Sean berbaring di ranjang kamar rumah lamanya. Ketika ia membuka matanya, semua orang mengelilinginya. Ditangannya terpasang impus dan dia melihat kuku-kukunya yang perlahan kembali seperti semula.
"Ketika kamu pingsan, tanganmu menjadi seperti itu. Karena itu aku memasang impus disana bukan di punggung tangan." kata Adam.
"Apa yang kamu rasakan sebelum pingsan?" tanya Freya lagi.
Sean menoleh pada Hugo, "Hugo, bawa Elsa dan Flo keluar." katanya dengan lemah.
"Tapi..."
"El, kita akan bicara nanti." bujuk Sean tampa menatap wanita itu. Elsa terlihat keberatan, apalagi saat Sean tidak ingin melihatnya.
"Ayo, El... Ini bukan sesuatu yang bisa kita campuri." ujar Hugo. Flo sudah digendong oleh Hugo ketika Elsa melangkah dengan berat hati keluar.
"Aku merasa seperti ada pisau yang siap menusukku." sarkas Freya ketika Elsa menatapnya tidak suka sebelum menutup pintu.
"Sekarang bisa ceritakan?" tanya Adam. Mengabaikan drama dua wanita itu.
"Ingatanku kembali saat itu. Semuanya datang begitu tiba-tiba dan bunyi ledakan dalam ingatanku, membuat semacam trauma yang terkubur muncul. Aku pikir hal itulah yang membuatku tidak bisa menahannya."
"Kamu mengingat semuanya?" tanya Freya.
"Mungkin, bahkan sampai saat ini rasanya kepalaku terasa sangat penuh."
"Mungkin karena itu kamu tertidur selama itu."
Sean menoleh, menatap dua orang disampingnya itu bergantian. "Memangnya berapa lama aku pingsan?" tanya Sean.
"10 hari jika hari ini masuk hitungan. Kamu seperti ular yang sedang hibernasi setelah kenyang." jawab Freya dengan santai.
"Aku bukan kehilangan kesadaran? Maksudmu secara harfiah aku tidur?"
"Setelah beberapa jam kehilangan kesadaran, kamu mendengkur. Aku memanggil dokter dan dia mengatakan kamu hanya tertidur. Dia bahkan mendiagnosa bahwa kamu mengidap penyakit langka." jawab Adam.
"Benar, dia mendiagnosamu dengan Kleine-Levin syndrome. Aku bahkan tertawa dalam hati saat mendengarnya. Bagaimana bisa dia menyimpulkan secepat itu." Freya benar-benar tertawa setelah mengatakannya.
"Itu karena kita tidak mengatakan apapun mengenai kondisimu," tambah Freya.
"Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya? Tubuhmu bahkan belum stabil, Sean. Kita harus kembali ke Autralia terlebih dahulu. Sangat berbahaya dengan peralatan medis seadanya. Kita juga tidak mungkin membawamu kerumah sakit."
"Bagaimana dengan tugas anda Profesor?"
"Itu... kami menemui jalan buntu. Kertas itu hanya dianggap sampah oleh pihak militer. Aku tidak bisa berbuat banyak ketika semua sudah disapu bersih."
"Bisa jadi itu suruhan Mr.X."
"Mr.X?" ulang Adam dan Freya bersamaan. "Siapa dia?" tanya Adam.
"Orang yang memerintahkan kami melakukan proyek ilegal disana."
Seketika Freya menegang ditempatnya. Dia menoleh pada Adam dengan wajah kawatir. Dia hanyalah mahasiswa baru lulus dan baru setahun mengikuti Adam. Sehingga dia terkejut mendengarnya. Dia tidak berharap terlibat dengan apapun yang membahayakan dirinya.
"Kamu bilang proyek ilegal? Kamu ingat apa penyebab ledakan itu?"
"Ya."
"Kamu menyeret kami dalam bahaya, Sean!" marah Freya.
"Anak-anak... Tenang dulu." Pinta Adam, berusaha menjadi penengah.
"Profesor! Aku akan segera pulang. Ilmu pengetahuan tidak boleh terlibat dalam kejahatan seperti ini. Aku tidak ingin terlibat, terlebih ini bukan negara kita." ujar Freya naik darah.
"Sean, bagaimanapun kamu muridku. Jadi ceritakan apa yang sebenarnya terjadi." Ujar Adam, beralih pada Sean.
"Profesor, secara teknis aku sudah lulus beberapa tahun yang lalu. Alasan aku ke Australia untuk mendapatkan identitas karena aku tidak mengingat diriku sendiri, Aku memiliki kilasan-kilasan ingatan masa lalu tapi hanya sampai aku berseragam SMA. Meski begitu, aku tidak mengingat tentang diriku sendiri. Jadi aku pergi kesana, mengaku masih remaja dan mendapatkan identitas baru."
"Hmm, Aku tidak akan curiga kamu mengaku masih SMA bahkan sekarang, wajahmu sangat awet muda." ujar Adam.
"Yah, Aku kagum sekali sampai tidak bisa berkata-kata." sarkas Freya, dia memilih pergi dan membanting pintu dengan kuat.
"Dia kecewa padamu karena telah menaruh kepercayaan, kamu hanya perlu bicara dengannya." kata Adam saat Sean masih menatap pintu dengan kedua matanya.
"Ya, Aku memang salah disini."
"Lalu apa rencanamu? Kamu tahu kami tidak bisa lama-lama disini. Begitu pemerintah kami menarik kami kembali, tidak ada alasan aku dan Freya tetap disini, Sean."
"Aku tahu Profesor, saat ini... Aku hanya ingin mencari kebenaran saat itu. Mengapa mereka menjadikan aku bahan percobaan tampa izin. Sekarang, ketika aku mengingat masa-masa itu, aku masih dengan jelas mengingat rasa sakit pada setiap anggota tubuhku. Apa hubungan Ibu dengan pemilik proyek itu, Apa dia menjualku demi hidup berkecukupan atau ada hal lain yang aku tidak tahu? Profesor, bagaimanapun apa yang anda selidiki berkaitan denganku. Dengan bekerja sama kita bisa mencapai tujuan masing-masing."
Adam terlihat berpikir. Dia mengetuk-ngetukkan jarinya pada dengkulnya. Menatap bola mata Sean yang saat ini berubah-ubah warna.
"Aku akan membantumu, tapi kamu harus bersedia menjadi objekku."
Penawaran itu terdengar sedikit tidak manusiawi, namun Sean bisa menilai bahwa Adam dan Juan adalah dua orang yang berbeda tujuan. Lagi pula, Adam diperlukan karena dia juga butuh mengenali tubuhnya sendiri.
"Aku setuju, tapi untuk itu... Aku pikir anda membutuhkan seorang yang lebih berpengalaman Profesor."
Adam mengangguk, "Aku punya seseorang untuk itu."
Setelah kesepakatan disepakati, Sean duduk dan mencabut selang infus ditangannya. Dia berjalan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Freya sedang berada di perpustakaan mini rumah Sean. Rata-rata berisi buku berbahasa Indonesia sehingga Freya tidak bisa membacanya. Profesor Adam menugaskannya untuk mengawasi Sean sementara dia kembali.
"Kenapa kamu masih disini?"
Freya berbalik, melihat siapa yang berdiri di ambang pintu. Dia meletakkan satu novel berbahasa Inggris kembali di tempatnya dan bersandar di meja.
"Apa aku mengganggumu?" tanya Freya.
"Aku pikir keberadaanmu tidak diperlukan lagi. Selama ini akulah yang mengurus Daffin dan selamanya akan begitu."
Freya mengernyit, dia berdiri dengan tegap dan melipat tangannya di sada. "Mengurus Daffin? Jadi selama ini kondisinya sudah buruk sebelum dia pergi ke laboratorium ilegal itu?"
Freya bisa melihat bola mata Elsa yang melebar, wajahnya juga sedikit menegang. Jelas sekali seperti orang yang salah bicara.
"Kamu tahu sesuatu, bukan?" tuduh Freya.
"Tidak ada urusannya denganmu aku tahu sesuatu atau tidak. Kalian hanya orang asing, jadi pergilah dari sini."
Freya tersenyum sinis. "Apa hakmu mengusir kami? Dan kalau aku tidak lupa, namanya Sean sekarang. Apa otak kecilmu tidak memahaminya juga? Jika orang luar tahu dia masih hidup, akan sangat berbahaya untuknya."
Elsa berjalan mendekati Freya, berdiri di hadapan gadis yang lebih tinggi darinya itu dengan wajah penuh permusuhan.
"Selamanya dia akan tetap menjadi Daffin. Dan dia adalah tunanganku. Aku berhak memintamu menjauh darinya!"
"Tunangan dimasa lalu maksudmu? Ayolah... Sean bahkan tidak akan memikirkan wanita saat ini." jawab Freya acuh tak acuh.
Freya menoleh pada arah pintu masuk. Melihat Hugo berdiri disana bersama Flo. "Anakmu mencarimu, El. Dan kamu, Sean mencarimu. Dia memintamu menemuinya di atas." kata Hugo pada keduanya secara bergantian.
Freya tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Sebelum pergi, dia tersenyum pada Elsa yang sedang menahan kesal.
"Kendalikan dirimu, El. Jangan sampai Sean semakin menjauhimu. Kamu tahu sekarang dia merasa asing dengan kalian." ujar Hugo.
"Bahkan kamu juga," sahut Elsa, matanya menatap puncak kepala anaknya yang sedang memeluknya. "Memanggilnya dengan nama itu." lanjutnya, dia meraih tangan Flo dan membawanya keluar dari sana.
Hugo hanya bisa menghela napas. Dia kasihan pada Elsa yang hidup dalam kerinduan selama Sean dinyatakan meninggal. Hugo juga tidak mengerti bagaimana perasaan Sean saat ini. Jangankan saat ini, ketika masih dalam sosok Daffin yang penyanyang dan penuh rahasia. Hugo masih ragu bahwa Sean saat itu ingin menikahi Elsa karena cinta. Namun perhatian Sean yang terlalu berlebihan saat itu membuat orang-orang menganggap dia sangat mencintai Elsa.
.
Freya menatap punggung Sean yang menghadap kearah balkon. Sean berbalik padanya. Menatap Freya dengan sorot tidak seperti biasanya. Terlihat lelah dan penuh penyesalan, itulah yang bisa dilihat Freya saat ini.
"Lain kali, jangan terlalu kasar pada Elsa." pinta Sean, nadanya terdengar lelah alih-alih marah ketika kekasihnya dikasari.
"Kamu bisa mendengar dari jarak sejauh itu?" Freya cukup terkejut dengan fakta itu. Namun hanya sejenak, ekspresinya kembali mengeras. "Bukan keinginanku, dia yang mulai." jawab Freya datar.
"Ayo pergi." ajak Sean.
"Apa?"
"Pergi, kerumah kemarin."
"Aku tidak mau, kalau kamu pingsan lagi. Aku tidak bisa mengangkatmu sendiri. Lagipula, aku belum setuju membantumu!"
Sean melipat tangannya di dada, menatap Freya dengan intens. Matanya menjadi sedikit lebih gelap nyaris hitam. Tidak seperti coklat gelap seperti biasanya.
"Aku menyetujui syarat dari Profesor adam." Sean melangkah lebih dekat, lalu mencondongkan dirinya ke depan sehingga wajah mereka menjadi lebih dekat. "Apa syaratmu?" lanjutnya masih dalam posisi yang sama.
"Tidak ada karena aku tidak mau."
Sean menarik diri dan masih menatap Freya sambil menghela napas. Sean melihat betapa keras kepalanya wanita di hadapannya ini. Karena itu dia memiliki ide gila didalam kepalanya agar Freya mau berkata iya meskipun terpaksa.
"Apa yang kamu lakukan? Jangan bilang kalau...." ocehan Freya terhenti ketika dengan sangat cepat sayap Sean membentang dan menutupi mereka.
Dengan sayapnya, Sean mendorong punggung gadis itu lalu dengan gerakan ringan dia menggendongnya bridal. Membawa Freya terbang. Semakin lama semakin tinggi hingga Freya merasakan tekanan udara yang begitu kuat.
"Stop! Kamu... ugh! Sesak sialan!" maki Freya sambil mengatur napasnya.
Sean berhenti, dia sedikit menurunkan ketinggian terbang lalu menatap Freya yang wajahnya sudah memerah menahan emosi.
"Iya atau Tidak, Freya."
"Big No!" teriaknya di depan wajah Sean. "Ini pemaksaan! Hanya karena Profesor setuju bukan bearti aku harus setuju juga." lanjutnya dengan nada sedikit lebih turun.
"Aku membutuhkan kepercayaanmu. Aku membutuhkanmu untuk tetap waras." ucap Sean.
"Kenapa?" tanya Freya. Nadanya bicaranya menjadi ragu-ragu.
'Karena kamu sudah mengetahui rahasiaku.'
Sean menjawabnya dalam hati. Namun tatapannya yang dalam membuat Freya menjadi gelisah. Bahkan gadis itu menurunkan pandangannya dan tidak lagi menatap mata Sean selantang tadi.
"Emosiku tidak stabil, aku membutuhkan orang untuk mengendalikan itu."
Meski tidak sepenuhnya benar, tapi Sean memang membutuhkan Freya untuk hal itu juga.
"Ada tunanganmu, ngomong-ngomong. Kamu melupakannya?" sahut Freya sedikit sinis.
Sean menarik sedikit senyum di ujung bibirnya. " Aku lebih nyaman jika itu kamu. Aku merasa Elsa hanya selalu meningkatkan emosiku."
"Bukankah kamu pernah mengatakan hal yang sama padaku?"
"Benar, tapi itu berbeda sekarang."
Sean tidak sepenuhnya berbohong. Benar hubungan mereka membaik. Tapi keputusan jelas ia ambil karena takut Freya akan membuka mulutnya suatu saat jika tidak mengikatnya lebih dekat. Hal yang benar hanyalah, bahwa dia memang lebih nyaman saat Freya yang berada disisinya saat dia terbangun setelah pingsannya yang lama.
Keduanya kembali melempar tatapan satu sama lain. Menimbulkan getaran aneh dihati sang gadis sehingga akhirnya dia yang lebih dulu membuang pandangan. Tatapan mata dari wajah tampan dan cantik itu membuatnya tidak tahan. Seolah dia tersihir untuk terus berada disana.
Freya menutup matanya. Keningnya mengerut menahan gejolak hatinya. Logikanya ingin tetap menolak namun hatinya berkata tetap disamping Sean.
Sean tersenyum kecil melihat betapa kerasnya Freya berpikir. Saat Freya membuka matanya, saat itulah dia bisa melihat bahwa gadis itu menjadi gugup entah karena apa. Sean menarik senyumnya dan mengangkat sebelah alisnya.
'Sialan, dia ingin menggunakan senyum itu untuk membunuhku?' kesal Freya dalam hati. Sungguh, siapa yang sanggup melihat senyum menawan dari wajah kelewat tampan sedekat itu?
"Aku... Aku akan mencobanya." Freya memaki dirinya sendiri setelah mengatakan itu.
Senyum Sean menjadi lebih lebar dan jauh lebih menawan.
"Sial! Berhenti tersenyum! Sekarang cepat turunkan aku!" kesal Freya.
Sean mengangguk dan terbang dengan lambat. Alih-alih turun, dia terbang menuju awan tebal yang tampak indah terkena sinar matahari sore. Bahkan Freya yang kesal ikut terpana karenanya.
"Indah bukan? Dulu aku hanya memandang ini semua dari bawah. Tapi sekarang aku bisa melihatnya dari dekat."
"Kamu menyukai awan?"
"Aku menyukai segala hal mengenai langit." jawab Sean.
Freya melihat wajah Sean yang berbinar saat ini. Bola matanya menjadi coklat terang. Perlahan, bulir mata itu membalas tatapan Freya. Sayap lebar Sean kembali mengepak dan mereka turun dari sana. Freya membuang pandangannya. Lagi-lagi dia merasa terganggu dengan tatapan itu. Jantungnya bahkan mulai berdetak anomali.
Sean tidak mengatakan apapun lagi ketika akhirnya mereka semakin dekat dengan daratan. Dengan telinganya yang amat tajam itu, tentu saja dia bisa mendengar detak jantung gadis yang begitu dekat dalam genggamannya ini. Alih-alih terganggu, Sean merasa hantinya menghangat. Ada kesenangan tersendiri baginya mendengar debaran itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments