit, aku akan panggil Profesor."
"Tidak, aku hanya perlu istirahat."
Sean menarik tangan Freya dan memaksanya untuk duduk disebelahnya. Lalu dia membaringkan dirinya. Seperti sebelumnya, Sean memeluk pinggang Freya. Sebelah tangannya menggenggam tangan gadis itu.
Kalau dulu Freya akan bersikap santai, kali ini dia tidak bisa menahan jantungnya yang seperti akan melompat keuar. Pipinya memerah sampai ketelinganya.
"Maafkan aku, membuatmu repot. Tapi aku selalu merasa lebih baik ketika terus menyentuhmu." Suara Sean teredam, napasnya juga mulai teratur.
"Apa kamu akan tidur? Diluar sangat berisik. Bagaimana kalau itu ledakan nuklir lagi?"
Tidak ada respon, Freya menunduk. Dia menghela napas ketika mengira Sean benar-benar tertidur. Kepalanya menunduk, memperhatikan sebelah wajah Sean yang tertutup oleh rambut ikalnya.
Bertarung dengan logikanya, Freya akhirnya mengangkat tangan lain untuk merapikan rambut itu. Dia menyapirkan rambut Sean kebelakang telinganya. Tampa sadar, dia semakin terhanyut untuk mengelus rambut yang terasa sangat lembut ditangannya itu.
"Ini... Terasa seperti rambut bayi," gumamnya.
Sean yang nyatanya tidak tidur, menggerakkan sedikit matanya. Dia tertegun dalam hati. Bagaimana tangan itu membuatnya semakin nyaman dan terbuai. Dia benar-benar tidak mengerti mengapa dia semakin nyaman bersama wanita yang saat ini ia peluk.
Sean menjadi benar-benar mengantuk. Rasa sakitnya hilang begitu saja. Dia hampir terlelap kalau saja ketukan di pintu dan suara bel rumah berbuyi bersamaan.
"Sean, aku akan...."
"Aku saja," kata Sean sembari bangkit.
Dia mengambil beberapa tisu dan mengelap sisa darah di bawah telinganya. Sean membuka pintu, menatap beberapa orang yang berdiri dihadapannya.
"Bukankah penghuni rumah ini wanita?" tanya mereka.
"Dia sedang sakit."
Beberapa orang itu tampak curiga. Namun melihat ekspresi Sean yang menatap mereka dengan dingin dan penuh intimidasi, membuat nyali mereka menjadi ciut.
"Petugas keamanan kompleks ini menyarankan semua orang untuk siaga di depan rumah. Karena penghuni ini tidak keluar, kami ingin memberi tahu." kata salah satu yang paling tinggi, namun meski begitu, Sean masih jauh lebih tinggi darinya.
"Aku mengerti. Kami akan duduk di depan rumah. Apa yang terjadi?" tanya Sea basa basi.
"Tidak tahu."
"Oh, baiklah." sahutnya singkat.
Orang-orang itu tampak lebih canggung, lalu mereka semua pamit untuk pergi ketika Sean semakin menciptakan suasana canggung yang nyata.
"Ada apa?" tanya Freya ketika menyusul.
Sean tidak menjawab, dia masuk dan mengambil selimut, lalu kembali lagi dan menyampirkannya ketubuh Freya. "Diluar cukup dingin. Ayo!" katanya, menarik tangan Freya
"Tetap duduk disini. Aku akan pergi karena beberapa orang dari Cell Farma sedang menuju kemari. Katakan pada mereka kalau aku sudah pergi. Mereka tidak akan berbuat macam-macam padamu."
"Tunggu, ka-kamu mau kemana?"
"Aku akan mengawasimu." kata Sean, lalu dalam sekejap sudah menghilang.
Belum selesai keterkejutannya, Freya dikejutkan lagi oleh kedatangan beberapa orang berseragam dan bersenjata. Lalu tidak lama, Adam berlari dari luar pagar.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Adam.
Freya tidak bisa menjawab, orang-orang dengan sembarangan masuk dan menggeledah sekeliling rumah bahkan kamarnya.
"Dimana pria yang bersamamu?" tanya salah satu diantara mereka setelah tidak menemukan apa-apa.
"Dia sudah pergi."
"Jagan berani berbohong brengsek!" maki salah satu dari mereka. Dia bahkan menarik selimut Freya dan mencoba mencekiknya kalau saja Adam tidak menahannya.
"Jangan berlebihan, aku bisa menuntut kalian pada Willi atau bahkan pemilik Cell Farma." ancam Adam ikut marah.
Sean yang memperhatikan dari gelapnya malam, mengeraskan rahangnya. Perasaan marah merasukinya ketika melihat Freya mendapatkan perlakuan kasar seperti itu. Ada keinginan besar yang terasa mengalir diseluruh pembuluh darahnya.
Sean masuk ke dalam salah satu mobil mereka ketika mereka akhirnya memutuskan untuk pergi. Keinginan besar mematahkan tangan yang menyakiti Freya sangat besar.
"Sial! Satu orang ini membuat kita selalu bekerja keras." kesal salah satu dari mereka.
Sean menyeringai dalam kegelapan. Ketika lampu mobil lain menyiroti mobil mereka, saat itulah kedua orang itu melihat pantulan Sean melalui kaca spion. Dua orang yang duduk di depan Sean itu melebarkan matanya. Mereka baru saja memasuki jalan tol. Tampa memikirkan pengguna jalan lain dan rekan mereka yang berada di belakang. Mereka menghentikan mobil di pinggir jalan.
Keduanya segera mengcungkan pistol pada Sean. "Angkat tanganmu." desis salah satu dari mereka.
Sean tidak bergerak sedikitpun. Dia hanya menatap dua orang itu dengan pupil mata yang sudah berubah total menjadi keemasan. Sean menarik sudut bibirnya sekian detik ketika menyadari ketakutan dua orang dihadapannya.
Ketiganya melirik kiri kanan, rekan-rekan dua orang ini telah mengelikingi mobil ketika tahu ada yang salah. Mereka juga bersiaga dengan senjata ditangan masing-masing.
"Aku hanya ingin membalas rasa sakit yang disebabkan oleh tanganmu."
Sean menatap pria yang berada di belakang kemudi. Menatapnya dengan pandangan membunuh. Membuat tubuh pria itu menggigil ketakutan.
Tampa mereka sadari, Sean sudah merebut kedua pistol itu, menahan pria lain dengan tangan kirinya dan tangan satunya mencengkram keras pergelangan tangan pria yang mencekik Freya tadi. Dengan penuh amarah, Sean mencengkram kuat dan menekuknya sehingga menimbulkan bunyi patahan.
Pria itu menjerit kesakitan, Sean menendang pria sebelah kirinya hingga pingsan. Membuka pintu dan melemparnya keluar. Dengan cepat ia keluar dan berdiri beberapa meter dari semua orang yang mengarahkan senjata kepadanya.
Secepat kilasan cahaya lampu mobil yang lewat, Sean juga menghilang. Mereka semua kebingungan dan mencari kesegala arah. Namun tidak menemukan Sean dimanapun.
Sean sendiri telah berdiri di atas atap bus yang tengah berjalan. Menikmati angin yang meniup kencang wajahnya. Tubuh tegap dan tingginya membelah udara ketika dia melompat tinggi dan terbang dengan cepat ketika sayapnya langsung membentang menantang kegelapan langit.
.
Sean terbang menuju kepulan asap yang terus menjulang dari arah pabrik yang berada tidak jauh dari gedung laboratorium Cell Farma. Dia berjalan dengan langkah lebar ketika kakinya menapak tanah.
Ada banyak orang terluka dan mati dihadapannya. Belasan ambulan keluar masuk ke area itu. Sean sendiri berdiri dari jarak tak terlihat. Bau zat kimia yang sangat ia kenali menyeruak diantara asap yang mulai menyebar.
Beberapa wartawan tampak mulai berdatangan. Sean mundur dan berdiri di antara tiang yang menyangga persediaan air. Dia mencoba mendengarkan percakapan beberapa orang disana.
Terdengar kemarahan dari sekelompok orang di samping sebuah bangunan yang masih terbakar. Dia menyebut-nyebut nama Bagaskara dan Willi dengan penuh amarah. Tampaknya, Sean bisa menebak apa yang menyebabkan tempat ini meledak dengan suara yang dentuman yang amat keras.
Sean bisa melihat lubang menganga ditengah bangunan yang terbakar. Tampaknya itu adalah pabrik yang sudah menjadi puing-puing tak berharga.
Sean ingat Willi masih terbaring di rumah sakit. Dengan rasa penasaran, di kembali menjauh dari orang-orang, mengepakkan sayapnya dan pergi dari sana.
Sesampainya di atas atap gedung rumah sakit. Sean berjalan santai dengan bagian atas tubuhnya masih terbuka. Dia menggunakan telinganya untuk mengetahui dimana ruang loundry rumah sakit. Dengan cepat ia berlari kesana, mengambil satu baju petugas medis dan memakaianya.
Dia berjalan kembali menuju ruangan dimana Willi di rawat. Duduk tenang ditangga darurat dan mencob mencuri dengar. Sayangnya, suara-suara lain membuat Sean cukup sulit mengidentifikasi. Mau tidak mau, dia harus berada lebih dekat lagi.
Dia melihat dua orang perawat jaga sedang sibuk meletakkan beberapa obat diatas wadah, lalu salah satunya berjalan menuju satu ruang rawat inap. Ketika perawat lain juga masuk ke dalam ruangan lain, saat itulah Sean melewati tempat itu untuk masuk ke dalam ruangan Willi.
Pria itu sedang membaca buku saat Sean masuk. Dia mendongak dan terpaku sesaat ketika melihat Sean sudah berdiri di depan pintu. Tersenyum santai ketika Sean mengunci pintu dan duduk di sofa ruangan itu.
"Aku terharu kamu menjengukku. Apa kabar, nak?" tanya Willi.
Pria yang jauh lebih dewasa dari Sean itu meletakkan bukunya dan membalas tatapan dingin Sean padanya.
"Apa tujuanmu meledakkan pabrik itu?"
Willi melirik jendela, cakrawala mulai menunjukkan sinarnya. Matahari mulai terbit. Mata dengan sorot penuh kelicikan itu melirik Sean sebelum menolehkan kepalanya. Memberikan atensi penuhnya.
"Aku yakin bukan tentang bisnis kotor ini yang ingin kamu ketahui. Katakan padaku, apa syarat agar kamu kembali kepangkuan kami?"
"Bunuh dirimu sendiri." sahut Sean lancar.
"Bhahahahahaha!"
Tawa Willi meledak, dia tertawa seperti orang gila. Lalu tiba-tiba berhenti begitu saja seperti paikopat gila. Jika itu bukan Sean, mungkin orang itu sudah merinding melihatnya.
"Daffin... Ah, apa aku harus memanggilmu Sean sekarang?" dia tersenyum. "Apa yang kamu inginkan? Aku akan mengabulkannya, aku yakin CEO Cell Farma juga sangat menantikan pertemuan kalian. Dia akan senang melihatmu disini."
"Berikan seluruh dataku. Aku akan keluar dari ruangan ini dan meninggalkanmu dengan aman."
Willi menyeringai, dia baru akan membuka mulutnya ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Setelah dia membaca pesan itu, dia kembali terkekeh kecil.
"Apa tikus-tikusku membuatmu sagat marah? Maafkan aku, aku akan lebih berhati-hati dengan dua orang itu. Ah, maksudku dengan gadis cantik yang berharga."
"Dia pantas mendapatkannya, apa kamu juga mau mendapatkan hal yang sama?" sahut Sean dingin.
"Ah, aku tidak mau lagi. Yang kamu patahkan saja belum pulih." sahut Willi dengan nada seolah mereka bukanlah musuh.
Sayangnya, keadaan itu hanya sepersekian detik. Selanjutnya, baik Sean dan Willi saling melempar tatapan penuh intimidasi.
"Sean, Apa kamu mau tahu satu hal tentang dirimu? Satu rahasia... yang mungkin akan membuatmu membenci ibumu selamanya?"
"Jangan pernah menyebut ibuku."
Willi tertawa, tawa hambar yang sarat akan hinaan. "Sesilia hanyalah pelacur kecil yang diambil oleh ayahmu. Untuk apa kamu membelanya?"
Willi tampaknya tidak belajar dari kesalahan, dia masih sajaemancing kemarahan Sean. Bahkan lebih parah dari sebelumnya.
"Apa kamu ingin tahu siapa ayahmu?"
Kuku-kuku yang sudah hampir sempurna keluar, perlahan kembali masuk. Tangan Sean kembali menjadi seperti semula. Willi sangat lihai mempermainkan emosinya. Pria itu bahkan tidak takut akan kemarahan Sean kali ini.
Ayah, adalah kata yang amat tidak disukai ibunya. Sean akan diabaikan berhari-hari ketika dia mulai membahas tentang siapa ayahnya. Karena itu, Sean tidak pernah mendapatkan petunjuk apapun. Ibunya hanya akan terus menyebutkan bahwa Mr.X adalah walinya. Dia yang menjaga Sean dengan baik. Karena itu, Sean tidak diizinkan untuk menanyakan siapa ayah kandungnya.
Karena itu, ketika Willi menyebutkan kata itu, seperti ada letupan kecil dalam hatinya. Sosok yang selalu ia inginkan sejak kecil, ingin ia peluk dan diajak bermain seperti anak lain. Dipeluk dan dirindukan. Namun sayangnya, satupun petunjuk mengenai ayahnya tidak pernah ia dapatkan.
"Siapa... Dia?" tanya Sean.
Willi tersenyum, terlihat sangat puas mendengar pertanyaan itu. Melihat ekspresi Sean sekarang, dia benar-benar terlihat antusias. Sean jelas sangat merindukan sosok ayah, bahkan setelah ia dewasa seperti sekarang ini.
"Kamu akan menemukan jawababannya jika bergabung kembali dengan kami, Sean."
.
Sean berbaring di ranjang kamarnya. Hugo datang padanya dan menyerahkan laptopnya pada Sean. Menunjukkan apa yang telah ia dapatkan.
"Apa ini?"
"Folder dalam laptop Willi."
Mendengar jawaban itu, Sean memperbaiki posisinya menjadi duduk. Membuka folder itu. Ada dua folder lain di dalamnya. Sean membuka folder pertama.
"Ini... Silsilah keluarga siapa?" tanya Sean.
"Aku tidak tahu, tapi karena judulnya diberi nama CF, aku pikir itu mungkin singkatan Cell Farma. Dilihat dari namanya, itu memang nama lahir dari kakek Bagaskara, lalu orang tuanya dan pamannya, lalu dia sebagai anak tunggal pewaris utama. Sayangnya, pamannya sudah meninggal ketika masih muda." kata Hugo memberi penjelasan.
"Apa untungnya kita mengetahui ini?"
"Entahlah, Barbara bilang itu satu-satunya folder yang sempat ia curi sebelum Willi kembali dari kamar mandi. Dia bilang, Willi sedang melihat itu saat dirumah sakit."
Sean memperhatikan lagi dengan teliti. Keningnya mengernyit dengan rasa penasaran.
"Bukankah pak tua itu tidak pernah menikah? Lalu kenapa ada dua cabang dibawah namanya? Dia punya dua anak?"
Sean mendongak karena Hugo yang tidak menjawab pertanyaannya. Sahabatnya itu tampak enggan menyampaikan pendapatnya.
"Katakan apa yang ada dalam kepalamu."
"Ini cukup aneh dengan adanya petunjuk-petunjuk ini. Maksudku... Jadi terlalu mudah untuk kita menemukannya setelah sekian tahun ditutupi. Aku takut ini hanya jadi umpan."
"Katakan dengan jelas." perintah Sean dengan wajah datar.
"Itu... Aku pikir kamu... Entahlah ini hanya perasaanku saja, Oke. Kamu jangan langsung mengambil kesimpulan!"
"Mau kulempar keluar?" kesal Sean dengan nada mengancam. Dia hanya ingin jawaban tapi Hugo membuatnya jadi berbelit-belit.
"Ck, begini! Ini hanya dugaanku. Aku pikir Willi sengaja meninggalkan petunjuk agar kita menemukan fakta ini. Dia ingin mengatakan bahwa, kamu adalah... Kamu adalah...," Hugo menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Kamu... Mungkin saja salah satu anak dari Bagaskara."
"Pemikiran bodoh dari mana itu?" sahut Sean, langsung menolak pernyataan itu. "Jika itu benar, kenapa dia tidak mengatakannya sejak awal dirumah sakit. Kamu terlalu banyak menonton teori konspirasi, ya? Cuci otakmu sana!" lanjutnya sambil mengklik folder satunya.
Kali ini, Sean tidak bisa mengejek pemikiran Hugo. Folder itu berisi banyak foto. Foto ibu Sean ketika dia masih muda. Ketika dia hamil. Ketika dia akan melahirkan. Foto ibunya yang menggendong seorang bayi. Sean usia satu bulan sampai dia dewasa, sampai wajahnya yang telah berubah. Itu berjumlah ratusan foto dalam puluhan file.
Satu hal yang membuat Sean ikut curiga adalah, baik Willi maupun Bagaskara, mereka berdua berada disekitar ibunya sejak dulu. Willi tampak masih sangat muda saat itu.
"Aku juga mencari tahu tentang Willi, dia adalah salah satu anak dengan bakat dan otak luar biasa sejak kecil. Dia lulus dengan gelar Doktor ketika berusia enam belas tahun. Dia bergabung dengan Cell Farma ketika usia 17 tahun. Dalam foto itu, kemungkinan dia baru memasuki dua pulahan. Hal yang mengejutkannya adalah, Bagaskara lulus pada tahun yang sama di Universitas yang sama."
"Lalu, maksudmu menjelaskan itu apa? Menebak ayahku antara mereka berdua karena foto-foto ini?"
"Tidak, aku tetap yakin ayahmu pak tua itu. Dia terlihat mirip denganmu sebelum kamu berubah." jawab Hugo.
Sean terkekeh, menyingkirkan laptop itu lalu turun dari ranjangnya. Dia kesal, kepalanya terasa terbakar karena fakta dan kecurigaan-kecurigaan yang disampaikan Hugo. Dia ingin menyangkal, namun bukti itu terlihat mencurigakan. Hatinya terasa sesak akan kemungkinan-kungkinan yang lebih kejam dari apa yang telah ia dengar sebelumnya terkait sang ibu.
"Mau kemana?" tanya Hugo.
"Aku hampir meledak, aku bisa berada diluar kendali. Aku butuh udara segar."
Nyatanya, nalurinya membawa Sean menuju satu tempat. Rumah yang akhir-akhir ini membuatnya lebih nyaman. Bukan karena rumah itu, tapi tentu saja karena penghuninya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments