Perasaan yang hilang?

Sean membuka matanya. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah atap kamarnya sendiri. Dia menoleh ke kanan, dimana Adam duduk menatapnya. Disebelahnya, ada Freya dengan raut kawatir.

Sean merasa tubuhnya kembali normal. Di terbaring di atas kasurnya sendiri. Selang infus terpasang ditangan kanannya. Perlahan, dia duduk dan bersandar pada kepala tempat tidur. Melirik dua orang yang menatapnya dengan ekpresi meminta penjelasan.

"Dimulai dari mana, Profesor?" Sean menelengkan kepalanya yang masih bersandar, Melirik dua orang itu.

"Aku yakin kamu manusia. Apa yang terjadi padamu? Apakah kamu hasil sebuah eksperimen? Bagaimanapun... Sulit mempercayai ada manusia sepertimu...."

Sean tersenyum penuh misteri, dia menatap kosong dinding di hadapannya. "Aku juga ingin tahu apa yang terjadi padaku, Profesor. Karena itulah aku datang ketempat dimana aku bangun." Sean melirik keduanya. Melihat sekilas raut penuh keterkejutan mereka.

"Maksudmu kamu sengaja datang kesini mengikuti Profesor?" celetuk Freya.

"Itu tidak penting, sekarang ayo buat kesepakatan." tawar Sean, dia mencabut selang infusnya. Lalu memperhatikan tangannya yang melakukan regenerasi sendiri. "Aku baru melihat ini setelah aku terluka." gumamnya. Dia turun dari ranjang dan berdiri menghadap kearah mereka.

"Sudah sejauh mana kalian meneliti sedikit sampel rambutku itu?" tanya Sean.

Baik adam maupun Freya bertukar pandang sesaat. Sepertinya keduanya tidak menyangka bahwa Sean menyadari tindakan mereka.

"Kamu tahu tapi kamu membiarkanku, itu artinya kamu tahu kami mencurigaimu. Apa malam itu kamu sengaja...." Adam tersenyum masam kemudian.

"Aku mempercayaimu dan kemampuanmu, karena itu aku memilihmu. Aku tahu kamu juga sedang mengembangkan metode-metode rekayasa genetik pada hewan. Dibandingkan melihat reaksinya pada hewan, bukankah lebih baik menyelidiki DNA milikku?"

"Lalu apa yang kamu inginkan?"

Kedua pria itu saling melempar pandangan penuh keseriusan. Sean mengangkat tangannya, lalu dengan sekejap saja kukunya berubah dan mencuat seperti cakar elang.

"Aku harus tahu apa yang terjadi padaku, siapa orang dibalik semua ini." Sean menurunkan tangannya setelah tangan itu kembali seperti semula.

"Kamu harusnya tahu dan mengenal mereka bukan? Apa kamu diculik atau sesuatu yang lain?" tanya Freya.

"Sejak bangun, aku kehilangan sebagian besar ingatanku."

Terjadi keheningan beberapa saat hingga ponsel Sean berdering. Sean hanya mengabaikannya seolah sudah tahu siapa yang menghubunginya. Dia tetap ditempatnya, menatap dua orang di hadapannya bergantian.

"Ponselmu...."

"Abaikan itu, hanya katakan kalian setuju atau tidak. Karena jika tidak, aku harus memastikan kalian untuk bisa tutup mulut."

Sean tersenyum, namun bukan jenis senyum ramah. Adam cukup kesal melihatnya sebelum bangkit berdiri.

"Jangan berani mengancamku, nak. Bagaimanapun aku memang sangat penasaran denganmu. Aku setuju, kita akan mencari tahu apa yang terjadi pada tubuhmu setelah kita kembali ke Australia."

"Soal itu, Saya rasa anda harus memulainya disini."

"Sean, aku tidak punya wewenang di laboratorium ini. Akan sangat berbahaya jika pihak militer tahu keadaanmu."

"Anda hanya perlu setuju Profesor, Aku akan menyiapkan tempatnya."

Sean melirik Freya yang sejak tadi tidak mengalihkan pandangan darinya.

"Ada pertanyaan?"

Freya mengerjap beberapa kali, dia melirik Adam yang kini juga menoleh padanya.

"Tidak ada."

"Maka jangan membuat masalah denganku dimasa depan. Tingkahmu cukup menggangguku."

"Akan aku usahakan." sahut Freya dengan datar.

Sean menatapnya dengan pandangan menilai, cukup kagum sebenarnya dengan keberanian gadis itu. Bahkan Adam terlihat berhati-hati padanya sejak lama, namun Freya cukup memiliki nyali yang besar untuk terus mengusiknya.

Pada akhirnya Sean memilih abai. Dia berjalan ke arah kepala ranjang dan mengambil ponselnya yang lagi-lagi bergetar.

"Halo."

"Baiklah, aku akan segera kesana."

Sean memutus sambungan. Mengambil jaket yang tergantung dan meninggalkan dua orang yang mentap kepergiannya dalam diam.

"Profesor... Anda yakin dengan ini? Sean itu... Dia berbahaya kan?"

"Kalau tahu berbahaya kenapa kamu suka sekali menyulut amarahnya?"

"Oh, itu... Yang aku maksud berbahaya adalah latar belakangnya, Profesor. Bisa saja dia terlibat dengan organisasi gelap atau sejenisnya."

"Tapi kita akan kehilangan sumber ilmu pengetahuan yang langka jika kita menolaknya."

Sean yang masih berada di balik pintu menyeringai. Dia pergi secepat angin dari sana sampai-sampai setiap orang yang ia lewati merasakan bulu kuduknya merinding. Mereka yang percaya hantu bergidik dan segera berjalan dengan cepat.

.

Hugo berdiri di ruang tamu. Seorang wanita dan seorang anak kecil duduk di sofa. Memperhatikan dirinya yang mondar mandir dengan gusar.

Ketiganya menoleh pada pintu yang terbuka. Menyaksikan Sean yang berjalan mendekat ke tempat mereka. Sean menatap kedua orang selain Hugo dalam diam. Mengeluarkan kalungnya dan mentap ketiganya bergntian.

"Kalian... Dua orang yang fotonya ada padaku."

"Aku sudah bilang padamu El, dia seperti Daffin tapi juga tidak. Aku benar-benar bingung." ujar Hugo.

Sean menatap wanita yang kini berjalan kearahnya. Mata mereka bertemu namun Sean hanya menatapnya dengan bingung.

"Daffin... matanya masihlah milik Daffin. Dari segala fakta dan bukti yang ada, dia jelas adalah Daffin kita. Dia belum mati!" seru wanita itu di akhir. Dia memeluk Sean dengan erat dan sarat akan kerinduan.

Sean tertegun sesaat, namun karena lupa dan bingung, Sean merasa terganggu. Sean yang merasa risih melepaskan diri dan berjalan dengan bingung ke hadapan Hugo.

"Tunjukkan aku vidio yang kamu maksud." perintah Sean dengan tegas.

Hugo terlihat kasihan melihat wanita yang yang ia panggil kesana itu, wanita itu berbalik mentap punggung Sean dengan mata berkaca-kaca.

"Mama...."

Panggilan anak kecil itu mengalihkan atensi semunya. Sean menoleh padanya. Sedikit terganggu kala anak itu ikut menangis melihat ibunya meneteskan air mata.

"Apa aku mengenal kalian sebelumnya?" tanya Sean dengan nada sangat datar.

"Sean, mereka berdua adalah orang yang penting bagimu." Hugolah yang menjawab. "Wanita itu, Elsa. Lalu anaknya Flo, Flower putri Elsa, ingat? kamu sendiri yang memberikan nama itu."

Sean tentu saja tidak ingat, karena itu dia hanya menampilkan wajah penuh sangsi.

"Aku kehilangan sebagian besar ingatanku. Jadi tunjukkan saja vidionya dulu padaku." pinta Sean.

"Tunggu sebentar," jawab Hugo lalu berjalan menuju meja disudut ruang tamu.

Disana sudah ia siapkan laptopnya. Seluruh isi folder dari memori itu sudah ia pindahkan kesana. Mereka duduk berdua di atas sofa yang sama dan laptoo di letakkan di atas meja.

"Lihatlah baik-baik, aku sudah memeriksanya satu persatu, hanya berisi orang-orang dengan perlengkapan khusus masuk ke dalam ruangan dimana kamu berbaring. Mereka tampak menyuntikkan sesuatu setiap hari padamu."

Sean tidak menjawab, Hugo melirik Elsa yang mengajak Flo menuju dapur. Mengajak anak itu memakan es krim. Namun Hugo tahu mata Elsa tidak lepas dari Sean sedikitpun.

Sean bersandar ketika sudah menyelesaikan menonton dari setengah seluruh folder vidio. Dia merasakan pening mendadak menyerangnya. Sean menutup matanya. Sekelebat bayang-bayang masa lalu mucul begitu saja. Satu potongan yang semakin lama semakin jelas.

Flasback

Sean memasuki hutan rimba dengan jalan setapak yang membuat ban mobil yang ia tumpangi beberapa kali tersandung akar pohon. Mereka bahkan terus-terusan mendengar suara goresan yang ditimbulkan dari tumbuhan rendah yang dahan atau daunnya mengenai badan mobil.

Di dalam mobil, Sean tidak sendirian. Dia bersama teman satu timnya. Di belakang mereka, ada satu mobil lagi. Sean memakai kacamata. Dibalik wajah tirus dengan rahang yang tegas, dia terlihat sangat manis untuk ukuran pria dewasa. wajah cantiknya membuat rekan satu timnya menggodanya.

"Hei Daf, kamu tidak berniat operasi kelamin, kan?" candanya sambil tertawa.

"Jangan katakan hal bodoh itu kawan. Meski wajahnya cantik, dia sudah menaklukkan satu wanita cantik." sambut yang lain.

"Benarkah? Wah Daffin. Kamu mengalahkan senior Yahya, si jomlo abadi di tim kita."

Semua orang tertawa kecuali satu orang selain Daffin. Satu pria yang lebih muda dari Daffin, dia adalah salah satu senior juga meskipun masih muda. Pria itu fokus pada jalan dan ponselnya. Dia duduk di depan, bersebelahan dengan pengemudi.

Pria itu menoleh padanya ketika Daffin menatapnya. Dia membalas tatapan Daffin dengan sorot mata tidak suka. Seorang senior muda yang diwarisi kekuatan finansial. Sehingga kedudukannya di dalam tim menjadi sangat kuat. Belum lagi desas desus mengenai dia yang sering didengar Daffin. Bahwa pria yang bernama Juan itu memiliki hubungan erat dengan Mr.X yang membayar mereka.

Mereka sampai di sebuah bangunan yang terletak di tengah hutan. Dari luar, bangunan itu hanya seperti gudang penyimpanan barang. Sistem keamanannya cukup canggih.

Ketika mereka masuk, Daffin langsung di hadapkan dengan banyaknya perlengkapan alat uji coba, gudang bahan kimia, Beberapa senjata perang jenis baru yang tampak berbeda serta dua ruang khusus dengan dinding dan pintu yang dilapisi anti radiasi.

"Bukankah kita akan membuat senjata untuk Mr.X ini? Kenapa ini lebih seperti laboratorium uji coba untuk manusia?" tanya Daffin.

"Karena kita memang akan melakukan keduanya."

Semua orang menoleh pada seorang wanita yang baru saja keluar dari salah satu ruangan. Wanita yang terkesan sangat tegas dan kuat. Dia adalah Diandra, wanita yang mengajak Daffin pertama kali bergabung kedalam kelompok ini. Wanita yang juga selalu memberikan uang pada Daffin dengan alasan dari seseorang yang ingin bertanggung jawab untuknya. Orang yang sejak lama berhubungan dengan ibunya juga.

Flasback end_

Sean terbaring di atas sofa dengan kepala yang masih berdenyut. Dia menatap kosong langit-langit rumah. Perlahan dia bangkit, menatap lurus pada Hugo yang juga menatapnya dengan kawatir.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Hugo.

Sean tidak menjawab. Dia melirik Elsa dan Flo yang juga menatapnya. Sean menurunkan kakinya dan kembali bersandar sambil memijit kepalanya.

"Ceritakan bagaimana aku bisa terhubung dengan orang-orang di dalam vidio itu. Apa kalian mengenal mereka?" tanya Sean sambil memijit kepalanya.

"Aku tidak tahu, mereka semua memakai alat pelindung." jawab Hugo.

"Aku... Apa yang aku katakan sebelum berpisah dengan kalian terakhir kali?"

"Kamu akan pergi bekerja pada orang yang selama ini membiayai hidupmu." jawab Hugo.

"Kamu pernah mengatakan padaku sebelum tidur malam itu, bahwa kamu mencurigai Mr.X ini adalah keluarga dari ayahmu." sahut Elsa.

"Aku apa? Sebelum tidur? Kita tinggal bersama?" tanya Sean bertubi-tubi, menatap Elsa dengan sorot bingung.

Elsa melirik Hugo sesaat, dia terlihat ragu dan jika Sean tidak salah lihat, dia juga terlihat malu.

"Kita... itu... Kamu dan aku sudah memutuskan akan menikah. Malam itu... kamu bilang akan menikahiku setelah misi itu selesai. Tapi kamu menghilang, lalu Barbara datang mengabari kami bahwa kamu meninggal dalam misi... lalu kabar desa itu dijadikan tempat penelitian ilegal meledak seperti bom. Seluruh televisi dan portal berita online mengabarkan hal yang sama. Pasukan militer dan sekelompok peneliti terjun kelapangan. Mereka bilang ada daftar nama yang ditemukan terakhir kali, tapi pihak pemerintah tidak mengatakan namanya dengan jelas."

"Aku mencoba mencuri data dari badan intelijen, aku mendapatkan daftar namanya, tapi tidak ada namamu disana. Karena Barbara mengatakan kamu telah mati, kami awalnya berspekulasi bahwa misimu itu tidak ada hubungannya dengan ledakan nuklir." Sambar Hugo.

"Tapi bukti nyata kami temukan seminggu setelah berita ledakan." kata Elsa.

"Bukti?" ulang Sean.

"Ya, aku berhasil masuk ke email pribadimu, aku menemukan sebuah pesan dari Diandra. Waktu dan tempat pertemuan kalian sebelum kepergianmu. Juga penjelasan singkat apa peranmu dalam tim." jawab Hugo.

"Peranku?" ulang Sean lagi. Dia mengenang ingatan yang baru saja ia dapatkan.

Sean kembali memeriksa folder demi folder. Mengabaikan ketiga orang yang kini kembali diam memperhatikannya. Sean sadar, baik Hugo maupun Elsa masih menyimpan sedikit keraguan bahwa dia adalah Daffin.

"Mama... Bukankah suara Om ini mirip sekali dengan papa?" tanya Flo. Akhirnya anak itu mempertanyakan kebingungannya sejak tadi.

Sean mengangkat kepalanya sedikit, menatap Flo dengan bingung. Dia sama sekali tidak mengingat siapa anak kecil itu. Yang dia yakini, kemingkinan mereka juga dekat karena dia menyimpan fotonya di dalam kalung yang ia bawa.

"Flo, sebaiknya kita berangkat sekarang." ujar Elsa, tampaknya dia sengaja mengalihkan perhatian anaknya.

"Kemana?" tanya Hugo.

"Jadwal kemoterapi." jawab Elsa sembari menarik tangan kecil itu bangun.

Keduanya pergi meninggalkan banyak pertanyaan dikepala Sean. Elsa sempat menatap penuh harap padanya sebelum akhirnya pergi bersama anaknya.

"Anak itu sakit?" tanya Sean setelah tinggal mereka berdua

"Ya, kanker darah. Sampai sekarang belum menemukan sum-sum tulang yang cocok." jawab Hugo.

Sean tertegun, jika mereka dulu pernah tinggal satu atap, apakah anak itu adalah anaknya?

"Hugo? Wanita itu bilang akan menikah denganku. Tapi dia punya anak, apa kami melakukan kesalahan diluar nikah?"

"Oh, itu... Sebaiknya Elsa yang menjelaskannya. Hubungan kalian cukup rumit sebenarnya. Aku cukup ragu untuk satu hal tapi... Biar Elsa yang menjelaskan padamu."

.

Sean sudah berada di dalam kamar rumah lamanya sejak pagi sampai malam. Dia sedang berusaha memecahkan kode-kode yang tersimpan di folder lain. Bagaimanapun metode yang ia pakai, Sean tidak bisa memecahkannya.

"Kamu sudah makan?"

Sean terlonjak sedikit. Bagaimanapun dia cukup terkejut akan kehadiran Elsa di depan pintu kamarnya.

"Sejak kapan kamu disana?"

"Beberapa menit, kamu sepertinya sangat fokus. Apa aku mengganggumu?"

"Tidak, aku juga akan mengakhirinya hari ini. Aku harus kembali ke asrama."

"Asrama?" tanya Elsa, dia masuk dan duduk di sisi ranjang Sementara Sean di meja khusus. Tampaknya itu adalah kamar sekaligus ruang kerjanya dulu.

"Ya, ceritanya panjang." jawab Sean, dia merasa sangat canggung. "Aku minta maaf tidak mengingatmu dengan baik. Tapi... saat ini aku tidak merasakan apapun padamu. Aku benar-benar minta maaf." lanjut Sean. Dia merasa bersalah karena membuat seorang wanita menunggu untuknya, sementara dia sudah melupakan semuanya.

Mata Elsa sudah berkaca-kaca. Dia menunduk dan menatap kedua tanganya. "Aku mengerti, apapun yang terjadi padamu, apakah kamu dijadikan objek mereka, kamu tetap Daffin kami." ucapnya, ia tersenyum sedih sesudahnya.

"Yah, hmm... Namaku Sean saat ini. Tolong panggil aku dengan itu. Tidak ada yang boleh tahu Daffin masih hidup. Kamu mengerti bukan?"

Elsa mengangguk, dia seperti tidak akan bisa menahan perasaannya. Wanita itu bangkit berdiri dan berlari keluar.

Sean menghela nafas. Mengucapkan kata maaf dalam hati. Sangat aneh rasanya, Sean tidak merasakan getaran apapun. Dia hanya merasa bersalah setiap melihat Elsa. Entah apa yang terjadi antara mereka, yang pasti Sean yakin dulu mereka cukup dekat sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman yang aneh dihatinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!