Setelah malam itu yang berakhir dengan debat panjang tak berguna antara Freya dan Sean. Paginya mereka dikejutkan dengan pesan dari Barbara kepada Hugo. Setelah beberapa bulan tampa kabar, dia muncul begitu saja untuk mengajak Hugo bertemu.
"Temui saja. Kita perlu dia untuk sumber informasi."
Hugo meliriknya dengan wajah sangsi. "Kamu masih ingin mempercayainya? Bagaimana kalau dia malah membahayakanmu?"
Sean mengangkat bahunya, "Dia tidak akan bisa melakukan itu." jawab Sean santai.
Freya sedikit memicingkan matanya. Ketika Sean beralih menatapnya dengan alis terangkat, dia berdecak tampa suara. Kesal saat Sean tahu apa yang mungkin akan ditanyakannya. Dia memilih melanjutkan memeriksa seluruh file vidio yang sudah berulang kali dilihat Hugo. Mereka memang berada di rumah lama Sean.
"Aku sudah menyuruhnya kesini jika ingin bicara. Aku tidak akan mau keluar." terdengar sedikit rajukan dalam suara itu, Sean mengangguk sebagai dukungan.
"Aku akan ke kamar ibuku dulu."
"Aku ikut!" seru Freya menyusul Sean yang telah keluar.
"Kamu merencanakan sesuatu, kan? Kamu tahu sesuatu tadi malam, kan?" tanya Freya sambil menyusul langkah cepat Sean.
Ketika Sean berhenti tiba-tiba, dia yang tidak siap menabrak punggungnya sambil mengaduh kecil.
"Apa, sih! Kenapa berhenti tiba-tiba!"
Sean tidak menjawab karena sedang berpikir, lalu dia hanya melanjutkan langkahnya menuruni tangga menuju lantai satu dimana kamar Ibunya berada.
"Ini kamar ibumu? Wah... Ibumu sangat rapi dan suka warna hijau, ya?" celoteh Freya ketika ia duduk dikasur memperhatikan apa yang Sean lakukan. "Seluruh kamar ini nyaris bewarna hijau semua." gumamnya kemudian.
Sean membuka-buka laci meja rias ibunya. Namun tidak menemukan apa yang ia cari. Lalu dia memeriksa setiap lemari dan sela-sela yang mungkin dijadikan untuk menyimpan sesuatu.
"Kamu mencari apa, sih?" tanya Freya.
"Catatan ibuku. Aku sering melihatnya menulis sesuatu disatu buku."
"Apa itu buku diary? Kalau iya pasti ibunmu menyimpannya dengan baik."
"Tidak, itu hanya seperti buku catatan kecil," sahutnya sambil ikut duduk di samping Freya.
"Mungkin seseorang mengambilnya? Coba saja tanyakan pada Hugo." Sean menoleh padanya lalu menaruh telapak tangannya yang besar di puncak kepala Freya.
"Hugo tidak mungkin, tapi orang lain bisa jadi. Kadang isi kepalamu bisa berguna juga?"
"Ck! Kadang katamu!" seru Freya sambil menepis tangan Sean.
"Katakan padaku, apa yang sedang kamu rencanakan?"
"Tidak ada, hanya melihat dan mengambil langkah ketika ada peluang."
"Peluang seperti apa? Kita bahkan tidak bisa bergerak bebas. Dua bulan lagi visaku akan habis. Aku dan Profesor harus kembali."
"Kalian hanya harus memperpanjangnya."
"Tidak semudah itu! Kamu pikir ulah siapa kami berada dalam situasi seperti saat ini?"
Sean menunduk sesaat sebelum menatap Freya dengan raut minta maaf. Sean tahu tidak seharusnya ia melibatkan orang luar yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya. Namun Sean membutuhkan mereka untuk kembali dan masuk dalam lingkaran ini lagi.
"Maaf, aku tidak bermaksud membuat kalian terlibat lebih jauh, tapi aku tidak punya pilihan."
Freya menghembuskan napas. Dia mengalihkan pandangannya kearah lain. Hatinya menjadi tidak nyaman ketika melihat wajah bersalah Sean.
Keduanya dikejutkan oleh kedatangan Hugo di depan pintu. "Dia ada di depan rumahmu." kata Hugo.
"Lalu? Temui saja, apa lagi?"
"Aku punya ide, bagaimana kalau Freya seolah dekat denganku?" usul Hugo tampa berpikir.
"Jangan konyol! Temui dia, aku akan menyusul."
"Kamu akan menemuinya juga?"
"Ya, aku ingin tahu reaksinya."
Hugo berdecak, jelas sekali dia gugup. Setelah Hugo menghilang, Freya ikut bangun dan hendak keluar.
"Mau kemana?" tanya Sean dan menahan tangannya.
"Mengintip, lepas!"
"Tetap disini. Jangan menunjukkan dirimu." tahan Sean.
"Kenapa? Toh dia tidak mengenalku."
"Dia akan mengenalmu cepat atau lambat. Tapi bukan sekarang." Jawab Sean, dia menarik tangan Freya hingga gadis itu kembali duduk.
Sean bangun lalu keluar. Dia berdiri di sisi tembok untuk melihat interaksi sahabatnya itu sebelum dia sendiri memunculkan diri. Hal yang tidak ia sangka adalah, Freya tidak mematuhinya. Gadis itu berdiri mengintip dibelakangnya sambil memajukan kepalanya. Sean hanya menjentikkan jarinya pada kening Freya pelan sebagai bentuk hukuman kecil. Membuat Freya merengut dan hal itu membuat Sean cukup terhibur.
"Hugo, aku benar-benar minta maaf. Aku benar-benar sibuk. Selain itu, Pak Willi terus menambah tugas untukku. Aku sama sekali tidak punya waktu untukmu."
"Oh," sahut Hugo dingin.
"Kamu pasti marah. Aku minta maaf."
"Lalu apa yang membuat kamu datang? Aku pikir hubungan kita sudah berakhir dengan sendirinya."
Barbara menunduk, terlihat sedih dan kecewa. Dia mengangguk sebagai bentuk menerima segala konsekuensi yang akan ia terima.
"Kita bisa berteman bukan? Hanya karena putus jangan sampai merusak pertemanan."
Mendengar hal itu, Sean keluar dan duduk disamping Hugo. Barbara yang melihat wajah baru disana, mengernyit heran. Dia menatap Hugo untuk mendapatkan jawaban.
"Kamu bekerja disana selama ini, bukan? Sangat tidak mungkin kamu tidak mengenalinya." sindir Hugo.
Melihat tidak ada celah untuk menghindar, Barbara mengangguk sekali. "Tapi, aku pikir dia meninggal.... Semua orang meninggal dalam kasus kecelakaan itu." ujarnya. "Bagaimana kamu bisa selamat? Dimana kamu selama ini?"
Sean diam untuk beberapa detik. Menimbang-nimbang informasi apa yang akan ia berikan pada wanita dihadapannya ini.
"Aku enyembuhkan diri disuatu tempat. Tidak penting bagaimana aku selamat. Tapi, apa yang kamu lakukan selama kamu tidak lagi bersama kami?"
Bersama kami dalam kalimat Sean tentu saja tidak bearti secara harfiah. Baik Hugo maupun Barbara tahu yang Sean maksud adalah kesetiaan.
"Aku hanya bekerja. Mendapatkan uang dan hidup seperti biasa."
"Barbara," Sean menjeda, menatap netra itu dengan tajam. "Kamu masih bersama kami, bukan?" tanya Sean dengan penuh intimidasi.
Barbara terlihat gugup, namun dia berhasil mengatasi itu dan kembali tenang saat menjawab pertanyaan itu.
"Aku masih bersama kalian."
Beberapa detik penuh keheningan yang cukup membuat siapapun tidak nyaman. Sean mengakhiri atmosfir tidak enak itu dengan tersenyum ramah.
"Senang mendengarnya, silahkan lanjutkan pembicaraan kalian. Aku akan segera pergi."
Sean bangun dan segera menuju dimana Freya berdiri mencuri dengar. Dia berdiri dihadapan gadis itu lalu menatapnya dengan pandangan memerintah.
Freya berdecak tampa suara, dia segera masuk ke dalam kamar. Sean hanya menggeleng pelan saat mengikutinya dibelakang. Langkahnya terhenti ketika mendengar langkah kaki di depan pintu rumah yang ia tahu tidak terkunci. Seseorang masuk dan berhenti di ruang tamu ketika melihat Hugo dan Barbara.
"Kamu disini?" tanyanya pada Barbara, lalu beralih pada Hugo tampa menunggu jawaban dari orang yang ia tanyai. "Dimana Sean?" tanyanya.
"El, bagaimana anakmu? Maaf aku belum_"
"Dimana Sean!" potong Elsa dengan suara nyaris bergetar.
Hugo bangun dan menghampiri Elsa yang sudah bergetar. Air mata mulai membanjiri wajahnya.
"Ada apa? Terjadi sesuatu?"
"Sean, Aku butuh dia." lirih Elsa.
Sean berjalan cepat menghampiri, di dalam kepalanya, dia seakan bisa menebak apa yang telah terjadi. Ketika Elsa melihat Sean, dia langsung memeluknya dengan erat.
"Anakku...Flo..." ujarnya sambil menangis. "Tolong dia, tolong selamatkan dia. Aku mohon! Lakukan cara apapun walau harus menjadikan dia bahan percobaan. Dia harus tetap hidup!" mohon Elsa dengan nada dan cara paling memilukan.
"Anakku sekarat! Dia tidak akan bertahan dengan bantuan alat itu! Aku mohon Daf... Daffin please!" katanya lagi, kali ini dia menyebut nama asli Sean.
"Relakan dia, El_ Jangan membuat anakmu semakin menderita dengan menjadikannya bahan uji coba. Sudah cukup selama ini. Kamu tidak bisa melakukan lebih dari itu."
Elsa menarik diri, dia menatap Sean dengan wajah tidak suka. "Aku ingat kamu melakukan sesuatu padanya bersama Barbara bukan? Mencoba obat ini dan itu hasil penelitian sampingan Willi. Apakah berhasil? Dia hanya akan terus menderita. "
Elsa terkekeh pelan, dia melirik Barbara sekilas sebelum kembali fokus pada Sean. Buku-buku jarinya memutih karena menggenggam terlalu erat. Dia terlihat sangat emosional.
"Mudah bagimu mengatakannya! Dia satu-satunya yang aku punya! Dia satu-satunya yang memperdulikan keberadaanku!" bentak Elsa. "Kamu! Kamu tidak lagi disisiku! Kamu akan pergi bukan? Kamu juga tidak ingin bersamaku!"
Elsa terjatuh kelantai dengan sangat menyedihkan. Sean menoleh pada Freya yang berdiri di depan pintu. Gadis itu tidak terlihat yang lain, namun dari posisi Sean berdiri, dia dengan jelas bisa melihatnya. Sean memberi gekstur untuk masuk yang dituruti olehnya. Setelah itu, Sean berjongkok di samping Elsa dan menggendongnya bridal.
"Kita kerumah sakit, kamu harus menemaninya disaat terakhir."
Hugo dan Barbara mengikutinya. Mereka juga ikut masuk ke dalam mobil yang sama. Meninggalkan Freya sendiri di dalam rumah.
.
Freya keluar dari kamar. Menatap ruang tamu yang sepi dengan perasaan campur aduk. Dia teringat hari dimana ibunya meninggal. Dia juga ditinggalkan sendirian didunia ini. Selama ini, Freya sudah menganggap Adam seperti orang tua pengganti. Namun sejak bertemu Sean, Freya merasa mengalami hari-hari yang lebih berwarna.
Freya ingat bagaimana saat-saat SMA ia lalui sendirian, saat anak lain pergi bersama kelompok mereka, Freya hanya bisa melihat dan menahannya. Dia tidak memiliki teman yang benar-benar dekat. Tidak ada yang ingin bergaul dengannya saat itu. Karena itu Freya mengerti ketakutan akan kesendirian yang dikatakan Elsa.
"Hah... Semoga anakny selamat." ujarnya sambil berbaring di sofa.
Freya mengirim pesan pada Adam yang langsung dijawab olehnya. Ketika dia membaca pesan balasan itu, Freya duduk dengan cepat. Dia langsung melakukan panggilan.
"Profesor? Apa itu benar? Anda ditawari oleh Cell Farma? Tapi bagaimana bisa?"
"Kemungkinan besar karena mereka mengincar informasi terkait Sean atau semacamnya."
"Maksud anda mereka hanya ingin mengambil keuntungan?"
"Bisa jadi, Sean menyarankanku untuk menjadi agen ganda. Aku juga sudah memutuskannya. Aku akan masuk ke perusahaan itu dan mencari tahu siapa dalang dibalik semua ini. Meski kita orang luar, selain uang yang ditawarkan cukup besar, aku bisa tetap disini dan memeriksa Sean."
"Profesor, itu bukan satu-satunya alasan bukan? Saya sangat mengenal anda. Anda bukan orang yang ambisius."
Terdengar kekehan Adam diseberang sana.
"Kamu anak baik, kamu tahu dimanapun kebenaran dan dunia harus damai. Menemukan dalangnya dan menghentikan mereka, aku rasa Sean bisa melakukannya jika ia tahu pelakunya. Ilmu pengetahuan tidak boleh dijadikan senjata untuk kejahatan. Selain itu, kamu terlihat lebih bahagia disini bukan? Kamu akhirnya memiliki teman."
"Sean bukan temanku!" protes Freya.
"Hahaha! Kalau bukan teman lalu apa? Pacar?"
Freya merengut mendengar godaan Adam. Dia segera menyudahi percakapan dan memutus sambungan telepon.
.
.
Langit mendung dan angin dingin mengiringi pemakaman Flo. Elsa sudah tidak menangis sejak Sean selalu disampingnya sejak malam. Walaupun dia harus bersembunyi dari pantauan, dia berhasil tetap didekat Elsa ketika wanita itu terpuruk.
Barbara tidak ikut saat pemakaman. Bagitu juga dengan Freya. Atas kesepakatan kerja sama. Diandra mau menjamin keamanan Freya dari pihak Anton yang mencurigainya. Akhirnya mereka berdua mulai masuk kedalam gedung penelitian Cell Farma untuk menjalankan proyek baru mereka.
Telinga Sean menangkap suara kaki tak biasa. Seolah mereka sedang mengendap-endap. Dia merangkul Elsa dan berbisik padanya. Lalu dengan gerakan ringan dia berdiri. Berjalan cepat kenuju mobil. Namun belum sempat ia mencapai pintu, sebuah peluru bius melesat dan nyaris mengenainya jika dia tidak menghindar.
Sean tersenyum pada beberapa pasukan anti teror. Lalu dengan cepat lari kebelakang mobil. Ketika pasukan itu mencapai tempat ia bersembunyi, Sean sudah tidak ada disana.
Dengan kesal kepala pasukan beralih pada Hugo dan Elsa yang tadi berada di pemakaman, namun hal sama terjadi. Keduanya menghilang seolah mereka tidak pernah ada disana.
"Mustahil! Kendaraan mereka masih ada disini. Cari disekitar area ini sampai ketemu!" perintahnya.
Anak buahnya menyebar dan mencari kesegala penjuru. Namun sejauh apapun mereka memeriksa mereka kembali dengan tangan kosong. Bahkan jejak mereka tidak terlihat kecuali hanya di daerah pemakaman dan berhenti di belakang gapura masuk area itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments