Rumah yang dicari

*Daffin berjalan santai menuju sebuah mobil yang terparkir di jalanan sepi tidak jauh dari rumahnya. Daffin membuka pintu penumpang dan duduk disana dengan tenang. Di dalam mobil sudah duduk seorang wanita dengan rambut panjang bergelombang. Memakai celana hitam ketat dan jaket denim yang terlihat modis.

Wanita itu menoleh padanya dan menyerahkan sebuah map coklat pada Daffin. Daffin membuka isi map itu dan menyalakan lampu mobil. Wajahnya tetap datar meskipun ada kesan puas disana.

"Seperti permintaanmu, rumah itu menjadi milikmu sekarang. Sebuah ruang bawah tanah sudah dibangun sesuai permintaanmu. Kuncinya ada di dalam dan kamu bisa mengganti sandi masuk sesukamu. Sandi saat ini adalah namamu."

"Diandra, kamu akan tetap merahasiakan mr.X dariku setelah semua ini?"

"Sesuai perintah, aku tidak bisa memberitahumu."

"Lucu sekali, jika ibuku tidak memohon saat itu, aku tidak akan menurutinya. Apa yang dia mau sebenarnya?"

Wanita bernama Diandra itu menolehkan wajahnya, menatap Daffin dengan senyum penuh arti.

"Ikuti perintah pria bernama Juan setelah kamu bergabung dalam tim yang telah dibentuk mr.X. Dia akan menjelaskan segalanya padamu." Daffin tidak menjawab. Tapi wanita itu tahu bahwa Daffin akan melakukan perintah itu*.

***

Sean terbangun dari tidurnya secara tiba-tiba. Dia mengusap wajahnya dan menatap dinding kamarnya. Mimpi mengenai wanita bernama Diandra itu berputar di dalam kepalanya. Sean meraih ponsel dan mematikan alaram yang berbunyi.

Memikirkannya sekali lagi, Sean yakin itu bukanlah mimpi. Itu adalah kenangan masa lalunya. Dia bertanya-tanya dalam hati, rumah mana yang mereka bicarakan itu?

Apa dia punya rumah lain selain miliknya yang dihuni Hugo? Atau rumah yang dia huni bersama Elsa dimasa lalu?

Sean menyibak selimutnya untuk segera membersihkan diri. Dia butuh mencari tahu. Ruang bawah tanah, Sean merasa dia perlu menemukan tempat itu.

Selesai mandi, Sean berpapasan dengan Adam ketika mereka sama-sama keluar kamar. Dari arah kanan, Freya berjalan dengan cepat menuju mereka.

"Profesor, mereka menemukan satu tempat, sebuah ruang bawah tanah dibawah tumpukan dedaunan. Mereka menyuruh kita datang kesana."

Adam segera bergegas untuk pergi. Sementara itu Freya melihat Sean dengan bingung.

"Kamu tidak ikut lagi?" tanyanya.

"Aku akan ikut."

"Kalau gitu tunggu apa lagi, Ayo!" Freya dengan cepat menarik tangannya untuk berjalan cepat-cepat menyusul Adam.

"Aku bukan anak kecil dan seingatku aku sudah mengingatkanmu untuk jangan memancing kema_"

"Jangan banyak protes, ini sebagai bentuk latihan dariku, tahu! Kamu harus terbiasa dengan sifatku karena kita akan bekerja sama!" potong Freya seenaknya.

Sean hanya berdecak kecil. Dia merasa Freya sangat kekanakan dan sungguh menyebalkan. Meski begitu dia tidak menarik tangannya, dia membiarkan Freya menariknya sampai mereka berada di samping Adam yang telah berkumpul dengan dua tentara yang akan mengantarkan mereka.

"Kenapa anak ini tidak memakai pakaian pelindung? Dia mau mati cepat disini?" seru salah satu tentara.

Menyadari keteledoran mereka, Adam segera memberikan alasan. "Ah, dia masih mahasiswa jadi belum terbiasa, maafkan dia. Fre, temani Sean berganti!"

"Baik, Profesor!" jawab Freya.

Sesampainya di gudang penyimpanan, Freya segera mengambilkan pakaian pelindung dan Sean memakainya dengan cepat. Freya membantunya sehingga dalam sekejap mereka telah selesai.

"Apa radiasi tidak berpengaruh padamu sejak kamu bangun?"

"Tidak, karena itu aku lupa memakainya." jawab Sean saat mereka berlari kecil menuju Adam dan tentara itu menunggu.

"Tetap saja orang lain bisa curiga! Dasar ceroboh!"

"Ck! Cerewet!" balas Sean ketus.

Freya meliriknya dengan kesal. Meski Sean tidak bisa melihatnya dengan jelas, tapi dia tahu bahwa Freya melayangkan tatapan kesal saat ini. Sean hanya menarik sudut bibirnya tidak peduli.

.

Sean meneguk ludahnya ketika mereka sampai pada lokasi. Dia sangat ingat itu adalah tempat dimana ia bangun. Tumpukan daun yang saat itu ia singkirkan membuat tuas besi yang tersembunyi terlihat. Hanya saja saat itu ia tidak memperhatikannya. Perhatiannya teralih pada kalung sebelum suara Adam dan Freya mengganggunya saat itu.

"Tempat ini tadinya penuh tumpukan daun, tapi sepertinya angin banyak menerbangkannya sehingga kita bisa melihatnya," ujar salah satu tentara yang menarik tuas dan membuka besi penutup tangga menuju kebawah.

Ketika mereka turun, sudah ada banyak orang disana. Melihat ruang segi empat yang dipenuhi lemari berkas itu, Sean terpaku pada tempatnya. Satu ingatan menghampiri kepalanya dan itu membuat ia hanya bisa berdiri dalam diam.

Flasback_

Daffin melihat Juan berjalan sendirian keluar dari pusat penelitian. Karena curiga, Daffin mengikutinya. Beberapa orang melihat kepergiannya namun mereka diam saja. Seolah hal itu memang yang harus terjadi.

Mereka masih memakai pakaian laboratorium biasa karena pembuatan mesin masih pada tahap awal. Mereka belum menggunakan reaktor nuklir seperti yang Daffin kira akan mereka buat.

Dari tempat Daffin bersembunyi, dia melihat Juan berjongkok di tanah. Mata Daffin membesar sesaat karena terkejut, Juan menarik lempengan besi dari sana dan menunjukkan ada cahaya dari bawah tanah. Tampa dijelaskan Daffin sudah bisa menduga tempat apa itu. Meski begitu, dia masih berdiri disana. Dia sangat penasaran akan apa yang disembunyikan Juan disana. Daffin ingin mendapatkan petunjuk mengenai identitas mr.X.

Hanya 5 menit, Juan keluar lagi. Daffin menunggu beberapa saat sampai Juan tidak terlihat akan kembali lagi. Dengan langkah hati-hati, dia masuk ke dalam ruang bawah tanah tersebut.

"Apa ini? Hanya kumpulan lemari berisi kertas? Apa ini kumpulan data-data?" gumam Daffin. Dia mengambil satu berkas dan membukanya.

"Itu hanya kertas kosong, suatu saat akan terisi tulisan setelah aku melakukan sesuatu padamu."

Daffin terkejut, perlahan dia berbalik, namun belum sempat ia menghindar, Juan sudah menancapkan sesuatu pada punggungnya. Daffin berusaha melawan namun Juan menahan tubuhnya dengan cara memeluknya dari depan. Setelah berhasil mendorong Juan, Sean menarik jarum suntik itu dengan cepat, sayangnya jarum suntik itu sudah kosong saat ia berhasil menariknya keluar.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Sean.

"Ini perintah, Daffin! Disuatu tempat, data tentang pembuatanmu ditulis dengan lengkap. Disimpan dengan akurat. Saat ini semua selesai, kita akan diizinkan untuk melihat prosesnya sejak awal." ujarnya.

Sayangnya Daffin tidak bisa menanggapinya lagi, matanya terasa berat dan penglihatannya tiba-tiba buram. Dalam hitungan detik setelah Juan selesai bicara, dia kehilangan kesadarannya.

flasback end_

Sean tersentak kala Freya menggenggam tangannya dan menyentaknya sedikit. Freya menatapnya dengan pandangan penuh tanya. Sean hanya diam saja. Dia segera naik ke atas dan duduk dibawah salah satu pohon mati.

Freya mengkutinya karena kawatir. Dia berjongkok dan memegang lengan Sean. "Ada apa denganmu?" tanyanya.

Sean diam saja, dia sedang berusaha menstabilkan emosinya. Freya menggenggam tangannya lagi. Menatap Sean dari balik pelindung kepala dan masker oksigen miliknya. Meski Sean tidak bisa melihat, tapi dia tahu Freya hanya ingin menenangkannya. Karena itu dia membiarkan gadia itu melakukannya.

"Ini hanya berisi kode dan tulisan tangan seseorang. Aku sama sekali tidak mengerti mereka menulis apa. Ini sangat acak dan seperti asal ditulis." Sayup-sayup Sean bisa mendengar percakapan orang-orang di dalam ruangan bawah tanah itu.

"Aku harus pergi kesuatu tempat." katanya pada Freya.

"Kemana? Kamu tidak bisa pergi sendiri, mereka akan mencurigaimu. Tunggulah sampai kita kembali ke kota." ujar Freya.

Sean menarik tangannya ketika melihat Adam keluar dari sana. Mereka berdua ikut bangkit dan menghampirinya.

"Ada apa disana Profesor?" tanya Freya.

"Tidak ada yang penting. Tulisan tangan yang tidak bisa aku pahami. Kita harus membawa berkas ini dan memeriksanya lebih jauh." jawab Adam.

Mereka bertiga melihat dua peneliti lain keluar dan dua tentara tadi yang membawa tumpukan berkas di dalam beberapa kantung plastik besar. Adam memerintahkan mereka berdua untuk mengikutinya dan orang-orang itu masuk kembali kedalam mobil. Mereka akam kembali ke kota lagi.

.

Sesampainya di pusat penelitian, Sean tidak ikut masuk ke dalam. Bagaimanapun juga, dia harus pergi mencari rumah yang muncul dalam ingatannya. Sean yakin ada sesuatu disana.

Dengan tergesa-gesa dia melepas pakaian pelindungnya dan membersihkan diri dalam ruang khusus. Setelah itu dia bergegas keluar. Berjalan senormal mungkin menuju kamarnya agar tidak diketahui.

Baru saja melewati lorong, dia dihentikan oleh Freya yang tiba-tiba datang. Wanita itu terlihat kesulitan mengatur napasnya setelah berlari cukup kencang. Dia membungkuk memegang kedua lututnya.

"Jangan pergi dulu, aku ikut denganmu!" kata Freya setelah meluruskan tubuhnya.

"Kembali saja dengan Profesor."

"Tidak ada yang bisa aku lakukan dengan semua kode-kode itu. Aku juga tidak bisa membiarkanmu pergi sendiri lalu jatuh disuatu tempat dengan sayap mengembang." ujarnya, dia mengangkat satu ampul cairan obat dan satu spuit 3 cc.

Sean menghela napas. "Kejadian di kamar tidak akan terulang lagi."

Freya mengangkat bahu dan menatap Sean dengan raut sangsi. "Profesor yang memerintahkanku, kamu pikir aku yang ingin ikut? Profesor bilang jika ingatanmu masih terus muncul, ada kemungkinan tubuh dan emosimu tidak akan stabil."

"Aku bisa mengatasinya."

Freya menatapnya dengan wajah datar, seolah dia sudah malas untuk tetap berdebat. Dia meraih telapak tangan Sean dan menyerahkan kantung itu. Freya berbalik dengan wajah masam lalu pergi begitu saja.

Sean menatap benda ditangannya, menghela nafas pelan sebelum akhirnya berubah pikiran. Setelah memastikan tidak ada orang dalam jarak dekat, dia bergerak secepat mungkin untuk meraih tubuh Freya. Bahkan tampa bisa berteriak, Freya kini sudah ada diluar area gedung. Ia melihat sekeliling dan hanya ada tumbuhan rendah.

Freya melotot dengan sempurna kala Sean menurunkannya dan membuka kemejanya. Secepat air mengalir, sayap Sean terbentang dengan indah di belakang punggungnya.

"Ke-kenapa kamu mengeluarkan sayapmu?"

"Karena aku tidak punya mobil, selain itu merepotkan harus keluar masuk dengan izin."

Freya mengerjap beberapa kali dengan wajah bingung. Terlihat lucu sebenarnya jika saja mereka dalam kondisi yang lebih santai.

"Wuaa... Hump! Hmm!"

Freya berteriak namun langsung dibekap oleh Sean. Bagaimana tidak, tampa aba-aba Sean mengangkatnya dan menggendongnya bridal.

Setelah terbang cukup tinggi menembus lapisan awan pertama, Sean melepaskan bekapannya. Menatap Freya dengan datar tampa berkata apapun.

Freya ketakutan, bagaimanapun dia belum pernah terbang dengan cara seperti itu. Meneguk ludah dengan kasar, Freya memeluk erat leher Sean sampai kepalanya benar-benar menempel dengan dada Sean.

Suara angin terasa menyenangkan ditelinga Sean ketika dia terbang dengan kecepatan sedang. Dia tersenyum tampa sadar ketika menatap hamparan awan dibawah mereka. Sean kecil dia menyukai langit, karena itu dia sangat menikmati setiap kali ia terbang lebih tinggi.

Jika melewati jalur yang benar, harusnya dia sudah sampai jika turun saat itu juga. Namun ketika matanya menangkap awan mendung jauh di depannya. Sean mengurungkan niatnya untuk turun dan terus terbang. Angin semakin kencang ketika mendekati awan itu. Sean bisa merasakan sayapnya menjadi lebih berat karena melawan angin.

"Sean, kenapa menjadi sangat dingin?"

Sean menunduk, melihat Freya yang kedinginan. Mereka sudah sampai disamping awan itu. Angin semakin kencang dan Sean beberapa kali menghindar saat awan lain menabrak mereka.

"Lihatlah, aku baru tahu air hujan lebih indah jika dilihat dari tempatnya jatuh."

Freya mengangkat kepalanya. Menoleh pada arah yang Sean lihat. Dia hanya melihat air hujan itu sambil menahan dingin. Meskipun indah, namun angin dan udara yang lembab disekitar mereka membuatnya menggigil.

"Ka-kamu tidak merasakan dingin?" tanya Freya dengan gigi bergelatuk.

Merasa kasihan, Sean segera membawanya menjauhi awan hitam itu. Kembali ke jalur mereka dan mulai turun dengan cepat. Ketika dia melihat atap rumahnya, Sean terbang lebih cepat sehingga menukik dengan ekstrim. Freya menutup matanya karena angin dan dingin membuatnya tidak tahan lagi.

Ketika merasakan suasana yang hening dan udara terasa lebih baik, Freya membuka matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah Sean yang menatapnya dengan ekspresi datar.

"Suhuku, bagaimana?" tanya Sean.

"Huh? Suhu?"

Freya memeriksanya dengan wajah bingung. Dia terperangah ketika menyadari suhu tubuh Sean meningkat.

"Kamu demam?" tanyanya dengan mimik terkejut.

Sean menurunkannya dan meleyapkan sayapnya dengan cepat. Memakai kembali kemejanya lalu melangkah menuju pintu masuk rumahnya.

"Hei, kamu demam atau itu adalah suhumu saat kamu mengeluarkan sayap? Awalnya tadi rasanya biasa saja. Hei! Sean kamu dengar tidak, sih?" gerutu Freya di akhir.

Freya mengikutinya masuk sambil melayangkan berbagai pertanyaan yang tak satupun di jawab oleh Sean.

"Cerewet! Aku juga tidak tahu jawabannya. Itu tugasmu untuk mencari tahu!" jawab Sean setelah cukup jengah.

"Akhirnya kamu datang."

Keduanya menoleh secara bersamaan. Mereka sejak tadi berdebat di ruang tamu. Hugo turun dari lantai dua, matanya menatap seseorang yang berdiri disudut lain. Dia adalah Elsa, sedang memegang nampan berisi 3 gelas minuman dingin.

"Aku tidak tahu kamu membawa teman, aku akan siapkan satu gelas lagi." Elsa berbalik kebali kedapur dengan raut muram. Jelas Sean mengerti pemyebabnya jika mengingat masa lalu mereka.

"Ehm! Ada apa Sean? Apa kamu akan tinggal disini lagi?" tanya Hugo sembari berjalan duduk di sofa ruang tamu.

"Ini rumahmu?" tanya Freya.

"Ya," jawab Sean singkat, lalu ia beralih pada Hugo. "Apa aku punya rumah lain selain disini?" tanya Sean.

"Rumah lain? Tentu saja rumahmu dan Elsa. Kamu membeli rumah yang Elsa sewa bukan?"

"Bukan itu, rumah lain yang... Lupakan!" Sean bangkit berdiri. Ia segera berlari menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua.

Freya mengikutinya karena kawatir melihat emosi Sean yang mulai tidak stabil. Elsa menatap dua orang yang baru saja pergi dengan wajah yang sulit dijelaskan. Ada kesan sedih dan marah disana. Hugo mengambil nampan dari tangannya dan meletakkannya di meja.

"Untuk sekarang pulanglah dulu." ujar Hugo.

"Kenapa? Apa aku mengganggu disini?" tanya Elsa dengan raut tidak suka.

"Bukan begitu, Daff-maksudku Sean terlihat sedang tidak dalam keadaan baik. Kamu tahu sendiri dia kehilangan ingatan dan akan butuh waktu untuk mrngembalikan keadaan_"

"Aku sengaja datang karena berharap bertemu dengannya. Aku merindukannya, begitu juga dengan Flo."

Hugo tampak kehabisan kata-kata. Dia merasa bersalah namun juga tidak menyukai sikap Elsa yang terlalu terburu-buru. Hugo bahkan bisa melihat bahwa Sean sama sekali tidak tertarik untuk sebuah hubungan saat ini.

Sementara itu, di dalam kamarnya. Sean sedang memeriksa seluruh berkas yang tersimpan di lemari dan rak bukunya. Dia mengedarkan pandangan beberapa kali, berharap ingatan lain akan muncul.

"Sebenarnya kamu mencari apa, sih?" tanya Freya.

"Bukti, dengan itu aku bisa tahu letak rumah itu."

"Rumah apa?"

Sean duduk di kursi kayu dan menatap Freya. "Sebuah rumah, muncul dalam ingatanku. Aku yakin rumah ini aku siapkan untuk melakukan atau menyimpan sesuatu."

"Rahasiamu?"

"Mungkin."

Freya ikut mengedarkan pandangannya. "Melihat kepribadianmu, aku pikir apa yang kamu cari tidak ada sini."

"Apa maksudmu?"

"Sean, pertama aku mendengar tentangmu dari Profesor kamu seperti orang yang terencana dan suka bekerja sendiri. Ketika aku melihatmu, aku pikir itu benar. Karena itu, kamu pasti menyimpan benda itu di tempat yang sama. Rumah yang kamu rahasiakan dari semua orang."

"Rumah apa? Apa kamu sedang membicarakan rumah kita, Daffin?"

Keduanya menoleh, di pintu masuk Elsa dan Hugo sudah berdiri disana.

"Daffin?" ulang Freya. "Itu nama lahirmu?" lanjutnya.

"Dia Daffin, bukan Sean. Dia adalah...."

"Panggil aku Sean, bukankah aku sudah mengatakan alasannya?" potong Sean, nadanya sedikit dingin.

Elsa tertegun di tempatnya. Dia seperti baru saja menerima tamparan menyakitkan diwajahnya.

Freya yang bingung dengan keadaan yang menjadi canggung, memecah suasana dengan memperkenalkan dirinya.

"Kalian teman lamanya Sean, ya? Salam kenal, aku rekan Sean juga. Namaku Freya, aku harap kita bisa bekerja sama."

"Aku Hugo, sahabat Sean." balas Hugo dengan senyum kecil yang canggung.

"Aku Elsa, tunangan Sean." jawab Elsa dengan penuh kepercayaan diri.

"Tunangan? Oh... Aku baru tahu dia punya tunangan. Wah, Sean! Kamu cukup beruntung tunanganmu menunggumu." sahut Freya dengan wajah ceria.

Sean diam saja, wanita bukan fokusnya saat ini. Dia jelas-jelas tidak peduli. Otaknya dipenuhi tentang rumah dalam ingatannya.

"Sean, apa kamu sudah memeriksa kode-kode yang ada pada satu folder lain di kartu memori itu?" tanya Hugo, sengaja mengalihkan pembicaraan.

"Apa yang kamu temukan?" tanya Sean.

"Aku tidak mengerti sama sekali, tahu! Kamu harus memetiksanya sendiri."

"Hei, Sean! Apa mungkin sama dengan kertas berisi kode yang dikatakan Profesor?" tanya Freya.

"Bisa jadi, kita periksa nanti malam bersama Profesor. Sekarang bisakah kalian semua keluar dulu. Aku butuh sendirian." ujar Sean.

Freya menatapnya dengan wajah kawatir. Dia kembali memeriksa suhu tubuh Sean dengan memegang dahinya. Betapa terkejutnya ia ketika menarik tangannya secara tiba-tiba.

"Sean! Tubuhmu kenapa...."

Freya tidak melanjutkan kata-katanya ketika Sean meraih tangannya. Sean menunduk menahan tubuhnya yang terasa kaku dan mati rasa.

"Sean! Kamu tidak apa-apa?" panik Elsa dan Hugo yang mendekat.

Sean menggeleng, "Keluar, Freya suntikkan itu padaku." perintah Sean dengan napas yang berat.

"Tidak bisa! Ini hanya obat penenang. Kita harus tahu penyebab tubuhmu menjadi sedingin ini."

"Kalian keluar! Hugo tolong!" ujar Sean sekali lagi ketika melihat Elsa yang mulai menangis.

Dengan berat hati, Hugo menarik Elsa keluar dan menutup pintu kamar Sean.

"Kenapa? Ada apa?"

"Suntikkan sekarang!" ujar Sean pada Freya. Dia mengeluarkan obat itu dari kantung celananya dan memberikannya pada Freya.

Dengan berat hati, Freya melakukan permintaan Sean. Dia diliputi ketakutan karena tidak ada perintah dari Adam. Dia takut jika Sean akan memburuk karena keputusannya ini. Namun melihat wajah memaksa Sean, dia tidak bisa menolaknya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!