Sean melirik kiri dan kanan. Dia juga menajamkan pendengarannya sehingga dia akan tahu ada langkah yang mendekati mereka.
"Lama tidak melihatmu, Daffin. Aku ingat terakhir kita bertemu ketika kamu berusia 18 tahun."
"Aku tidak begitu ingat," sahut Sean datar.
"Ah, begitu? Padahal aku dan ibumu sangat akrab."
Willi mengalihkan pandangannya dari Sean kearah taksi. Dia tersenyum seolah bisa melihat Freya.
"Kamu tidak ingin menyapaku? Bukankah kita rekan kerja?" sapa Willi pada Freya yang kini menegang ditempatnya.
Dia bergeser ke pinggir dan keluar tepat di samping Sean berdiri. Sebisa mungkin menunjukkan ketenangan.
"Selamat malam Profesor," sapa Freya.
"Aku tidak tahu kalian dekat. Apa ini, kencan?"
"Kami hanya berteman." sahut Sean.
Freya melirik sedikit lalu menunduk sesudahnya. Willi tersenyum tipis, lalu beralih pada Sean lagi.
"Daffin, kita perlu bicara."
Perubahan nada suara Willi membuat atmosfir disekitar mereka juga berubah. Sean memberi kode agar Freya tetap disampingnya alih-alih masuk kedalam taksi.
"Sebelum itu, katakan satu hal padaku." kata Sean, "Dimana Juan? Dari daftar korban, tidak ada nama dan fotonya. Dia memakai pelindung lengkap dan melompat keluar saat ledakan." lanjut Sean, dia melemparkan senyum sinis. "Dimana kalian meyimpan tubuh lemahnya?" bisik Sean setengah mengejek. Awalnya, Sean memang mengira Juan ikut mati. Tapi mengingat tidak adanya nama Juan pada daftar korban dan tidak ada jejak pemakaman, Sean menjadi curiga.
Willi tersenyum tipis sesaat. "Jadi benar kamu yang meledakkan tempat itu, tapi Daffin_ Apa kamu tahu kenapa saat itu Juan bertindak seperti itu?"
"Aku tidak tertarik untuk tahu ambisi psikopat itu."
Willi terkekeh, "Kamu meminta datamu bukan?" Willi mengalihkan pembicaraan dan menunggu sejenak untuk melihat reaksi Sean, namun Sean hanya menunjukkan wajah datarnya. "Aku akan memberikannya padamu, tapi kamu harus bergabung kembali dengan Cell Farma."
Kali ini, Sean yang tertawa. Tawa hambar yang terdengar sedikit menakutkan.
"Aku bukan boneka kalian. Jangan bermimpi untuk itu."
"Sayangnya kamu memang boneka kami." sahut Willi, dia menyeringai kala Sean mulai tersulut emosi.
"Sean." bisik Freya.
"Ibumu sudah menjualmu. Jadi kamu adalah milik kami. Tidak seharusnya kamu lari, kamu sudah__"
"JANGAN PERNAH!" teriak Sean penuh emosi. Nafasnya memburu, kuku-kukunya mulai memanjang. Hal itu tidak luput dari perhatian Willi yang terlihat takjub. "Ibuku tidak akan melakukan itu!" lanjut Sean dengan dingin.
"Sean! Tenanglah."
Freya sudah bergetar disampingnya. Gadis itu bukan hanya takut akan kemarahan Sean, tapi juga pada situasi berbahaya yang mereka hadapi saat ini.
Sean menyeringai, lalu dengan cepat mencekik Willi. Pasukan yang mengawal Willi segera menolong tuannya namun Sean terlalu kuat. Mereka terhenpas hanya dengan satu kibasan tangannya.
Beberapa dari mereka menembak Sean, namun hal itu tidak menjatuhkannya meski darah mengucur dari punggungnya. Freya berusaha memanggil Sean dan meneriakkan namanya, namun Sean tidak bereaksi.
"Apa kamu sangat penasaran rasanya menjadi boneka?" bisik Sean dengan nada rendah penuh amarah. "Maka aku akan menunjukkannya padamu." lanjutnya.
Willi hampir kehabisan napas. Sean bisa saja mematahkan lehernya, namun bukan itu yang ia inginkan. Keinginan menyiksa dalam kepalanya lebih dominan dari pada membunuh.
"Sean!"
Teriakan Freya yang tidak biasa membuat Sean tersentak. Dia menoleh kebelakang dan melihat Freya ditarik paksa untuk mundur, tampaknya mereka membuat Freya sebagai sandra untuk menarik perhatian Sean.
Sean melempar keras tubuh Willi hingga membentur mobil di depannya. Membuat tubuh Willi tersungkur dan nyaris tidak sadarkan diri. Dengan cepat Sean menarik Freya sambil mengeluarkan sayapnya.
Sean terbang rendah diatas mereka. Membuat Willi yang masih sempoyongan menatapnya dengan mulut menganga. Seluruh pasukannya juga terdiam ditempat karena terkejut.
Sean menyeringai, dia menurunkan ketinggian dan mengepakkan sayapnya dengan kencang. Membuat angin keras menampar wajah mereka. Setelah itu, dengan cepat dia pergi dari sana dengan Freya dipelukannya.
Willi dipapah masuk kedalam mobil. Pria itu merasakan bahwa beberapa jarinya patah dan dadanya terasa sesak. Dia segera dilarikan kerumah sakit.
Sepanjang perjalanan, tidak ada ketenangan dibalik wajah itu. Dia bisa merasakan tubuhnya masih menggigil ketakutan. Meski begitu, gairah yang muncul ketika melihat hasil mutasi pada tubuh Sean yang memunculkan makhluk baru, lebih membuatnya bersemangat. Dia terlihat lebih terobsesi dari sebelumnya. Obsesi mengerikan untuk menjadikan Sean objek baginya untuk membuat namanya dikenal dunia.
.
Sean menurunkan Freya ditengah hutan setelah mereka terbang sekitar lima belas menit. Sean melepas bajunya yang robek. Freya yang masih menggigil ketakutan hanya duduk diam diatas bebatuan. Sean bisa merasakan lukanya yang menutup dengan cepat ketika masih diangkasa. Sehingga saat ini, bekas peluru itu hanya menyisakan noda darah dipunggungnya.
Dia menoleh pada Freya, emosinya tampak telah stabil. Satu tangannya terjulur untuk memberi kode menyuruh Freya mendekat. Freya menggeleng, bukan karena tidak ingin. Tapi kakinya terasa lemas.
"Maafkan aku, membuatmu berada disituasi ini." ujarnya.
Sean bangkit, lalu berlutut dengan satu kaki. Kembali mengeluarkan sayapnya. Freya yang bingung dan masih kedinginan menggeleng keras.
"Mau kemana? Aku tidak ingin terbang lagi, Sean!"
"Kita harus pergi, aku akan mengirimmu kembali ke Australia."
"Kenapa?" tanya Freya, ada nada sedih dalam suaranya, namun Sean tidak menyadari hal itu.
"Mereka akan menjadikanmu alat untuk membuatku menuruti mereka."
"Atas dasar apa? Keadaan tadi hanya sikap spontan. Bagaimanapun juga, mereka sudah mengikat perjanjian dengan kami untuk tidak melukai."
Sean tertawa hambar. Membuat Freya menggigit bibir dalamnya. Merasa bodoh dengan pernyataannya barusan.
"Lucu sekali kamu percaya hanya karena satu kertas. Terserah padamu, hanya jangan sampai mereka tahu alasan aku sering berada di dekatmu dan melindungimu."
"Alasan..."
"Jika mereka tahu mengenai masalah kecil tubuhku, mereka bisa menjadikanmu alat, apa kamu sadar itu?" ujar Sean, dia menghela napas dan duduk di batu besar yang lain. "Terlalu naif percaya pada perjanjian konyol itu."
Freya menunduk, ada rasa sakit yang menjalari hatinya ketika mendengar perkataan itu.
"Bukankah kamu sama saja, aku juga alat bagimu. Apa salahnya percaya, jika mereka langgar aku bisa menuntut mereka. Lagi pula kami orang asing, tidak akan semudah itu membunuh kami. Aku bisa meminta perlindungan negaraku."
Freya membuang pandangannya kearah lain ketika Sean menoleh untuk menatapnya. Dia terlihat kesal dan murung.
"Maaf, jika kamu merasa dimanfaatkan. Aku akan membayarmu untuk kebutuhan ini."
Salah, kalimat itu amat salah dikatakan saat ini. Freya terlihat semakin kesal dan nyaris menangis kalau saja tidak menahannya.
"Aku ingin pulang dan istirahat." katanya.
Sean akhirnya membawa Freya kembali kerumah barunya. Setidaknya rumah itu cukup aman karena tingkat keamanan yang sudah ditambah dan diperketat dengan teknologi yang lebih maju.
.
Sean dan Freya mendarat di tepi kolam renang belakang rumah. Ketika masuk, Hugo sedang berkutat dengan laptopnya diruang tamu.
"Kapan kamu sampai disini?" tanya Sean.
"Baru saja, aku sedang mengerjakan apa yang kamu minta." jawabnya.
Hugo memperhatikan darah dipunggung Sean ketika dia berjalan menuju tangga. Sean tidak lagi menggunakan kemampuan mutannya. Dia berjalan normal dan tampak biasa.
"Dia baik-baik saja?" tanya Hugo pada Freya yang hendak ke dapur.
Freya menoleh sedikit, mengangguk pelan lalu melanjutkan langkahnya. Dia meminum segelas air hangat karena tenggorokannya terasa kering.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Hugo, "Sesuatu terjadi bukan? Ada darah kering dipunggungnya."
Hugo duduk di kursi meja makan. Freya meletakkan gelasnya dan ikut duduk.
"Kami bertemu Willi. Dia mencoba membawa Sean."
Hugo memijit keningnya. Dia melirik laptop yang masih menyala di atas meja ruang tamu.
"Aku mencoba membobol data Cell Farma. Tidak ada apa-apa yang bisa digali. Aku harus meretas akun milik Willi atau Bagaskara jika kita ingin mendapatkan sesuatu."
Hugo mengernyit kala tidak mendapatkan respon dari Freya. Gadis itu hanya menatap lurus pada tangannya yang saling menggenggam diatas meja. Tampak memikirkan sesuatu.
"Ada apa denganmu? Kamu sakit?" tanya Hugo.
Freya hampir membuka mulutnya ketika dia teringat bahwa Sean bisa mendengar mereka. Dia kembali menutup mulutnya.
"Hei! Ada apa sih?"
"Aku hanya sedikit tertekan akibat apa yang baru saja terjadi. Melihat seseorang ditembak dihadapanmu. Aku pikir dia akan mati."
"Dia ditembak?" sahut Hugo terkejut.
"Ya, tapi lukanya sembuh dengan cepat." Freya bangkit berdiri. "Apa aku bisa meminjam bajumu? Aku perlu mandi lagi setelah kotor-kotoran."
"Huh? Baju?"
"Ya, baju." ulang Freya setengah jengkel.
"Bagaimana ya, aku punya. Tapi aku pikir Sean akan keberatan." Freya mengernyit tidak mengerti, tidak sadar Hugo sedang menggodanya.
"Apa hub__"
"Bukankah kalian dekat? Bagaimana kalau dia salah paham mengira kita punya hubungan. Aku tidak mau disebut penghianat."
Freya tidak bisa berkata-kata mendengar godaan itu. Apalagi Hugo mengatakannya sambil menaik turunkan alisnya.
"Oouh! Lihatlah telingamu mulai memerah." tambahnya.
"Berhenti bercanda dan pinjamkan aku!" kesal Freya sambil menutup kedua telinganya.
"Hahaha! Ayo ikut aku. Aku pikir aku punya piyama yang bisa kamu gunakan."
Keduanya berjalan ke lantai dua dimana kamar Hugo berada. Disebelahnya adalah kamar yang pernah Freya tempati. Jadi setelah Hugo memberikannya baju, dia langsung masuk kesana dan mengunci pintunya.
'Sial, aku ingin sekali mengutuk mereka dengan keras.'
Freya membuka pintu kamar mandi dan segera membersihkan dirinya.
.
Hugo naik kelantai tiga. Masuk begitu saja kedalam kamar Sean. Pemilik kamar baru saja selesai mandi. Dia sedang memilih pakaian ketika Hugo menghampirinya.
"Apa kamu akan membiarkan Freya tetap bekerja besok?" tanya Hugo.
"Dia terikat kontrak."
"Peduli apa dengan itu, dia bisa saja ditangkap untuk dijadikan umpan. Kalau profesor Adam, walau masih ada kemungkinan, mungkin hanya sedikit. Berbeda dengan Freya. Kalian cukup dekat."
"Sedekat apa maksudmu? Mereka sama saja. Meskipun Freya lebih rentan karena aku membutuhkannya untuk menstabilkan suhu tubuhku. Tapi mereka belum tahu keadaan itu."
Hugo terdiam sesaat, menelengkan kepala sedikit untuk menilai situasi apa yang sedang ia lihat saat ini.
"Aku pikir kalian lebih dari sekedar rekan yang saling membantu. Maksudku, perlakuanmu berbeda untuknya."
Sean menoleh, menatap Hugo dengan aneh sesaat sebelum keluar setelah dia memakai pakaiannya. Hugo ikut bangkit dan mengikutinya.
"Hanya karena aku sering mengganggunya bukan bearti kami dekat. Aku membutuhkannya karena dia bisa menyembuhkanku. Reaksi tubuhku sangat baik saat didekatnya. Terutama saat menyentuhnya ketika aku tidak terkendali."
Mendengar jawaban itu, Hugo menunjukkan wajah sangsi. Meski begitu dia tidak melanjutkan pembahasan itu. Dia tahu terlalu awal untuk menebak pikiran dan hati sahabatnya itu.
"Aku sedang berusaha masuk ke akun milik Bagaskara atau Willi. Cukup sulit, tapi aku akan meminta Barbara mendapatkan cara ketika ia bekerja bersama Willi."
Sean yang sedang memeriksa ponselnya menoleh. "Kamu masih percaya padanya?"
"Entahlah, aku mencoba memberinya kesempatan. Meski begitu aku akan tetap berhati-hati dan tidak akan membiarkan dia masuk kerumah ini."
"Terserah padamu, hanya jangan membahayakan kita."
Hugo turun kembali kebawah. Meninggalkan Sean yang menatap lurus pintu kamarnya yang tertutup. Dengan saksama, dia menggunakan indra pendengarannya.
Suara langkah kaki yang tampak ragu. Satu lagi suara langkah konstan pelan. Sean tahu dimana dua penghuni lain sedang berada.
"Ini sudah larut dan kamu ingin membaca buku?"
Sean bisa mendengar Hugo mendorong pintu hingga terbuka lebar. Tampaknya dia sedang bebicara dengan Freya di ruang perpustakaan.
"Aku tidak bisa tidur. Membaca buku akan membantuku tidur."
"Jangan terlalu larut, kalau begitu aku duluan."
Sean mendengar pintu tertutup. Dipastikan Hugo sudah memasuki kamarnya. Sean melirik jam dinding kamarnya. Pukul dua dini hari.
Nyaris jam tiga pagi, Sean beranjak dari kasurnya. Dia melangkah turun kelantai dua. Berbelok pada lorong di sebelah kiri dimana perpustakaan berada. Diatas bangku, kepala Freya bersandar lunglai. Dia tertidur dengan buku setebal ensiklopedia diatas pangkuannya.
Sean mengambil buku itu, membaca judulnya dalam diam sebelum meletakkannya kembali ketempatnya. Lalu, dengan gerakan ringan, dia mengangkat tubuh Freya dan membawanya masuk kedalam kamar yang ditempati gadis itu.
Sean tersenyum melihat Freya yang tenggelam dalam piyama Hugo. Terlihat sangat lucu. Setelah menarik selimut untuknya, Sean keluar dan menutup pintu. Tampa menyadari, bahwa Freya membuka matanya setelah itu.
'Kenapa dia membuatku merasakan hal-hal aneh? Dia bersikap baik seolah sangat peduli. Tapi kenyatannya dia hanya...'
Freya merubah arah tidurnya. Berusaha menutup mata kembali. Karena sudah kelelahan dan sudah mengantuk, akhirnya dia tertidur lagi. Menyudahi kegundahan hatinya akan sikap Sean yang semakin membuat hatinya terasa tidak baik-baik saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments